Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bukan "Berita Bohong" tapi "Informasi Bohong atau Palsu"

12 September 2018   20:17 Diperbarui: 13 September 2018   08:16 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi (Sumber: steemkr.com)

Sejak media sosial jadi bagian dari kemajuan teknologi informasi yaitu Facebook, Twitter, Instagram, You Tube, dll. muncul istilah hoax yang diterjemahkan secara bebas sebagai 'berita bohong' atau 'berita palsu'. Ini menyesatkan karena tidak ada berita (news) yang bohong.

Selain itu dengan penyebutan 'berita bohong' akan menohok jurnalisme yang merupakan salah satu dari dua profesi setelah pengacara. Disebut profesi karena jurnalisme dengan wartawan sebagai pekerja adalah jenis pekerjaan terbuka dengan kode etik yang terbuka pula.

Maka, amatlah pas judul berita "ABC News" (Australia, 11/9-2018): Orang Australia Tidak Percaya Pada Media, Tapi Masih Menghargai Jurnalisme. Berdasarkan survei global tahunan perusahaan komunikasi "Edelman" di 28 negara di dunia disebutkan orang Australia ada di peringkat kedua terendah kepercayaan terhadap media. Sedangkan orang Turki ada di peringkat terendah.

Hasil survei tahun 2018 menunjukka sekitar 7 dari 10 orang Australia sekarang khawatir tentang penyebaran informasi palsu dan 'berita palsu' yang dipakai sebagai senjata untuk menyesatkan dan mempengaruhi opini publik.

Celakanya, di Indonesia banyak orang yang justru membaca informasi palsu yang diperoleh melalui mesin pencari dengan kata kunci tertentu yang sesuai dengan keinginan mereka, sebagian besar sebagai 'the haters'.

[Baca juga: Hoax Memang Dicari-caridan "Penggemar" Hoax Justru Mengabaikan Berita Faktual di Media Mainstream]

Namun, ada hal yang menggembirakan yaitu di tengah-tengah runtuhnya kepercayaan terhadap media "Kepercayaan pada "jurnalisme" --- bagian yang lebih spesifik dari media --- sebenarnya menguat."

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Roy Morgan pada Mei 2018 menemukan hampir separo warga Australia tidak mempercayai media sosial. Sebaliknya, hanya 9 persen warga Australia yang tidak mempercayai "ABC" (kantor berita dan penyiaran Australia). Jadi, kepercayaan di beberapa outlet berita tetap tinggi. Ini merupakan wujud nyata dari publik yang kian menaruh tempat yang tinggi pada berita dan sumber (berita atau informasi) yang kredibel.

Jika dibawa ke Indonesia, maka para penikmat hoax justru tidak mempercayai media mainstream yang mengedepankan sumber berita yang kredibel dan kompeten. Mereka justru lebih percaya kepada sumber yang jadi 'oposisi' atau orang-orang yang 'asbun' dengan nuansa politik kebencian. Maka, muncullah 'berita' yang hanya berupa fitnah dan ujaran kebencian (hate speech), serta radikalisme dan SARA yang dari aspek hukum merupakan kejahatan siber dengan jeratan UU ITE.

Celakanya, banyak orang yang angkat bicara bahwa UU ITE membungkam kebebasan berekspresi. Tapi, apakah fitnah, ujaran kebencian, radikalisme dan SARA merupakan ekspresi positif? Agaknya, para pemprotes UU ITE hanyalah orang-orang yang tidak bisa memakai akal sehat melancarkan kritik tapi hanya dengan caci-mati dan kebencian yang dibumbui dengan SARA.

[Baca juga: Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki? dan Melancarkan Kritik Melalui Tulisan Bukan dengan Mencaci-maki, Mengejek dan Menghina]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun