Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Bilik Asmara Mendorong (Praktik) Pelacuran di Lapas dan Rutan

20 Juli 2013   19:50 Diperbarui: 4 April 2017   17:00 3002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13743265681453771685

[caption id="attachment_276420" align="aligncenter" width="523" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Dikabarkan Septy Sanustika, penyanyi dangdut istri Ahmad Fathanah, tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap impor daging, mengirim surat ke KPK meminta ruangan khusus untuk bercinta.

Septy boleh-boleh saja mengajukan usul untuk menyediakan ’bilik asmara’ di Rutan KPK, tapi tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Selain hal itu tidak diatur dalam UU, menyediakan ’bilik asmara’ di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) akan menimbulkan persoalan baru, yaitu timbul masalah bagi narapidana (napi) dan tahanan yang tidak beristri.

Menyediakan ’bilik asmara’ di Lapas dan Rutan tentulah harus diatur dengan UU. Tidaklah mudah menjabarkan ’bilik asmara’ dalam UU karena menyangkut banyak faktor dan dimensi sosial, moral dan agama.

Lagi pula alangkah tak elok bagi sepasang suami-istri melakukan hubungan seksual di Lapas atau Rutan. Bisa suami yang jadi napi atau tahanan, bisa juga istri yang jadi napi atau tahanan. Hubungan seksual suami-istri merupakan kegiatan yang sakral dalam lingkup pernikahan sehingga tidak sepantasnya dilakukan di Lapas atau Rutan.

Tapi, sekarang ini status napi atau tahanan bukan lagi aib bagi keluarga, apalagi terkait dengan kasus korupsi. Sama sekali tidak ada lagi stigma terhadap napi koruptor sebagai kejahatan ’kerah putih’ (white collar crime). Berbeda dengan napi kriminal umum, seperti pencurian, pembunuhan, dll. yang tetap mendapat stigma di masyarakat.

Agaknya, terjadi pergeseran jika terkait dengan materi. Itu artinya situasi hedonisme (KBBI: pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dl hidup) sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Di Lapas Cipinang, Jakarta Timur, misalnya, hari Sabtu dan Minggu lapangan parkir lapas itu bak lapangan parkir hotel bintang lima. Mobil-mobil mewah berjejer di lapangan parkir. Kondisi ini berbeda dengan tahun 1980-an ketika Lapas belum dihuni pejabat yang terkait kasus korupsi.

Jika kelak anak lahir dan beranjak dewasa tentulah akan muncul masalah jika anak mengetahui orang tuanya sanggama di Lapas atau Rutan. Artinya, ibunya mengandung dia melalui pembuahan di Lapas atau Rutan.

Kalau ada ”bilik asmara” di Lapas dan Rutan, tentulah baik bagi napi atau tahanan yang beristri atau bersuami karena mereka bisa menyalurkan hasrat dorongan seksualnya.

Tapi, tidak bagi tahanan dan napi yang tidak beristri atau bersuami. Mereka akan menghadapi persoalan yaitu mereka tidak bisa memanfaatkan fasilitas bercinta yaitu ’bilik asmara’ yang disediakan.

Kondisi itu bisa membuka peluang bagi pemberi jasa yang menyediakan perempuan, seperti pekerja seks komersial (PSK), atau laki-laki (gigolo) untuk memenuhi hak napi dan tahanan.

Dalam prakteknya hal itu bisa berupa pelacuran terselubung di Lapas dan Rutan.

Soalnya, tidak mungkin ada pengecualian untuk memanfaatkan ”bilik asmara” bagi yang tidak beristri atau bersuami karena hal itu merupakan diskriminasi yang justru merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Praktek pelacuran bukan hanya terbuka bagi napi atau tahahan yang tidak beristri, tapi napi dan tahanan yang beristri pun bisa saja memanfaatkan jasa penyedia PSK. Apalagi napi dan tahanan koruptor dan pejabat yang mempunyai uang yang banyak.

Selain melakukan hubungan seksual penyaluran dorongan hasrat seks juga bisa dilakukan dengan cara ’swalayan’ yaitu onani atau masturbasi. Ini memang tidak memuaskan karena tanpa pasangan.

Praktek homoseksual bisa saja terjadi di Lapas atau Rutan, tapi di luar Lapas dan Rutan pun homoseksual terjadi. Belakangan praktek LSL (Lelaki suka Seks Lelaki) juga mulai marak dengan berbagai macam alasan.

Salah satu alasan yang dijadikan pembenar adalah bahwa homoseksual, seperti seks anal dengan waria atau LSL, tidak mengingkari cinta karena tidak memakai penis ke vagina.***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun