Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jangan Sampai Natuna Lepas dari Pangkuan Ibu Pertiwi

3 April 2016   13:40 Diperbarui: 3 April 2016   15:00 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Peta Laut Tiongkok Selatan. Sumber: bbc.co.uk"][/caption]“Indonesia akan Pertahankan Kepulauan Natuna dengan Jet Tempur” (VOA Indonesia, 2/4-2016). Judul berita ini benar-benar membuat saya bangga sebagai warga negara Indonesia.

Betapa tidak. Ketika Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dulu keduanya di Kalimantan Timur, ‘dirampok’ Malaysia, sama sekali tidak ada upaya mempertahankan pulau itu. Kalau saja dibutuhkan relawan tentulah kita tidak berpikir panjang karena mempertahankan kedua pulau itu sama artinya menjaga wibawa negara di mata dunia.

Sekarang, Tiongkok mulai memprovokasi Indonesia yaitu melindungi nelayan Tiongkok mencuri ikan di Kepulauan Natuna. Tiongkok sendiri ‘mencaplok’ banyak wilayah negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, Indonesia dan Filipina.

Tiongkok memakai ‘rumus’ nine dash line (sembilan garis putus) yaitu titik imajiner di laut yang dijadikan Tiongkok sebagai garis teritorial di Laut Tiongkok Selatan (Lihat Gambar). ‘Rumus’ ini tidak dikenal oleh Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.

Akibat klaim Tiongkok itu perairan Laut Natuna pun masuk ke Tiongkok. Inilah yang membuat Indonesia harus tegas karena garis sembilan yang diklaim Tiongkok itu berlawan dengan UNCLOS 1982. 

Dalam gambar UNCLOS ditandai dengan garis biru, sedangkan klaim Tiongkok ditandai dengan garis merah. Penerapan sembilan titik khayal itu sudah mencaplok wilayah perairan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan Vietnam.

Inilah sumber pertikaian di Laut Tiongkok Selatan menyangkut pulau-pulau di gugusan Spratly. Memang, akibat garis biru yang dibuat UNCLOS ada laut bebas, tapi tidak mencakup kepauan Spratly.

Klaim sembilan titik khayal itulah yang dipakai Tiongkok ketika membela kapal nelayan mereka ditangkap karena mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Tapi, Tiongkok membatahnya melalui Juru bicara Kemenlu China, Hua Chunying: "Lokasi yang Anda sebutkan, tempat insiden berlangsung, merupakan kawasan penangkapan ikan tradisional China dan kapal nelayan China saat itu menjalankan aktivitas penangkapan seperti biasa di dalam area tersebut." (BBC World – detikNews, 22/3-2016).

Pernyataan Hua ini bertolak belakang dengan fakta. Tanggal 20 Maret 2016 kapal patroli KP Hiu 11 menangkap kapal KM Kway Fey 10078 karena menangkap ikan di perairan Indonesia. Kapal akan ditarik ke Natuna, tapi kapal coast guard  Tiongkok menghalang-halangi dengan  menabrak kapal KM Kway Fey 10078. Pengejaran kapal pencuri ikan ini bermula dari koordinat 05°05,866' Lintang Utara 109°07, 046' Bujur Timur (KOMPAS, 22/3-2016).

Kapal tersebut bukan kapal nelayan tradisional seperti yang dipahami dalam perjanjian dengan Malaysia, dengan Tiongkok tidak ada perjanjian terkait kapal nelayan tradisional, karena kapal itu menangkap ikan dengan pukat. Lagi pula tidak ada kesepakatan antara Indonesia dan Tiongkok tentang Traditional Fishing Right di wilahah ZEE Indonesia (trobos.com, 24/3-2016).

Perjanjian dengan Malaysia menyangkut nelayan tradisional adalah kapal di bawah 10 GT (gross tonage) dan hanya memakai pancing untuk menangkap ikan. 

Melalui perjanjian ini kalau ada nelayan dari kedua negara yang tersesat masuk wilayah negara yang lain, maka kapal nelayan tsb. tidak ditangkap tapi mendorongnya kembali ke laut wilayah negara nelayan tsb. Perjanjinan ini tertuang dalam Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcement Agencies. Ditandatangani di Bali (29/1-2012).

Klaim Tiongkok bahwa kapal nelayan mereka ada di wilayah historical traditional fishing ground juga tidak benar karena wilayah itu masuk dalam perairan ZEE Indonesia. Selain itu adalam kamus UNCLOS pun tidak dikenal traditional fishing ground, sedangkan dengan Malaysia kondisi itu diakui melalui perjajian bilateral. 

Sedangkan dengan Tiongkok selain tidak ada perjanjian daerah yang mereka klaim sebagai traditional fishing ground ada di wilayah hak berdaulat dan yurisdiksi serta landas kontinen Indonesia perairan laut ZEE Indonesia.

Ketika itu Indonesia di pandang sebelah mata oleh Malaysia yang membangun mercusuar di Tanjung Datuk, Kalimantan Barat. Sudah berbagai cara ditempuh, tapi tak membuat Malaysia menarik diri. Namun, di hari pelantikan presiden sore harinya mercu suar itu sudah dibongkar sendiri oleh Malaysia.

Provokasi Malaysia dan Tiongkok itu sudah masuk kategori intervensi karena masuk ke wilayah perairan Indonesia yang sudah diakui dunia secara hukum. Pelanggaran hukum nasional Indonesia terkait penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak teregulasi (Illegal, Unreported, and Unregulated/IUU) dikategorikan sebagai sponsor terorisme (KOMPAS, 23/3-2016).

Karena yang diakui dunia secara hukum adalah garis biru yang ditetapkan oleh UNCLOS, maka Indonesia wajib mempertahankan kedaulatan maritim di wilayah yang diklaim Tiongkok. 

Dalam pidato pelantikan pasangan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, dengan tegas presiden mengatakan akan mempertahankan kedaulatan maritim Indonesia, maka tidak ada lagi alasan untuk takluk kepada provokasi asing di wilayah maritim Indonesia.

Janganlah kita membuat Ibu Pertiwi menangis untuk lagi dan kita jadi ‘anak durhaka’ setelah berurai air mata ketika Sipadan dan Ligitan lepas, dan membuat Bung Karno kecewa ketika impiannya menguasai Kalimantan bagian Utara kini sirna karena Kalimantan Timur dimekarkan sehingga daerah baru disebut sebagai (Provinsi) Kalimantan Utara (Provinsi Kalimantan Utara Membuyarkan ‘Mimpi’ Bung Karno). 

*** [Syaiful W. Harahap] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun