Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gugatan 'Seks Gay' di MK: Perkawinan Sejenis Sudah Dibendung oleh UU Perkawinan

16 November 2016   15:57 Diperbarui: 16 November 2016   16:03 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentukan Nasib LGBT, MK Torehkan Sidang Terpanjang Sepanjang Sejarah.” Ini judul berita di detiknews (16/11-2016). Disimak dari berita tentang rentetan sidang yang jadi pokok persoalan adalah ketakutan beberapa kalangan kalau-kalau pernikahan atau perkawinan sejenis dibenarkan di negeri ini. Jika disimak dari materi gugatan dan keterangan saksi-saksi melalui berita gugatan tsb. tidak tepat sasaran karena yang ‘ditembak’ hanya gay.

Dalam aktivitas seksual kalangan gay mereka memang melakukan hubungan seksual sejenis yaitu seks anal. Tapi, dalam realitas kehidupan seks anal juga dilakukan oleh pasangan heteroseksual antara laki-laki dan permpuan baik dalam kaitan di luar nikah maupun di dalam ikatan pernikahan. Perlu diingat ada pula laki-laki biseksual yang juga melakukan seks anal dengan sesama laki-laki selain dengan istri atau pasangan seks perempuan.

Pasal 292 KUHP

Lagi pula dalam UU Perkawinan No 1/1974 di pasal 1 disebutkan: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini jadi palang pintu terhadap rencana perkawinan sejenis, terutama antar laki-laki gay.

Tapi, kelompok pemohon yang dikomandoi oleh guru besar IPB Bogor, Prof Dr Euis Sunarti, bersama dengan 11 temannya tetap mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar bunyi pasal 292 KUHP “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”diganti jadi “Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

Pengertian cabul sendiri sangat kabar jika dikaitkan dengan Pasal 292 KHUP tsb. Dalam KBBI disebutkan:ca·bul adalah keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan).

Yang perlu diingat adalah pasal itu adalah delik aduan sehingga tidak akan efektif untuk menekan seks anal di kalangan laki-laki sejenis. Paling-paling pasal itu bisa dipakai jika ada yang tertangkap basah.

Ahli kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof Muhammad Mustofa, mengatakan bahwa pendekatan pidana untuk menegakkan norma yang ada di masyarakat tidak tepat. Penghukuman yang keras bukan cara efektif menghadapi kesalahan dalam norma-norma. Bahkan Prof Mustofa mengatakan bahwa penindakan setelah peristiwa (perbuatan melawan norma-pen.) terjadi merupakan bentuk kezaliman.

Perilaku seks sejenis, seperti laki-laki gay, adalah salah satu bentuk dari orientasi seksual yang sebenarnya hanya ada dalam pikiran. Orientasi seksual yang dikenal luas adalah heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Belakangan ada pula parafilia yaitu penyaluran seks dalam bentuk-bentuk yang lain dari tiga orientasi seksual tsb.

Homoseksual, biseksual dan parafilia jadi masalah jika dilakukan karena merupakan perbuatan yang melawan norma, agama dan hukum. Itu pun kalau diadukan oleh salah satu pihak atau tertangkap ketika ada razia oleh Satpol PP atau polisi.

Dalam Ikatan Nikah

Yang jadi masalah adalah ketika seorang laki-laki heteroseksual, terutama yang beristri, melakukan seks anal dengan waria. Apakah ini termasuk dalam pasal 292 yang diajukan pengusul dkk.? Ada fakta yang luput dari perhatian masyarakat bahwa laki-laki heteroseksual yang justru jadi ‘perempuan’ (disebut ‘ditempong’) dalam seks anal dengan waria yang berperan sebagai laki-laki (yang ‘menganal’). Dalam epidemi IMS dan HIV/AIDS kondisi ini jadi jembatan penyebaran IMS dan HIV/AIDS dari masyarakat ke komunitas waria dan sebaliknya dari waria ke masyarakat melalui laki-laki yang jadi ‘perempuan’ tadi, al. ke istri atau pasangan seks yang lain.

Pengusul dkk. agaknya terlalu terpaku pada peristiwa-peristiwa kekerasan seksual terhadap anak-anak dalam bentu sodomi. Celakanya, mereka ini mengaitkan pelaku sebagai penyuka sesama jenis atau laki-laki gay. Ini yang keliru karena sodomi adalah bentuk ‘perkosaan’ ke anus. Berbeda dengan seks anal yang dilakukan oleh pasangan gay yang merupakan hubungan seksual yang didasari perasaan, sedangkan sodomi merupakan perbuatan yang didasari oleh dorongan nafsu syahwat yang tidak berpijak pada perasaan.

Yang luput dari perhatian Prof Dr Euis dkk. adalah perilaku seks oral dan seks anal serta posisi “69” dalam ikatan pernikahan dan pacaran. Tidak jarang istri yang menolak akan menerima kekerasan verbal dan nonverbal dari suami jika tidak mau meladeni seks oral dan seks anal (Sidang Gugatan “Seks Sejenis” di MK: Melaknat Gay Meloloskan Lesbian).

Sedangkan pada pasangan yang berpacaran seks oral dan seks anal merupakan langkah yang efektif untuk mencegah kehamilan. Tapi, dari aspek seksualitas cara-cara ini, terutama seks anal, juga berdampak buruk dan lebih rentan dalam risiko penularan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, virus hepatitis B, dll.) serta HIV/AIDS.

Tapi, karena Prof Dr Euis dkk. ingin ‘menembak’ laki-laki gay, maka perilaku seksual yang tidak alamiah dalam ikatan pernikahan pun lolos dari mata moralitas mereka. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun