Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggantang Asap, KPK Kaitkan Uang Korupsi dengan Haram

2 Juni 2016   10:59 Diperbarui: 2 Juni 2016   11:13 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* (Uang) Korupsi Tidak Diharamkan secara Eksplisit dalam Kitab-kitab Suci

Ketika Teten Masduki, waktu itu aktivis antikorupsi, meminta Gus Dur ikut gerakan antikorupsi dengan harapan Gus Dur mendorong dari aspek agama harapan Teten sirna. Soalnya, Gus Dur menolak karena dalam agama dosa sebesar apapun bisa ‘dihapus’ melalui cara-cara yang diatur oleh agama.

Maka, ajakan KPK yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan jelas tidak bermakna bagi sebagian orang: "Kalau suaminya pulang membawa uang yang bukan gajinya, yang bukan haknya, dia harus bertanya, uang ini dari mana? Jangan sampai anak-anak hidup dari uang haram.” (PENCEGAHAN KORUPSI. KPK: Jangan Hidup dari Uang Haram, Harian “KOMPAS”, 2/6-2016).

Penjelasan Gus Dur itu objektif dan merupakan realitas sosial sehingga yang bisa melawan korupsi adalah hukum positif. Kalau pun kemudian ada pernyataan agamawan bahwa uang korupsi haram itu tidak akan berpengaruh karena itu hanya pendapat atau penafsiran.

Korupsi tentu saja dipahami banyak orang berbeda dengan mencuri karena mencuri adalah mengambil harta orang lain tanpa izin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan mencuri adalah “mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dng sembunyi-sembunyi”. Sedangkan haram disebutkan sebagai “terlarang (oleh agama Islam); tidak halal”.

Dalam kaitan ini pemahaman banyak orang bahwa milik orang lain itu, dalam bentuk benda, uang, perhiasan dan peralatan ada di dalam rumah, toko, mobil, dll. Mencuri yaitu mengambil dengan cara paksa, termasuk mencopet, menodong, dan merampok serta membongkar rumah, toko dan mobil.

Nah, korupsi sama sekali tidak terkait dengan kegiatan yang digambarkan secara umum tentang pencurian. Uang yang diambil sama sekali bukan milik seseorang atau keluarga. Pengambilan uang negara tidak dilakukan secara fisik, dll.

Di masyarakat sering muncul ‘pembenaran’ terkait dengan harta kekayaan yaitu dengan menyebutkan bahwa, al. ‘ini rezeki dari atas’. Jika ditilik dari aspek hukum tentulah pernyataan ‘rezeki dari atas’ (baca: rezeki dari Tuhan) tidak bisa diterima karena yang diperlukan adalah sumber atau asal-usul uang tsb. yang bisa dibuktikan secara formal.

Ketika pemerintah mengharuskan mengisi formilir tentang asal-usul uang yang akan disetor ke bank banyak nasabah bank yang menolak. “Pak, terima kasih bersedia mengisi formilir ini,” kata costumer service di salah satu bank BUMN di Jakarta kepada penulis di awal tahun 2000-an. Rupanya, banyak yang menolak dan marah-marah jika diminta mengisi kolom ‘asal uang’. Kalau memang sumbernya jelas dan tidak bertentangan dengan hukum mengapa harus menolak mengisi kolom asal-usul uang?

Di bagian lain di acara “Gerakan Saya Perempuan Antikorupsi” di Ambon (1/6-2016) Basaria mengatakan: "Kalau suaminya pulang membawa uang yang bukan gajinya, yang bukan haknya, dia harus bertanya, uang ini dari mana? .... ."  

Adalah hal yang mustahil seorang istri bertanya kepada suaminya tentang asal-usul uang yang dibawa suami ke rumah. Ini juga terjadi karena gaji atau upah di instansi pemerintah dan perusahaan tidak dipublikasikan secara luas dan terbuka.

Tidak jarang istri, orang tua dan mertua merasa bangga kalau suami, anak dan menantu mempunyai harta melebih orang-orang sekitar. Di kampung penulis sering terdengar ‘ucapan syukur’: “On mada rasoki sian na Kuaso i.” (Inilah rezeki dari Tuhan).

Kita tidak bisa menyalahkan mereka karena informasi yang komprehensif tentang korupsi tidak luas. Banyak orang yang tidak paham tentang korupsi. Uang sogok dan suap pun dianggap sebagai ‘rezeki tambahan’.

Sekarang terjadi kesenjangan kewajibkan membayar pajak. Ada orang dengan harta melimpah tidak bayar pajak karena tidak mempunyai NPWP. Ada pula orang yang kaya raya tapi tidak punya NPWP karena gajinya di kantor masuk kategori PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Sebaliknya, ada orang yang pensiun tetap harus mengisi SPT walaupun tidak ada lagi penghasilan yang tetap.

Maka, salah satu langkah yang realistis untuk mengatasi suap, sogok dan korupsi adalah membuat UU yang mewajibkan setiap warga negara bisa membuktikan asal-usul uang yang dimilikinya. Untuk itu setiap warga negara diwajibkan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Langkah ini seharusnya dijalankan ketika program e-KTP yaitu nomor pokok penduduk juga jadi NPWP.

Gubernur DKI Jakarta, Basuk Tjahaja Purnama, yang dikenal dengan panggilan Ahok, menantang anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) membuktikan harta kekayan mereka dengan cara pembuktian terbalik. Sayang, tantangan Ahok tidak digubris (Lihat: Mewujudkan Tantangan Ahok, Membuktikan Harta Kekayaan dengan UU Pembuktian Terbalik).

Langkah KPK yang mengedepankan agama tentulah bagaikan ‘menggantang asap’ [KBBI: memikirkan (menghendaki) yang bukan-bukan (yang tidak mungkin akan tercapai] karena seperti yang dikatakan oleh Gus Dur kalau korupsi dikaitkan dengan ‘haram’ yang bermuara pada dosa dengan sanksi neraka itu tidak jadi masalah bagi sebagian orang karena di dunia pun dosa itu sudah bisa ‘dihapus’(-kan). Itu artinya ‘lolos’ dari (api) neraka. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun