Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman bagi Pelaku Kejahatan Seksual: Bukan (Sekedar) Kebiri, Tapi Mematikan Libido

5 Mei 2016   19:14 Diperbarui: 5 Mei 2016   19:30 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah liputan di Tabloid ‘MUTIARA’ Jakarta awal tahun 1990-an ada seorang anak muda yang ditangkap karena memerkosa seorang mahasiswi di Bogor. Kepada polisi pelaku itu mengatakan terangsang karena baru menonton film di sebuah bioskop di kawasan Tajur, Bogor. Wawancara penulis dengan seorang psikolog di Jakarta, Yulia Singgih D Gunarsa, menunjukkan hal itu tidak bisa diterima karena terbukti tidak semua laki-laki yang menonton film di bioskop bersama pelaku melakukan perkosaan. “Persoalan (mengendalikan libido-pen.) hanya ada pada pelaku saja,” kata Yulia waktu itu.

Ternyata sinyaleman Yulia benar karena belakangan terbukti bahwa pelaku sudah lama ‘naksir’ dan mengintip mahasiswi itu dan rupanya malam itu ada kesempatan ketika si mahasiswi sedang di kamar mandi.

Nah, pelaku kejahatan seksual adalah orang-orang yang menyalurkan libidonya (nafsu berahi yang bersifat naluri) dengan cara yang melawan norma, moral, agama dan hukum.

Maka, selain sanksi hukum positif perlu juga dilakukan hukuman lain yaitu mematikan libido pelaku kejahatan seksual. Dengan cara ini mereka tidak akan bisa lagi mengulangi kejahatan seksual.

Di KUHP dan UU Perlindungan Anak tidak ada sansi pidana minimal. Yang ada hanya ancaman yaitu 12 tahun di KUHP dan di UU 15 tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menetapkan hukuman minimal 4 tahun bagi pelaku rogol (perkosaan).

Dengan tidak adanya hukuman minimal, maka bisa saja vonis hakim hanya dala hitungan hari bahkan bebas karena banyak alat bukti yang harus ada, al. saksi, bukti perlawanan, dll. Bahkan, ada calon hakim agung yang mengatakan di depan anggota DPR ketika fit and proper test bahwa yang diperkosa juga menikmati hubungan seksual yang dipaksakan itu. Calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi menyatakan, hukuman mati tidak layak diberlakukan bagi pelaku pemerkosaan. Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati." (kompas.com, 14/1-2013).

Ada juga kabar pemeriksaan di polisi selalau ada pertanyaan ini: Apakah korban goyang sewaktu diperkosa? Tapi, belakangan polisi membantah. Selain itu ada juga pelecehan verbal di berbagai kesempatan terkait proses hukum yaitu: Dipekosa ni yeeee .....

Bagi pedukung hukuman kebiri, perlu berpikir objektif agar kelak peraturan yang sudah dibuat tidak mubazir karena ternyata tidak menakutkan bagi (calon) pelaku kejahatan seksual. Bukan menghentikan reproduksi, tapi mematikan libido. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun