Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Perda AIDS Kab Batang, Jateng, Menanggulangi HIV/AIDS di Hilir

16 Maret 2012   03:14 Diperbarui: 17 Juli 2018   03:01 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: dicassobresaude.com

Penularan HIV, terutama melalui hubungan seksual, selalu dikaitkan dengan moral. Misalnya, disebutkan penularan HIV terjadi karena hubungan seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal, waria, dll. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual), bukan karena seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal, waria, dll. Kalau satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, dll.

Terkait dengan langkah (b) yaitu membudayakan perilaku seksual yang aman, setiap pada pasangan, menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman, maka diperlukan mekanisme yang konkret. Sayag, dalam perda tidak ada mekanisme yang konkret untuk menerapkan ayat (b) itu.

Di wilayah Kab Batang terdapat lokasi pelacuran. Kalau saja perda itu meregulasi pelacuran tentulah upaya menurunan insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan seperti yang dilakukan oleh Thailand. Germo diberikan semacam izin usaha agar mereka berada dalam genggaman hukum agar bisa diberikan sanksi.

Nah, Thailand ’memegang’ germo sehingga peraturan efektif. Di Indonesia yang dijadikan ’sasaran tembak’ justru pekerja seks. Padahal, posisi tawar pekerja seks untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah. Seperti yang sudah diterapkan di Kab Merauke, Prov Papua, sudah ada beberapa pekerja seks yang masuk bui. Tapi, ’posisi’ pekerja seks itu akan digantikan oleh pekerja seks ’baru’.

Thailand menjalankan pemantauan yang konkret. Secara rutin pekerja seks mengikuti survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, jengger ayam, hepatitis B, dll.). Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo akan kena sanksi. Hal ini membuat posisi tawar pekerja seks kuat sehingga laki-laki pun tidak bisa lagi memakai tangah germo untuk memaksa pekerja seks meladeninya tanpa kondom.

Di ayat (b) disebutkan ’menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman’ ini tidak tepat. Yang dianjurkan memakai kondom adalah laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko, yaitu:

(1) dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

(2) dilakukan dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, waria, dan perempuan pelaku kawin-cerai di dalam dan di luar nikah.

(3) dilakukan dengan laki-laki dalam kaitan Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki/LSL melalui seks anal (Baca juga: Fenomena Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki dalam Epidemi AIDS).

Perda ini justru lebih condong pada penanggulangan di hilir. Artinya, yang ditangani adalah penduduk yang sudah tertular HIV, seperti pengobatan, dukungan dll. Padahal, yang diperlukan adalah pencegahan HIV di hilir, misalnya, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Melalui kebijakan dan strategi penanggulangan yang ditawakan perda ini menunjukkan penanggulangan di hilir. Lihat saja di pasal 5 dan 6 tentang strategi penanggulangan, yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun