Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ber-HP-ria di Kabin Kapal Terbang: ‘Budaya Kampungan’ sebagai Snobisme

12 Mei 2012   05:09 Diperbarui: 16 Agustus 2019   10:16 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bundadontworry.wordpress.com

* Memakai ponsel di kabin kapal terbang diancam pidana 10 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 10 miliar

Begitu penumpang di panggil untuk naik ke kapal terbang dalam proses boarding dari ruang tunggu di bandar udara (bandara) sudah diingatkan agar mulai dari koridor di belalai gajah telepon seluler (ponsel atau HP) dan alat-alat elektronik yang memancarkan sinyal dimatikan. 

Di kabin kapal terbang pun pramugari kembali mengingatkan agar ponsel dimatikan. Peringatan untuk mematikan ponsel sekali lagi diingatkan pramugari ketika peragaan alat-alat penyelamat dan cara-cara menyelamatkan diri pada pendaratan darurat. Terakhir, ketika pilot mengingatkan awak kabin untuk posisi lepas landas (take off position) pramugari kembali mengingatkan penumpang untuk mematikan ponsel.

Apa yang terjadi? 

Sampai kapal terbang mengudara ada saja penumpang yang tetap memakai ponsel dengan sembunyi-sembunyi. 

Padalah, pramugari berkali-kali mengingatkan bahwa sinyal dari ponsel dan alat-alat elektronika yang memancarkan sinyal bisa menggangu alat navigasi dan alaram tanda bahaya kebakaran di ruang kargo. 

Penumpang kapal terbang tentulah tidak sekelas penumpang kelas ekonomi di kapal laut atau gerbong kereta api ekonomi. Penumpang kapal terbang banyak yang berpakaian parlente, penampilan berpendidikan, jam tangah, pakai jaket atau baju hangat, memegang air mineral, dan tentu saja ponsel.

Ketika pilot memberitahu awak kabin bahwa posisi untuk mendarat (landing), pramugari mengingatkan agar ponsel baru dinyalakan (on) di ruang tunggu gedung bandara, tapi begitu roda kapal terbang menyentuh landasan tiba-tiba bunyi nada buka ponsel berdering di berbagai tempat di kabin kapal terbang. 

Agaknya, mereka meng-oon-kan, maaf, meng-on-kan ponsel. 

Perilaku itu merupakan ’budaya kampungan’ sebagai bentuk dari snobisme (perilaku yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu).

’Budaya kampungan’ artinya perilaku yang tidak jadi masalah kalau dilakukan di kampung. Misalnya, berdiri di sembarang tempat di jalan tidak jadi masalah. Buang hajat di bawah pepohoan atau di balik semak-semak. Tapi, kalau hal ini dilakukan di perkotaan tentu menyalahi aturan.

Nah, sama halnya dengan ponsel. Di desa di mana sana dan kapan saja, kecuali di musola dan masjid ketika salat, bisa di-oon-kan, eh salah lagi, di-on-kan tidak jadi masalah. 

Dalam satu penerbangan dengan Garuda dari Manado ke Jakarta seorang pragumara berkali-kali menegur seorang pemuda yang sembunyi-sembunyi mengirim pesan melalui ponselnya. Anak muda itu ’menuruti’ perintah pramugara. Tapi, anak muda itu kembali memakai ponselnya. Terakhir pramugara itu marah-marah. Pemuda itu tetap saja tidak menggubris teguran bahkan dia mendongakkan kepala sambil menoleh ke jendela bukan ke pramugara yang menegurnya.

”Wah, nyawanya dua kali,” celutuk seorang penumpang. Ya, dia selamat karena nyawanya dua, tapi penumpang yang lain kan bisa koit. 

Perilaku sebagian penumpang kapal terbang itu menunjukkan bahwa mereka ingin memastkan bahwa pesan dikirim dari kabin kapal terbang. Ini merupakan perilaku yang mengacu ke snobisme.

Mandala Airlne pernah menurunkan tujuh penumpang yang tidak mau mematikan ponsel dalam penerbangan RI 103 Pekanbaru-Batam (30/12/2009) di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru. Karena tetap tidak mau mematikan ponsel awak kabin pun menurunkan penumpang ’kampungan’ itu.

Di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pun Mandala juga pernah menurunkan seorang penumpang yang bersikeras memakai ponsel (April 2008) pada penerbangan Jakarta-Denpasar via Yogyakarta.

Langkah awak Mandala itu sesuai dengan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik. Pada pasal 33 disebutkan: ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 

Ancaman pidana terhadap perbuatan yang memenuhi pasal 22 disebutkan di pasal 49: ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Sayang sikap tegas awak Mandala yang dilindungi UU itu tidak ditanggapi secara positif oleh otoritas bandara. Jika mengacu ke UU maka penumpang itu harus diproses secara hukum. Di bandara ada pos polisi. Atau, bisa saja diserahkan ke kantor atau pos polisi terdekat kalau di bandara itu tidak ada pos polisi. 

Wawancara wartawan MetroTV (12/5-2012) dengan keluarga salah seorang penumpang kapal terbang Sukhoi yang menabrak punggung Gn Salak, Bogor, Jawa Barat (9/5-2012), menujukkan ada ponsel yang aktif di kapal terbang itu. ”Sampai Kamis sore HP-nya masih bisa dihubungi. Aada nada sambung, tapi tidak bisa menampung pesan,” kata laki-laki yang diwawancarai MetroTV

Di kabin kapal terbang perlu ada sticker yang menyebutkan ancaman pidana bagi yang memakai ponsel. Selama ini yang disampaikan pramugari hanya ancanam kalau membawa narkoba. Penumpang yang membawa narkoba tidak mengganggu keselamatan penerbangan, sedangkan penumpang yang memakai ponsel jelas bisa menimbulkan kecelakaan yang fatal dengan kematian yang sia-sia.

Pemerintah pun perlu menjadikan kapala awak kabin sebagai penyidik pembantu khusus agar bisa memproses penumpang yang memakai ponsel di kabin kapal terbang. 

Sudah saatnya otoritas bandara tegas menghadapi penumpang yang memakai ponsel di kabin kapal terbang. Laporan dari awak kabin dengan mencacat nomor kursi bisa jadi bukti. Penumpang lain akan ada yang bersedia menjadi saksi bagi penumpang ’kampungan’ yang tidak menghargai keselamatan (orang lain). ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun