Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Berkali-kali Diusir Karena Dikenal Sebagai 'Pengantin AIDS'

9 Desember 2010   16:26 Diperbarui: 19 Desember 2018   16:12 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: http://theaidsinstitute.org)

Pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi HIV-positif sekarang ini mungkin jauh lebih beruntung daripada Nuraini (meninggal dunia di RS Wahidin, Makassar, 26 Januari 2009). Dia seorang Odha di Makassar yang terdeteksi HIV-postitif tahun 1997. Banyak orang yang tertular HIV bisa menyembunyikan status dirinya sehingga tidak mengalami stigmatisasi (pemberiaan cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda). 

Berbeda dengan Nuraini yang terjaring razia di ‘lokalisasi pelacuran’ di Bonerate, Makassar, Sulawesi Selatan, tanggal 5 Juli 1997. Malam itu, Nuraini bersama belasan PSK lainnya yang terjaring pada razia malam itu dibawa ke Panti Sosial Mattirodeceng untuk pembinaan selama enam bulan. 

Di panti itu darah Nuraini dan teman-temannya diambil oleh seorang dokter. Untuk apa darah itu diambil? Mereka tidak tahu. Yang jelas Nuraini dan teman-temannya tidak berani menolak ketika darah mereka diambil. Mereka menyadari bahwa dengan menolak berarti hukuman akan diterima. 

Nuraini dan teman-temannya mencoba sembunyi agar darahnya tidak diambil. Tapi, mereka ditarik-tarik dari persembunyiannya seperti binatang. Padahal, mereka tidak tahu untuk apa darahnya diambil karena tidak ada penjelasan dari pihak Dinas Sosial dan dokter yang mengambil darah mereka.1 Setelah tiga kali menjalani tes HIV, akhirnya Nuraini dan dua orang temannya dinyatakan HIV-positif. 

Namun, sebelum Nuraini dan dua temannya mengetahui hasil tes HIV mereka ternyata wartawan dan beberapa orang lainnya justru sudah tahu bahwa mereka HIV-positif.2 

Pengetahuan Nuraini dan dua temannya tentang HIV/AIDS ketika itu nol besar. Padahal, berdasarkan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sebelum tes dilakukan harus ada konseling (bimbingan) yang menjelaskan semua hal yang terkait dengan HIV/AIDS, informasi dasar, penularan, pencegahan, tes dan lain-lain. Setelah yang dikonseling memahaminya dengan benar maka dia pun dianjurkan menjalani tes HIV baik untuk diagnosis maupun survailans. Kesediaannya (informed consent) diberikan dengan lisan atau tertulis dengan nama asli, inisial atau samaran.

Ketemu Jodoh

Ketika pengambilan darah mereka hanya diminta masuk dalam ruangan. Di sana ada banyak suster dan dokter. Mereka sama sekali tidak menerima konseling.

Nuraini mengaku hasil tes darahnya dia ketahui dari berita di sebuah harian lokal bukan dari pegawai Dinas Sosial di panti itu atau dari dokter yang mengambil darahnya. Dalam berita itu namanya ditulis dengan jelas. Setelah ada berita barulah pegawai Dinas Sosial menyampaikan bahwa dirinya terpapar HIV. 

Tapi, apa dan bagaimana HIV yang sebenarnya Nuraini sama sekali tidak tahu karena petugas tadi tidak menjelaskannya. Yang disampaikan oleh hanya keterangan bahwa penyakitnya belum ada obatnya. Nurani dan teman-temannya hanya melongo mendengar penjelasan itu karena mereka tidak tahu maksudnya. 

Ketika menyadari bahwa hidupnya tidak berarti lagi setelah dia mengetahui bahwa penyakitnya belum ada obatnya Nurani meronta-ronta sampai pingsan. Dia tidak menerima hasil tesnya. Semangat hidupnya pupus. Obat nyamuk pun diminumnya untuk mengakhiri hidupnya. Mati pada saat itu bagi Nuraini jauh lebih berarti daripada hidup. Baginya hidup sudah tidak ada lagi nilainya karena penyakitnya tidak ada obatnya. Kondisi itu membuat dirinya kurus dan sakit.

Untunglah ada Dewi Fortuna yang berpihak padanya. Dua bulan setelah didiagnosis HIV-positif ada laki-laki yang mencintainya. Laki-laki itu dengan tulus mengulurkan tangan untuk menikahinya tanpa mempermasalahkan masa lalunya dan kondisi dirinya pada saat itu. Ketika diajak menikah Nuraini tidak bisa menjawab karena sudah tahu kondisi dirinya pada saat itu. Menikah baginya sangat sulit karena penularan HIV sudah diketahuinya, yakni bila melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Supaya mendapat penjelasan yang akurat, Nuraini meminta laki-laki yang ingin menikahinya itu untuk menemui pimpinan Dinas Sosial. Mulutnya terkunci rapat untuk memberikan penjelasan soal status dirinya pada saat itu.

Mendengar penjelasan soal kondisi diri Nuraini, laki-laki yang berniat menikahinya itu kaget dan takut. Keinginannya untuk menikah bahkan diurungkan. Namun, setelah mendengar penjelasan tentang cara penularan dan pencegahan HIV laki-laki itu memantapkan hatinya untuk menikah dengan Nuraini. Kalau jodoh memang tidak akan kemana. Tuhan maha adil dan bijaksana. Demikian halnya dengan Nuraini. Kala keputusasaan mendera jiwa, di saat hanya kematian terpatri dalam dinding hati, dirinya dikirimi laki-laki yang sepenuh hati mencintainya.

Laki-laki itu tidak mempersoalkan kondisi dirinya yang sudah dinyatakan HIV-positif. Hatinya telah bulat untuk menikahi Nuraini dan menjadi suami yang baik. Padahal, laki-laki itu HIV-negatif, bahkan hingga saat ini status dirinya tetap HIV-negatif kendati sudah delapan tahun sebagai suami Nuraini. 

Setelah laki-laki itu melamar Nuraini secara resmi kepada Kepala Dinas Sosial, Nuraini diminta memanggil orang tuanya sebagai wali. Karena takut menanggung risiko yang akan terjadi bila orang tuanya tahu kondisi dirinya, Nuraini menolak. Karena pihak Dinas Sosial tidak bisa menikahkan bila orang tuanya tidak menjadi wali, akhirnya Nuraini memanggil orang tuanya dari kampung. 

Ketika orang tua Nuraini datang, pihak Dinas Sosial memberikan penjelasan tentang status diri Nuraini. Dijelaskan bahwa Nuraini terpapar HIV/AIDS, tapi tidak akan menular bila melakukan hubungan seks memakai kondom. Hanya itu yang dijelaskan kepada orang tua Nuraini. Kedua orang tua Nuraini tidak bisa berbuat apa-apa setelah tahu kondisi anaknya yang akan tergantung pada obat. “Orang tuaku menerima dengan lapang dada, karena walau bagaimanapun saya akan tetap menjadi anak mereka,” kata Nuraini mengenang masa lalunya.

Ditolak Rumah Sakit

Nuraini sama sekali tidak tahu kalau pernikahannya waktu itu diliput oleh wartawan. Bahkan, dia tidak tahu bila dirinya yang menggunakan pakaian pengantin berwarna merah terpampang di koran yang memberitakannya sebagai ‘Pengantin AIDS’ atau ‘pengidap HIV menikah’. Apalagi pada saat itu dirinya sama sekali tidak pernah diwawancarai oleh wartawan.3

Dia baru tahu bila status dirinya telah tersebar luas sehari setelah menikah. Ketika itu Nuraini dan suaminya jalan-jalan untuk menikmati bulan madu. Namun, yang mereka dapat justru cibiran dari orang yang mengenal wajahnya karena dimuat di koran. Ingatannya lalu tertuju pada saat dirinya sedang menggunakan pakaian pengantin. Pada saat itu memang beberapa kamera berusaha mengambil gambarnya dalam kamar. Tapi, Nuraini tidak tahu kalau orang-orang yang memotretnya itu adalah wartawan. 

Beberapa hari kemudian dia baru tahu dan melihat fotonya terpampang dengan jelas di koran lokal tanpa ada pengaburan wajah. Padahal, pada saat itu pemahaman masyarakat soal HIV/AIDS sangat awam. Banyak orang yang menilai ‘pengidap HIV/AIDS’ seperti monster yang menakutkan dan dengan mudah akan menularkan penyakitnya pada orang lain. 

Stigmatisasi dan diskriminasi sangat kuat ketika itu. Tapi, wartawan tidak memperdulikan dampak berita mereka. Wartawan justru merasa bangga bila mendapat data dan foto orang-orang yang dinyatakan HIV-positif tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Berita yang berempati sama sekali tidak pernah dipikirkan wartawan ketika mereka meliput pernikahan Nuraini. 

Pemberitaan pernikahan Nuraini di media cetak dan salah satu televisi swasta kala itu membuat keluarganya yang tinggal sekitar 80 km dari Makassar tercengang. Keluarga suaminya pun tidak bisa menerima Nuraini.

Tapi, lagi-lagi suaminya tetap kukuh pada pendiriannya. Ikrar telah dilafalkan dan tak mungkin diingkari. Nurani akan tetap menjadi istrinya sepanjang hayatnya, tetap menjadi ibu dari dua orang anaknya. Apa pun risikonya. 

Dia menyadari bahwa orang tuanya dan keluarganya tidak merimanya hanya karena ketidaktahuan mereka soal AIDS dengan benar. Butuh waktu yang lama untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa virus HIV yang ada pada dirinya takkan menular kepada keluarganya, termasuk suaminya selama mereka tidak melakukan perbuatan yang berisiko.

Bagi Nuraini Juli 1997 merupakan petaka yang tak akan pernah dilupakannya sepanjang hayatnya. Pada saat itu dirinya harus pindah dari rumah kos yang satu ke kos yang lain karena warga yang tinggal tak jauh dari rumahnya tidak menerima kehadirannya karena kondisi dirinya yang bertatus HIV-positif. Penduduk menganggap HIV merupakan penyakit kutukan dan penularannya melalui udara atau nyamuk. 

Pemahaman masyarakat soal HIV/AIDS kala itu memang masih sangat rendah. Suaminya yang ketika itu pegawai honorer di salah satu kantor pemerintahan di Makassar ikut pula mendapat diskriminasi. Setelah ada berita tentang pernikahannya dengan perempuan yang bertatus HIV-positif, pimpinannya memecatnya tanpa alasan yang jelas. 

Pengabdiannya yang telah puluhan tahun berlangsung tak bernilai hanya karena menikah dengan Nuraini. Alasan pemecatannya, karena dia telah terkena kasus sehingga keberadaannya sulit diterima. Keputusan pimpinannya yang tidak manusiawi dan tampa pertimbangan yang matang itu tak membuatnya menceraikan istrinya. Dia tetap pada keputusannya menjadi suami Nuraini. Cinta yang tumbuh dalam hati sungguh suci dan tulus. 

HIV/AIDS bagi masyarakat merupakan momok yang sangat menakutkan. Ketika Nuraini menggunakan baju kaos (T-Shirt) yang ada kata-kata HIV/AIDS penduduk yang tinggal di sekitar rumahnya di Tallo mengusirnya. Kaos itu diperolehnya ketika mengikuti pertemuan Odha di Bali tahun 1998.

Nurani dan suaminya bagaikan ‘virus yang mematikan’ bagi penduduk yang tinggal di sekitar tempat kosnya. Nuraini memang baru saja mengikuti pelatihan advokasi di Bali. Dia diundang Yayasan Spiritia, sebuah yayasan pendampingan Odha di Jakarta. Dalam kegiatan itulah Nuraini mengtahui secara detail tentang apa dan bagaimana HIV/AIDS yang sebenarnya. Dia juga dibekali dengan berbagai macam buku soal HIV/AIDS.

Nuaraini membaca buku-buku itu sehingga dia memahami HIV/AIDS. Ketika Nuraini ikut sebagai ‘peserta’ pada sebuah pelatihan di Makassar, dari belasan wartawan hanya beberapa yang mengenal Nuraini sebagai Odha. Ketika sharing dengan Nuraini banyak wartawan yang tercengang karena mereka tidak menyadari di antara mereka ada Odha.

Beberapa penduduk juga mengenali wajah Nuraini lewat koran sebagai ‘Pengantin AIDS’. Ini yang membuatnya terusir untuk yang kesekian kalinya.

Dulu bukan hanya masyarakat yang tidak menerima diri Nuraini. Tapi, rumah sakit juga ikut mendiskriminasinya. Misalnya, ketika sakit Nuraini berobat ke rumah sakit swasta di Makasar. Rumah sakit tidak mau merawatnya setelah Nuraini menyampaikan status dirinya. 

Demikian pula ketika dia sakit tahun 2003. Seorang dokter di rumah sakit lain di Makassar mengetahui status HIV Nuraini dari rekannya sesama dokter (di rumah dokter inilah Nuraini tinggal setelah diusir penduduk berkali-kali). Pihak rumah sakit ini malah memintanya untuk pindah ke RS Wahidin. Alasannya, rumah sakit itu belum bisa merawat pasien HIV-positif. 5

Akhirnya, Nuraini pindah ke RS Wahidin. Di rumah sakit ini Odha memang dirawat intensif. Sayang, terkadang pihak rumah sakit menulis status pasien di tempat tidur sehingga orang lain mengetahuinya.Hal ini dialaminya Maret 2004. Nuraini protes dan menjelaskan kepada perawat bahwa status dirinya sebagai Odha tidak boleh ditulis di tempat tidurnya. Mendengar penjelasan tersebut perawat yang bertugas langsung menghapus status HIV Nuraini dari caratan di tempat tidurnya.

Dianggap Momok

Nuraini juga pernah diusir dari Badoka atau di Jalan Gaeng Ramang. Penyebabnya, karena dia memakai kaos bertulisakn ‘Manusia HIV/AIDS yang diperolehnya dari pelatihan di Bali tahun 1999. “Penduduk yang tinggal di rumah kosku memintaku pergi karena kata mereka saya pembawa penyakit dan bisa menular kepada semua penduduk,” kata Nuraini. Dia tidak punya pilihan. Dia pindah karena takut diamuk massa. “Dengan hati yang hancur kami terpaksa angkat kaki,” ujar Nuraini.. Dia merasa penjelasannya tentang HIV/AIDS tidak akan diterima tetangganya

Tahun 1998 Nuraini kembali terusir dari tempat tinggalnya di sekitar pompa bensin di Jalan Urip Sumaharjo. Memang, penduduk tidak mengusirnya secara langsung, Tapi, seorang tetangganya mengatakan bahwa Nuraini pernah dilihatnya di koran sebagai ‘pengidap penyakit’.

Namun, tetangganya itu mengaku lupa nama penyakitnya. Sebelum diusir, Nuraini dan suaminya memilih pindah. Hampir setiap bulan suami-istri ini pindah dari satu rumah kos satu ke rumah kos yang lain hanya karena pemahaman penduduk yang rendah soal HIV/AIDS. 

Nuraini seolah-olah jadi momok bagi penduduk yang mengetahui status HIV-nya. ‘Rasa aman’ baru dirasakan suami-istri ini setelah mereka tinggal di rumah dr Alimin tahun 2003. Tak ada diskriminasi. Sejak tinggal di rumah Pak Dokter itulah mereka tidak pernah lagi diusir penduduk. “Kata Pak Dokter yang berhak mengusir cuma dia,” kata Nuraini. Penduduk yang tingal di sekitar rumah dokter Alimin baik dan tidak pernah mempersalahkan keberadaan Nuraini.

Setelah mengikuti pelatihan HIV/AIDS di Bali tahun 1999 dan banyak membaca buku tentang HIV/AIDS, apalagi setelah bertemu dengan almarhum Suzana Murni.4 Nuraini mulai terbuka tentang status dirinya.

 “Susana pernah bilang bahwa suatu hari nanti orang akan tahu tentang status diri kita, lalu kenapa kita tidak mau terbuka, lagi pula tidak semua orang tahu soal HIV/AIDS.” Kata-kata inilah yang mendorong Nuraini mau terbuka tentang status dirinya. Bahkan, wajah dan namanya tidak lagi dipersoalkannya jika dimuat di media massa.

Pertama kali Nuraini terbuka tentang status dirinya dilakukannya dalam acara sosialisasi HIV/AIDS di Hotel Sahid Makassar. Acara itu dihadiri oleh pengurus KPAD Makassar, USAID, pengurus LSM dan aparat pemerintah kota (Pemkot) Makassar. Pertemuan dihadiri sekitar 60 orang. 

Sebelum berbicara di depan umum, panitia meminta persetujuan Nuraini untuk terbuka dan tidak memaksanya. Nurani langsung setuju untuk terbuka. Alasannya, karena ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa sama sekali tidak ada perbedaan antara orang yang HIV-positif dengan orang yang HIV-negatif. Kondisi dirinya tidak separah yang dibayangkan orang selama ini. Nuraini ingin mengatakan pada semua orang bahwa kondisi fisik antara HIV-positif dan HIV-negatif sama sekali tidak ada perbedaannya secara fisik. Sejak itulah Nuraini sering diundang untuk berbicara. tenang HIV/AIDS.

Nurani memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa penularan HIV tidak semudah yang dibayangkan selama ini. Hepatitis B dan TBC jauh lebih mudah menular daripada HIV/AIDS. Setiap kali pertemuan, menurut Nuraini, peserta selalu menanyakan kondisi dirinya, bagian tubuh mana yang sakit. Apakah selera makannya tidak berkurang, Bagaimana kondisi suaminya yang masih negatif dan bagaimana caranya menjaga diri sehingga suaminya masih tetap negatif kendati sudah bertahun-tahun menikah.

Nuraini selalu memberitahu dokter atau perawat di rumah sakit tentang statuf HIV-nya karena dia tidak ingin orang lain terpapar. Nurani tidak mau menularkan virus yang ada pada dirinya kepada orang lain. Hal ini sering membingungkan kalau dia di rawat di rumah sakit. Soalnya, kalau dia tidak terus terang maka dokter dan perawat tidak tahu status dirinya. 

Tapi, sebaliknya kalau dia membeberkan status dirinya dia ketakutan akan mendapat diskriminasi atau ditolak rumah sakit seperti yang pernah dia alami. Tapi, sikap teguh untuk menjaga kesehatan orang lain dan diri sendiri lebih kuat dalam diri Nuraini sihingga dia selalu jujur tentang kondisi dirinya. Dokter tidak pernah melakukan diskriminasi, hanya perawat yang sering takut mendekatinya.

Membuka Diri

Ketika terjadi pembengkakan pada payudaranya tahun 2000 dia dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Makassar. Nuraini ingin ‘berontak’ karena seorang perawat di rumah sakit itu meludah di depan matanya ketika perawat itu mengetahui status HIV-nya. Dia ingin berteriak sekeras-kerasnya dengan mengatakan kepada perawat itu bahwa virus yang ada pada dirinya tidak berbahaya. Tapi, dia tidak sanggup menguraikannya dalam bentuk kata. Dia berupaya meredam umpatan dan amarah yang membara dalam dadanya. Nuraini menyadari dengan mengamuk dan berteriak tidak akan menyelesaikan masalah malah bisa sebaliknya menambah masalah.

Sikap yang tidak bersahabat dari perawat juga dirasakan Nuraini ketika dia dirawat di rumah sakit swasta di Makassar. Perawat takut memperbaiki selang infus yang tersumbat. Tangan perawat gemetar ketika menyentuh selang karena dia mengetahui Nuraini HIV-positif. Wajah perawat itu pucat pasi. Melihat hal itu Nuraini memberikan penjelasan bahwa HIV tidak akan menular hanya dengan menyentuh selang infus. Emosi yang menggumpal dalam dadanya dia redam. Dia menjelaskan soal penularan HIV/AIDS pada perawat yang berkeringat dingin yang duduk tidak jauh dari tempat tidurnya. “Jangan menjadi perawat kalau takut sama orang yang HIV-positif karena HIV tidak menular melalui selang infus,” kata Nuraini mengenang kejadian itu. 6

Sekitar tahun 2000 setiap kali dirawat di rumah sakit Nurani selalu ditempatkan di ruangan khusus. Namun, sejak tahun 2003 dia dirawat di rumah perawatan umum. Tapi, perawat tetap melakukan diskriminasi kalau mereka mengetahui status dirinya. Walaupun akan menghadapi diskriminasi Nuraini tetap membeberkan status HIV-nya kepada perawat.

Ada perasaan bersalah dalam dirinya bila dia tidak terbuka kendati dia mengetahui dampak buruk yang akan terjadi pada dirinya kalau dia membuka status dirinya kepada perawat. Nuraini tidak mau orang lain tertular virus yang ada pada dirinya. Baginya sudah cukuplah dirinya yang tertular.7 Orang lain harus dilindungi, termasuk suaminya.

Membuka diri bagi Nuraini justru memberikan ketenangan dalam dirinya. Ada kepuasan dalam jiwanya karena telah memutuskan mata rantai penyebaran HIV/AIDS pada dirinya. Slogan “HIV Stop di Sini” yang menjadi keputusan dalam pertemuan Nasional Kelompok Dukungan Sebaya untuk Odha ingin diwujudkannya. Yang terdeteksi HIV-positif hanya sedikit, yang tidak ketahuan jauh lebih besar.

Sejak tahun 2003 Nuraini tidak lagi didampingi oleh LSM pemerhati HIV/AIDS. Selama ini dia melihat perhatian pemerhati HIV/AIDS sangat kurang. Ketika dia sakit tak satu pun yang menjenguknya.

Memang, diskriminasi terhadap dirinya mulai reda. Diskriminasi sering dialaminya di rumah sakit, tapi bukan dilakukan oleh dokter namun dilakukan oleh perawat. Pokja AIDS di RS Wahidin dirasakan Nuraini sangat membantu karena perawatan dan pelayanan yang diterima Odha memuaskan.

Yang menjadi masalah besar bagi Nuraini adalah soal tempat tinggal. Karena dr Alimin telah menjual rumahnya maka mau tak mau dia dan suami serta dua anak tirinya harus meninggalkan rumah yang selama ini telah memberikan ketenangan kepada mereka. Sejak Agustus 2005 Nuraini dan kelaurganya tinggal di kawasan Daya, Makassar. Mereka mengontrak kamar kecil. Tiap bulan dia harus membayar kontrakan Rp 150.000. Suaminya tidak lagi bekerja karena bengkel motor yang selama ini menopang hidup mereka tidak lagi bisa dijalankan karena tidak ada tempat untuk membuka bengkel di rumah kontrakannya.

Nuraini belum terbuka soal status dirinya kepada tetangga barunya. Dia mengaku masih trauma mengenang masa silam yang selalu terbayang dalam ingatannya. Dia tidak tahu harus ke mana lagi kalau kembali lagi terusir. Alasan Nuraini tidak terbuka kepada tetangga barunya bukan hanya karena belum siap diusir, tapi juga di kebingungan bagaimana cara memberikan penjelasan kepada tetangganya soal HIV/AIDS. Dia takut yang terjadi justru antipati tetangga. Itulah yang membuatnya memilih diam untuk ‘menyelamatkan’ diri, suami dan kedua anaknya. 

Tapi, Nuraini siap mengatakan pada semua orang soal status dirinya di pertemuan. Dialog lewat radio juga dilakukannya kalau ada yang mau mengundangnya. Nuraini ingin memberikan pemahaman kepada semua orang tentang HIV/AIDS melalui media massa supaya stigmatisasi dan diskriminasi tidak lagi terjadi kepada Odha, seperti yang dialami selama ini.

 Nuraini sendiri merupakan ‘korban media’. Berita-berita seputar dirinya yang tidak komprehensif membuatnya berhadapan dengan kenyataan pahit: menerima perlakuan yang tidak manusiawi mulai dari stigmatisasi, diskriminasi sampai pengusiran.

Akankah pengalaman pahit Nuraini ini (akan) terjadi lagi kepada saudara-saudara kita yang tertular HIV antara lain hanya karena berita yang tidak komprehensif? ***

Catatan:

* Dengan bahan tambahan berdasarkan fakta terbaru (Oktober 2005) yang dilaporkan oleh Santiaji Syafaat dari Makassar.

1 Cara-cara inilah yang sering dialami oleh pekerja seks atau waria. Mereka menjadi korban kesewenang-wenangan berbagai pihak, termasuk yang memakai agama sebagai pembenar dan orang yang membalut lidahnya dengan moral. Mereka disebut sebagai pekerja seks tanpa vonis hakim melalui sidang pengadilan. Perlakuan yang mereka alami merupakn perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Cara-cara tes survailnas itu pun bertentangan dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Celakanya, hal itu justru dilakukan oleh instansi pemerintah yang wajib melindungi rakyat.

2 Sumber di Makassar menyebutkan identitas Nuraini dan kawan-kawannya ‘terbongkar’ karena Dinas Kesehatan ditekan pejabat tinggi di Sulsel. Padahal, kegiatan itu hanya survailans. Lagi-lagi ini membuktikan pemahaman yang sangat rendah di kalangan pejabat tinggi tentang HIV/AIDS. Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di Jalan Nusantara (diplesetkan sebagai Jalan Vagina Raya), tempat Nuraini dkk. mangkal, karena kalau ada di antara mereka yang tertular maka mereka menjadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat secara horizontal.

3. Pernikahan Nuraini dan dua rekannya memancing silang pendapat yang tidak lebih dari debat kusir. Soalnya, alasan yang dipakai kalau salah satu pasangan suami-istri mengidap penyakit menular maka pernikahan batal demi hukum. Yang kontra yanya melihat HIV sebagai satu-satunya penyakit menular di muka bumi ini. Lho, bagaimana dengan panu, kurap, flu, TBC, hepatitis B, hepatitis C, sifilis dan GO? Kalau alasan ini di pakai maka jutaan perceraian terjadi karena pengidap TBC, kurap, panu, sifilis, GO dan hepatitis B puluhan juta jumlahnya di Indonesia.

4. Susana Murni adalah aktivis AIDS yang berkecimpung dalam pendampingan terhadap Odha, termasuk dirinya, melalui Yayasan SPIRITIA Jakarta. Susana meninggal di Jakarta 6/7-2002. 

5. Hal ini merupakan pradoks. Dokter dan perawat hanya menyoal pasien dengan status HIV-positif. Padahal, dengan mengetahui status HIV seorang pasien dokter dan perawat lebih ketat menerapkan kewaspadan umum. Sebaliknya, pasien yang tidak terdeteksi HIV-positif tapi ternyata HIV-positif tentu lebih berbahaya karena dokter dan perawat bisa saja lalai menerapkan kewaspadaan umum.

6. Ini menunjukkan pemahaman yang keliru karena ada kemungkinan dokter dan perawat pernah menghadapi pasien dengan status HIV-positif yang tidak terdeteksi. Kalau saja dokter dan perawat mau memutar otak tentulah jauh lebih berbahaya menghadapi pasien yang tidak diketahui statuf HIV-nya daripada pasien yang diketahui status HIV-nya. Dengan mengetahui status HIV pasien dapat ditempuh langkah-langkah pencegahan, seperti kewaspadaan umum.

7. Nuraini sendiri tertular dari laki-laki yang ‘mengencaninya’ ketika dia bekerja sebagai PSK. Inilah ironi di kalangan masyarakat yang munafik. PSK dihujat, tapi laki-laki yang menyebarkan HIV luput dari hujatan. Laki-laki yang menularkan HIV kepada Nuraini tidak terdeteksi. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada orang lain secara horizontal. Jika dia menularkan HIV kepada Nuraini tahun 1997 dan sampai sekarang laki-laki itu belum terdeteksi maka selama delapan tahun dia menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun