Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membicarakan Remaja dengan Kaca Mata (Moralitas) Dewasa

25 November 2010   13:22 Diperbarui: 4 April 2023   06:29 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, 25 Mei 2010. Berita ”32 Persen Remaja Indonesia Pernah Berhubungan Seks” yang disiarkan MetroTV pada acara ’Metro Siang’ 17 Mei 2010 menyuburkan stigma terhadap remaja karena sama sekali tidak ada pembanding dengan perilaku seks di kalangan dewasa, khususnya suami-suami.

Belakangan ini berbagai masalah sosial selalu menyudutkan dan memojokkan remaja. Apakah dalam berbagai macam masalah terkait remaja itu tidak ada andil kalangan dewasa? Dari berbagai ceramah, diskusi, dan berita ternyata semua dibebankan kepada remaja. Ini mengesankan kalangan dewasa adalah orang-orang yang, maaf, bermoral sehingga mereka memotret remaja, yang notabene produk mereka, dengan moralitas diri mereka sendiri.

Data yang disampaikan dalam berita itu merupakan kesimpulan survai Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta, Surabaya, dan Bandung dengan hasil: 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota tersebut pernah berhubungan seks.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah data itu merupakan fakta empiris atau hanya sekedar pengakuan para remaja yang menjadi responden? Ada beberapa ‘penelitian’ (mereka sebut demikian ternyata hanya angket atau polling) yang ‘menghebohkan’ tentang seks. Ternyata ada kesan responden hanya sekedar mengisi karena takut dikatakan ‘kuper’, dll.

Disebutkan ”Dari survei KPAI diketahui, muatan pornografi yang diakses via internet sebagai salah satu pemicunya.” Data yang disampaikan adalah ”97 persen perilaku remaja diilhami pornografi di internet.” Lagi-lagi ini tidak realitas sosial karena tidak ada pembanding yaitu remaja di kota atau desa yang tidak mempunyai jaringan internet. Selain itu apakah orang dewasa tidak terpengaruh pornografi di internet? Lalu, berapa persen remaja putri yang menjadi responden yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki dewasa? Sayang data ini tidak ada.

Pertanyaan berikutnya: Apakah pornografi di internet otomatis mendorong remaja melakukan apa yang mereka lihat di layar monitor? Kalau memang jawabannya YA, ini fakta baru. Ada baiknya pemerintah menyediakan situs khusus agama sehingga remaja yang mengaksesnya langsung mengubah perilaku menjadi orang yang taat. Hal yang sama terjadi terhadap siaran televisi. Ketika televisi swasta mulai menjamur ada pula anggapan bahwa siaran televisi otomatis mempengaruhi perilaku. Nah, kalau begitu sediakan tayangan agama rutin agar masyarakat kita lebih agamis.

Sebuah kasus perkosaan di Bogor, Jawa Barat, di tahun 1990-an melibatkan seorang remaja. Di kantor polisi dia mengaku memperkosa karena terangsang ketika menonton film di bioskop (sekali lagi bioskop). Pertama, film di bioskop sudah lolos sensor BSF. Kedua, film diputar di bioskop biasa. Ketiga, film diputar di bawah pukul 12 malam. Keempat, yang menonton film banyak.

Ketika itu saya bekerja sebagai wartawan di Tabloid ”Mutiara”. Saya mewawncarai seorang psikolog di UI terkait dengan alasan remaja tadi yang dikatakannya menjadi faktor pendorong untuk memperkosa. Psikolog yang saya wawancarai mengajak untuk memakai nalar. Kalau film yang ditonton anak muda itu dengan banyak orang bisa mendorong yang menontonnya langsung melakukan hubungan seks tentulah semua yang menonton malam itu bersama si pemuda akan memperkosa juga. Tapi, faktanya hanya dia yang memperkosa. Belakangan dalam penyidikan polisi terungkap bahwa pemuda tadi sudah lama mengintip gadis yang diperkosanya. Maka, dia mencari kesempatan dan alasan untuk melampiaskan niatnya.

Di bagian lain disebukan pula ” .... 21,2 persen remaja putri di Indonesia pernah melakukan aborsi.” Ini pun diragukan karena penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) di sembilan kota di Indonesia pada tahun 2000 menunjukkan 87 persen tindakan aborsi yang terjadi di Indonesia dilakukan wanita bersuami dan hanya 13 persen yang dilakukan wanita belum menikah. Penelitian ini sangat komprehensif karena kerja sama dengan polisi sehingga data akurat.

Ada lagi pernyataan dalam berita: ” .... bahaya human immunodeficiency virus (HIV) akibat seks bebas.” Wah, ini ngawur. Ngaco. Istilah ’seks bebas’ sendiri adalah ngawur karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak ada dalam kosa kata Bahasa Inggris. Kalau ’seks bebas’ diartikan zina maka lagi-lagi pernyataan itu ngawur karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV.

Dalam wawancara yang disiarkan MetroTV terkait dengan data ini ada dua narasumber yaitu Arist Merdeka Sirait (KPAI) dan dr. Boyke Dian Nugraha, SpOG. Karena menyangkut penyaluran dorongan dan hasrat seks sebagai anugrah Ilahi sama sekali kedua narasumber ini tidak memberikan jalan keluar. Misalnya, menyebutkan cara-cara yang mereka lakukan dahulu ketika remaja sehingga tidak melakukan ’seks bebas’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun