Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Perda AIDS Kab Batang, Jateng, Menanggulangi HIV/AIDS di Hilir

16 Maret 2012   03:14 Diperbarui: 17 Juli 2018   03:01 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: dicassobresaude.com

Sejak peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pertama diterbitkan di Kab Nabire, Prov Papua, tahun 2003 sudah ada 56 daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang sudah menerbitkan perda. Dari 56 perda itu satu peraturan gubernur (Jawa Barat) dan satu peratauran walikota (Kota Surakarta).

Pemkab Batang, Prov Jawa Tengah, rupanya tidak mau ketinggalan menelurkan perda sejenis. Maka, tanggal 22 Juni 2011 disahkan Perda No 3 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Batang. Perda ini merupakan yang ke-54 dari 56 perda sejenis yang sudah ada di Indonesia. Di Jateng perda ini yang ke-4 setelah Kota Surakarta, Prov Jawa Tengah, dan Kab Semarang.

Sama seperti perda-perda yang sudah duluan terbit, perda ini pun hanya sebatas copy-paste dari perda yang sudah ada. Juga bandingkan dengan Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Baca juga: Perda AIDS Prov Jawa Tengah Mengabaikan Risiko Penularan HIV di Lokasi Pelacuran dan Mitos di Perda AIDS Kab Semarang, Jawa Tengah).

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 2007 – Februari 2012 tercatat 177 yang terdiri atas 125 HIV dan 52 AIDS dengan 27 kematian Pemkab Batang sudah harus menjalankan langkah-langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Tapi, seperti perda-perda lain sama dalam perda ini pun sama sekali tidak ada cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Langkah yang ditawarkan hanya bersifat normatif, sedangkan penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan cara yang konkret.

Penanggulangan yang diperlukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks di lokasi pelacuran atau tempat-tempat lain yang menyediakan layanan jasa seks. Thailand berhasil menurunkan isiden infeksi baru melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Perda-perda AIDS di Indonesia sebenarnya ’mengekor’ ke program Thailand, tapi diadopsi dengan setengah hati. Semangatnya dipakai, tapi penerapannya nol besar!

Lihat saja di pasal 3. Disebutkan: Tujuan penanggulangan HIV dan AIDS adalah (a) Melindungi masyarakat dari resiko HIV dan AIDS, (b) mencegah dan mengurangi penularan HIV.

Persoalannya adalah: Bagaimana cara untuk melindungi masyarakat,b agan bagaimana pula cara untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV?

Tidak ada langkah yang konkret. Di pasal 8 disebutkan: Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya: (a) Melakukan sosialisasi dan pendidikan tentang informasi HIV dan AIDS kepada seluruh masyarakat, (b) membudayakan perilaku seksual yang aman, setiap pada pasangan, menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman.

Terkait dengan (a) yang perlu dipertanyakan adalah: Apakah informasi bahas sosialisasi diberikan secara akurat? Soalnya, dalam berbagai brosur, leaflet, dll. informasi yang disampaikan selalu dibumbui dengan moral sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang ditangkap masyarakat hanyalah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Langkah-langkah yang ditawarkan agama-agama di Jakarta, misalnya, sama sekali tidak memberikan cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV (Baca juga: Menyibak Pencegahan HIV dalam Pandangan Agama-agama)

Penularan HIV, terutama melalui hubungan seksual, selalu dikaitkan dengan moral. Misalnya, disebutkan penularan HIV terjadi karena hubungan seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal, waria, dll. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual), bukan karena seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal, waria, dll. Kalau satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, dll.

Terkait dengan langkah (b) yaitu membudayakan perilaku seksual yang aman, setiap pada pasangan, menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman, maka diperlukan mekanisme yang konkret. Sayag, dalam perda tidak ada mekanisme yang konkret untuk menerapkan ayat (b) itu.

Di wilayah Kab Batang terdapat lokasi pelacuran. Kalau saja perda itu meregulasi pelacuran tentulah upaya menurunan insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan seperti yang dilakukan oleh Thailand. Germo diberikan semacam izin usaha agar mereka berada dalam genggaman hukum agar bisa diberikan sanksi.

Nah, Thailand ’memegang’ germo sehingga peraturan efektif. Di Indonesia yang dijadikan ’sasaran tembak’ justru pekerja seks. Padahal, posisi tawar pekerja seks untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah. Seperti yang sudah diterapkan di Kab Merauke, Prov Papua, sudah ada beberapa pekerja seks yang masuk bui. Tapi, ’posisi’ pekerja seks itu akan digantikan oleh pekerja seks ’baru’.

Thailand menjalankan pemantauan yang konkret. Secara rutin pekerja seks mengikuti survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, jengger ayam, hepatitis B, dll.). Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo akan kena sanksi. Hal ini membuat posisi tawar pekerja seks kuat sehingga laki-laki pun tidak bisa lagi memakai tangah germo untuk memaksa pekerja seks meladeninya tanpa kondom.

Di ayat (b) disebutkan ’menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman’ ini tidak tepat. Yang dianjurkan memakai kondom adalah laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko, yaitu:

(1) dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

(2) dilakukan dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, waria, dan perempuan pelaku kawin-cerai di dalam dan di luar nikah.

(3) dilakukan dengan laki-laki dalam kaitan Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki/LSL melalui seks anal (Baca juga: Fenomena Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki dalam Epidemi AIDS).

Perda ini justru lebih condong pada penanggulangan di hilir. Artinya, yang ditangani adalah penduduk yang sudah tertular HIV, seperti pengobatan, dukungan dll. Padahal, yang diperlukan adalah pencegahan HIV di hilir, misalnya, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Melalui kebijakan dan strategi penanggulangan yang ditawakan perda ini menunjukkan penanggulangan di hilir. Lihat saja di pasal 5 dan 6 tentang strategi penanggulangan, yaitu:

(a) Meningkatkan dan memperluas program penemuan penderita HIV-AIDS, perawatan, dukungan maupun pengobatan, (b) Mengembangkan program Pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual, Penularan dari Ibu kepada bayi, dan program pengurangan dampak buruk.

Ayat (a) jelas harus ada dulu penduduk yang mengidap HIV. Lagi pula, dalam perda tidak ada cara yang konkret untuk menemukan penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS. Tidak ada cara yang sistematis. Bandingkan dengan Malaysia yang menjalankan survailans tes HIV rutin, berkala dan khusus terhadap beberapa kalangan masyarakat.

Begitu pula dengan langkah (b) yaitu mencegah HIV melalui hubungan seksual dan dari ibu-ke-bayi yang dikandungya tidak pula ada langkah yang konkret.

Salah satu yang mendorong penyebaran HIV adalah laki-laki ’hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Tapi, di lokasi pelacuran yang ada di wilayah Kab Batang tidak ada regulasi yang ketat untuk memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja seks.

Begitu pula dengan upaya mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil. Maka, yang dilakukan adalah menunggu perempuan berobat atau kontrol ketika hendak melahirkan di sarana kesehatan pemerintah saja.

Cara-cara penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini pun kian sumar-samar karena berpijak pada moral. Lihat saja di pasal 8 ayat f disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya pengaturan, pembinaan, dan pengendalian pada tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan.”

Pasal ini bermuatan moral sehingga tidak konkret. Apa, sih, yang dimaksud dengan ’tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan’? Penularan HIV bisa terjadi di sembarang tempat kalau ada hubungan seksual berisiko. Di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, rumah, kos-kosan, apartemen, taman, hutan belantara, dll. Pasal ini menggambarkan kemunafikan.

Soalnya, yang dimaksud dengan ’tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan’ tentulah pelacuran. Mereka tidak marah kalau disebut ’tempat esek-esek’. (Baca juga: Praktek ‘Esek-esek’ di Kab Cirebon, Jabar). Praktek ‘Esek-esek’ di lokasi pelacuran. Kemunafikan kian kental, seperti yang terjadi di Kab Cirebon, Jabar. Pejabat dan pemuka agama di sana akan gusar kalau wartawan menulis tempat atau lokasi Kab Cirebon, Jabar).

Risiko tertular HIV terkait langsung dengan perilaku orang per orang (kecuali ibu-ibu rumah tangga dan bayi), tapi di Indonesia perilaku disamaratakan sehingga muncullah jargon ’peran serta masyarakat’.

Di pasal 22 ayat 1 disebutkan: Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan keluarga.

Cara-cara yang dianjurkan perda ini hanya mitos. Apa yang dimaksud dengan ’berperilaku hidup sehat’? Orang yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah menunjukkan kesehatan secara biologis. Begitu pula dengan ’ketahanan keluarga’, apa, sih, yang dimaksud dengan ’ketahanan keluarga’ yang bisa mencegah penularan HIV?

Di sisi lain dua hal itu pun akan mendorong masyarakat memberikan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka adalah orang yang tidak sehat perilakunya dan keluarganya tidak mempunyai ketahanan.

Lagi-lagi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sebagai fakta medis dengan cara-cara yang tidak faktual. Maka, perda ini pun tidak bermanfaat dalam menanggulangi HIV/AIDS di Kab Batang.

Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menujukkan suami mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV. Sayang, dalam perda tidak ada interventi untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri. ***[Syaiful W. Harahap]***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun