Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Derita Panjang Seorang Odha Sebelum Hembuskan Napas Terakhir

7 Desember 2010   09:23 Diperbarui: 30 Januari 2022   20:33 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: philstar.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap

Agaknya, penderitaan panjang wanita itu putus sudah setelah awal puasa 2002 dia dipanggil Yang Maha Kuasa setelah dirawat dua pekan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Selama beberapa tahun dia berjuang melawan infeksi HIV, cercaan penduduk, perlakuan kasar aparat dan hujatan media massa.

Sejak dipulangkan dari Riau karena terdeteksi HIV-positif dia terus-menerus dirundung malang. Dikucilkan penduduk sampai dikejar-kejar aparat yang membuatnya tidak bisa menpersiapkan hidup yang lebih layak dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai pekerja seks.

Wanita tadi, sebut saja Cici, 25 tahun, penduduk sebuah desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, awalnya ingin mengadu nasib ke Riau setelah bercerai. Dia dan anaknya tinggal dengan ibunya, seorang janda, bersama kakek dan neneknya di sebuah rumah di desa sekitar 25 km dari Karawang. Keluarga ini menopang hidupnya dengan bertani.

Dia termakan bujuk rayu seorang wanita di Cikampek, sekitar 50 km dari kampungnya, yang menjanjikan pekerjaan sebagai pelayan restoran di Riau dengan upah Rp 400.000/bulan. Dengan hati berbunga-bunga Cici berangkat ke Riau (1992) dari Tanjung Priok dengan KM Lawit bersama sembilan rekannya. Di Tanjung Pinang mereka ditempatkan di Batu 16, sebuah lokalisasi pelacuran di sana. Dia dipekerjakan sebagai pekerja seks. “Malam pertama menerima tamu saya nangis habis-habisan,” katanya seraya mengusap matanya yang memerah dan berair (wawancara April 1994).

Beberapa bulan kemudian seorang langganannya, pria Cina warga negara Singapura, menebus Cici dari germonya dengan imbalan Rp 1 juta. Pria itu kemudian membawa Cici ke salah satu rumah di lokalisasi itu yang dihuni dua belas pekerja seks.

Seorang petugas kesehatan yang sering datang ke lokalisasi itu, yang biasa dipanggil dengan ‘Pak Dokter’, mendatangi rumah Cici. ‘Pak Dokter’ mengumpulkan semua pekerja seks yang ada di rumah itu. “Di sini ada yang sakit,” kata ‘Pak Dokter’ (pekerja seks di sana sudah mengetahui sakit yang disebut ‘Pak Dokter’ yaitu AIDS). Pekerja seks di lokalisasi itu baru menjalani tes surveilans. Tiba-tiba semua rekan Cici menunjuknya, “Dia Pak, dia ’kan sering dibawa tamu asing ke hotel,” kata mereka serentak. Mereka menuding Cici sebagai orang yang sakit karena wanita inilah yang mereka nilai rentan terinfeksi HIV karena tamu-tamu Cici kebanyakan dari Singapura dan terkadang bule. Cici sendiri mengaku selalu meminta tamunya memakai kondom, tetapi, “Ada saja yang menolak.”

***

Cici pun disekap di pos keamanan lokalisasi itu. “Ah, dia (maksudnya ‘Pak Dokter’) ’kan dendam kepada saya,” kata Cici. Rupanya, Cici selalu menolak ajakan ‘Pak Dokter’ untuk tidur dengannya. Cici sendiri mengaku bukan tidak mau uang, tapi dia enggan tidur dengan ‘Pak Dokter’ karena dia menghargai jabatan petugas kesehatan itu, dan “Isterinya pun sudah dua.”

Setelah disekap dua minggu di pos keamanan (menunggu jadwal kapal KM Lawit), Cici dipulangkan ke Jawa Barat melalui Tanjung Priok. Cici mau dipulangkan karena rindu kepada anaknya. Cici menerima uang dari germonya Rp 500.000 dan dari pacarnya Rp 300.000. Cici merasa sudah mengumpulkan banyak uang. Tarifnya Rp 120.000/malam. Pengeluarannya untuk kamar dan makan Rp 50.000/bulan. Cici sangat kecewa membaca berita yang mengait-ngaitkan pembangunan rumahnya dengan uang yang dikirimkannya dari Riau. Soalnya, menurut Cici, uang yang dikirimkannya merupakan pemberian pacarnya bukan uang dari penghasilannya sebagai pekerja seks.

Cici sendiri mengaku kaget ketika mengetahui dirinya dikatakan ‘Pak Dokter’ terinfeksi HIV karena dia tidak pernah merasa dirinya ‘sakit’, “Wah, mungkin jantung saya sudah copot kalau saya lemah jantung,” katanya. Hasil tes itu diketahui melalui tes surveilans yang tidak menganut asas konfidensialitas dan tidak pula ada konseling pra dan pasca tes. Hasil tes pun dibeberkan di depan banyak orang oleh seorang petugas kesehatan (kemungkinan mantri kesehatan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun