Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Bola

Menguji Peran Perda HIV/AIDS Prov Sulawesi Utara*

24 April 2011   02:32 Diperbarui: 6 Maret 2018   18:35 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: mbioblog.asm.org)

Pasal ini merupakan adopsi dari ’program wajib kondom 100 persen’ di Thailand. Awal dekade 2000-an dikabarkan Thailand berhasil menurunkan infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program wajib kondom 100 persen di Thailand merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Program yang dijalankan Thailand secara simultan dan konsisten adalah: meningkatan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks.

Program dijalankan Thailand di lokaliasi pelacuran dan rumah bordir sehingga pemantauan ketaatan pelanggan bisa dilakukan. Pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di lokalisasi dan rumah bordir menjalani tes survailans IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatis B, dll.) secara rutin. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan bahwa ada PSK yang melakukan hubungan seks dengan pelanggan yang tidak memakai kondom. Pengelola lokalisasi dan rumah bordir yang terdeteksi ada PSK-nya yang mengidap IMS akan diberi peringatan sampai penutupan usaha.

PRAKTEK PELACURAN

Karena pemantauan terhadap ketaatan memakai kondom pada hubungan seks berisiko bukan terhadap orang per orang, maka pasal 13 ayat 2 (a) itu pun tidak efektif. Lagi pula terjadi penolakan besar-besaran terhadap sosialisasi kondom sebagai alat mencegah HIV melalui hubungan seks. Kalangan yang kontra menganggap kondom akan mendorong orang berzina dan melegalkan pelacuran. Ini pendapat yang keliru dan menyesatkan karena laki-laki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Lagi pula tidak ada bukti yang menunjukkan orang akan (otomatis) berzina atau melacur jika mengantongi kondom.

Dalam Perda AIDS Sulut ada beberapa pasal yang menyebutkan ’tempat yang beresiko terhadap penularan HIV-AIDS’. Ini bahasa moral yang tidak menyentuh realitas. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara tempat dengan penularan HIV. Di mana saja dan kapan saja penularan HIV bisa terjadi. Dalam sidang pengesahan perda pun dikabarkan semua fraksi di DPRD Prov. Sulut: “ .... dengan tegas menolak lokalisasi.” Ini lagi-lagi ambiguitas. Di satu sisi praktek-praktek pelacuran marak di depan mata, tapi di sisi lain ada penolakan terhadap lokalisasi yang dianggap sebagai simbol pengakuan terhadap pelacuran.

Kalau saja Perda AIDS Sulut ini tidak bermuatan moral tapi mengutamakan fakta medis terkait epidemi HIV tentulah tidak ada istilah ’tempat yang beresiko terhadap penularan HIV-AIDS’. Istilah ini merupakan eufemisme terhadap lokasi atau lokalisasi pelacuran dan tempat hiburan (malam). Ada kesan bahwa kalau di satu daerah tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran maka daerah itu bersih dari pelacuran.

Apakah kesan itu benar?

Tidak! Soalnya, praktek pelacuran bisa terjadi di mana saja. Praktek pelacuran dapat dilakukan dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung (seperti ’anak sekolah’, ’ayam kampus’, karyawati bar dan panti pijat, ’ibu rumah tangga’, dll.).

Jika ditilik dari aspek kesehatan masyarakat maka praktek-praktek pelacuran yang tidak dilokalisir justru menjadi sumber penularan IMS dan HIV karena tidak ada mekanisme kontrol terhadap perilaku seks PSK dan pelanggan. Penyakit IMS pada PSK langsung dan PSK tidak langsung tidak bisa dimonitor. IMS pada PSK merupakan salah satu indikasi terhadap HIV. Andaikan laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap HIV maka ada kemungkinan juga terjadi penularan HIV sekaligus ketika terjadi penularan IMS.

Selanjutnya, laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari berperan sebagai suami, lajang, atau duda akan berisiko pula tertular HIV jika mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung. Berikutnya, laki-laki yang tertular IMS dan HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Mata rantai penyebaran HIV pun akan terus terjadi sehingga menambah kasus infeksi baru di kalangan dewasa tanpa bisa dikontrol karena semua terjadi tanpa disadari.

Untuk itulah perlu digencarkan sosialisasi HIV/AIDS dengan materi yang akurat, al. melalui media massa agar tingkat pemahaman masyarakat luas terhadap HIV/AIDS meningkat. Dengan pemahaman yang komprehensif diharapkan orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko mau menjalani tes HIV secara sukarela. Sekarang sudah tersedia tempat tes sukarela dengan bimbingan gratis yang dikenal sebagai klinik VCT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun