Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Vs Tri Rismaharini & Ridwan Kamil: Realitas Vs Hiperrealitas

8 Januari 2016   08:02 Diperbarui: 1 Februari 2016   12:34 4740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegiatan pembangunan di wilayah DKI Jakarta menyentuh sendi-sendi kehidupan warga kota karena setiap orang di Jakarta bisa mengetahui apa yang akan dikerjakan untuk lingkungan mereka. Daftar proyek per kelurahan ditempelkan dengan ukuran besar di kantor-kantor RW sehingga warga bisa mengetahui kemajuan kelurahan secara faktual.

Pemprov DKI Jakarta menyalurkan dana kesehatan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS) dengan sistem warga yang memegang KJS berobat ke fasilitas kesehatan (faskes) yang ditunjuk. Setelah sembuh pihak faskes menagih biaya pengobatan ke Pemprov DKI. Tapi, sejak BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan beroperasi (Januari 2014) KJS otomatis masuk BPJS sehingga Pemprov DKI harus membayar iuran (premi) semua pemegang KJS. Layanan ambulans 24 jam gratis.

Hiperrealitas

Untuk menunjang pendidikan Pemprov DKI menyalurkan dana pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP). KJP dan KJS yang dimulai sejak Gubernur Jokowi-Wagub Ahok yang terus dikembangkan di era Gubernur Ahok.  Besar tunjangan KJP per bulan untuk SD/MI/SDLB sebesar Rp 210.000, SMPN/MTs/SMPLB Rp 260.000, dan SMAN/MA/SMALB Rp 375.000, serta SMKN Rp 390.000.

“Pertarungan” Ahok, panggilan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dengan anggota DPRD dan pejabat di lingkungan Pemprov DKI terkait dengan penganggaran dan penggunaan dana APBD merupakan realitas langkah lurus pejabat publik. Dalam posisi ini patut dipertanyakan: Apakah penganggaran dan penggunaan APBD Kota Bandung dan Kota Surabaya memang bersih dari penggelembungan dan penyelewengan?

Program Pemprov DKI ini merupakan realitas yang mendorong popularitas Pemprov DKI, dalam hal ini Gubernur DKI. Di ranah social settings popularitas bisa jadi bumerang, apalagi popularitas hanya sebatas hyperreality (Hiperrealitas yaitu suatu kondisi yang tidak realistis karena terjadi ketidakmampuan membedakan fakta dan fantasi).

Risma tidak pernah menanggulangi (praktek) pelacuran, tapi menutup tempat atau lokasi pelacuran yaitu ‘Dolly’. Lalu, apakah dengan langkah Walikota Risma itu pelacuran berhenti (total) di Kota ‘Buaya’ Surabaya?

Tidak! Buktinya, beberapa kasus prostitusi online yang melibatkan artis dengan tarif jutaan rupiah sampai puluhan juta rupiah untuk short time justru dibongkar polisi di Surabaya. Praktek pelacuran juga terjadi di berbagai tempat sepanjang hari.

Kondisi yang sama terjadi pula di Kota “Kembang” Bandung. Lokasi pelacuran “Saritem” ditutup, lalu: Apakah pelacuran hilang dari Kota Kembang?

Lagi-lagi tidak! Praktek pelacuran terus terjadi di Kota Bandung di banyak tempat dan sepanjang hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun