Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perkosaan di Perda Pencegahan Maksiat Provinsi Gorontalo

22 September 2010   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkosaan adalah kejahatan kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime) karena merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) serta meninggalkan trauma berkepanjangan pada korban. Kehamilan yang tidak diinginkan. Dicibir dan dicacimaki karena masyarakat selalu menyalahkan perempuan. Dikeluarkan dari sekolah. Dipecat dari pekerjaan, dll.

Celakanya, biar pun perkosaan merupakan perbuatan kriminal yang luar biasa tapi ancaman hukumannhya justru biasa-biasa saja.

Di KUHP pada pasal 285 ancaman hukuman maksimal 12 tahun. Belakangan sejak era otonomi muncul euforia daerah untuk membuat peraturan daerah (perda). Perda-perda yang dihasilkan sarat dengan aturan yang dibalut dengan syariat Islam, norma dan moral. Judul perdanya pun: anti maksiat, anti pelacuran, pemberantasan maksuat dan pelacuran. Biar pun judul perda menggigit tapi anncaman hukumannya hanya mencubit. Sesuai dengan UU ancaman hukuman kurungan (pidana) bagi pelanggar perda maksimal enam bulan dan denda Rp 50 juta.

Kalau di satu daerah yang mempunyai perda anti maksiat atau anti pelacuran ada pasal yang mengatur perkosaan sebagai perbuatan maksiat maka ancanamanya hanya enam bulan. Bandingkan dengan negara-negara yang memberikan sanksi berat terhadap pemerkosa mulai dari penjara seumur hidup sampai hukuman mati.

Saya sudah mengirim surat ke semua organisasi keagaman yang sah di Indonesia dan ke perguruan tinggi agama Islam berisi pertanyaan: Apakah ada ayat di kitab suci yang eksplisit mengatur hukuman terhadap pemerkosa? Hanya satu surat balasan yang saya terima, yaitu dari sebuah perguruan tinggi Islam di Kalimantan. Tapi, dalam surat itu tidak ada kutipan ayat yang eksplisit mengatur hukuman bagi pemekosa. Surat itu hanya membanding-bandingkan hukuman bagi pezina. Begitu pula dengan konsultasi di sebuah harian di Palembang, Sumsel, pengasuh rubrik itu hanya memberikan perbandingan dengan zina.

Perkosaan tidak bisa dibandingkan atau disamakan dengan zina karena zina dilakukan suka sama suka, sedangkan perkosaan dilakukan dengan paksaan dan kekerasan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang membolehkan (opsi) aborsi bagi kehamilan karena perkosaan dengan usia kehamilan di bawah 40 hari (Fatwa MUI No 4 Tahun 2005 tentang Aborsi). Di beberapa negara juga ada opsi aborsi bagi korban perkosaan.

Korban perkosaan kian terpuruk karena polisi meminta saksi dan bukti perlawanan sebagai alat bukti perkosaan. Ini hal yang mustahil karena perksoaan terjadi di bawah ancaman fisik dan psikologis. Bahkan, tidak jarang perkosaan dilakukan oleh beberapa orang.

Kabarnya, dulu ketika diperika di polisi ada pertanyaan kepada korban perkosaan: Apakah Anda goyang waktu diperkosa? Syukurlah sekarang pertanyaan itu kabarnya tidak ada lagi.

Lihatlah Perda Prov. Gorontalo No 10/2003 tanggal 21 November 2003 tentang Pencegahan Maksiat. Di pasal 6 tentang Pencegahan Perkosaan dan Pelecehan Seks disebutkan: (1) Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul 04:00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. (3) Dilarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan busana yang minim dan atau ketat.

Pasal-pasal ini bias gender karena hanya menyalahkan perempuan. Ada kesan pasal ini ’menembak’ pekerja seks yang mangkal di tempat umum, seperti tepi jalan raya, taman, dll. Tapi, ’tembakan’ itu salah sasaran karena pekerja seks tidak hanya ada di tempat umum. Yang rugi justru perempuan yang bukan pekerja seks yang harus ada di luar rumah pada rentang waktu itu dengan berbagai alasan: pulang kerja, ke apotek, ke rumah teman, dll. Sedangkan pekerja seks hilir mudik naik motor atau mobil memenuhi panggilan melalui telepon genggam.

Pasal-pasal itu pun menempatkan perempuan sebagai pelangkap penderita. Kalau saja aparat di Pemprov Gorontalo dan anggota DPRD Prov. Gorontalo memakai perspektif dalam merancang pasal untuk mencegah pelecehan seksual dan perkosaan tentulah pasal-pasal itu tidak menyudutkan perempuan.

Paradigma yang dipakai dalam membuat perda ini bertolak dari asumsi bahwa perempuan pekerja seks berkeliaran di malam hari. Padahal, pekerja seks tidak langsung melakukan transaksi melalui kurir dan telepon. Mereka tidak ada di jalanan atau di lokalisasi, tapi di hotel-hotel berbintang atau rumah kos mewah dan apartemen.

Mengapa aturan itu tidak dibalik? Kalau saja paradigma yang dipakai berperspektif gender maka pasal itu berbunyi: Pemerintah provinsi menjamin keamanan setiap perempuan yang keluar rumah malam hari. Ini baru pasal yang beradab karena tidak bias gender dan melindungi perempuan yang dianggap oleh laki-laki sebagai makhluk yang lemah. Bahkan, ada sikap yang menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki.

Bias gender kian terasa di ketentuan pidana pada perda ini. Pada pasal 14 disebutkan: 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 6 Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000 (lima juta rupiah). Setiap orang yang dimaksud adalah perempuan.

Jika seorang perempuan di wilayah Provinsi Gorontalo yang keluar malam pada rentang waktu antara pukul 24.00 dan pukul 04.00 diperkosa, maka berdasarkan perda ini perempuan tadi sudah melanggar pasal 6 ayat 1. Maka, yang ditindak adalah perempuan korban perkosaan tadi karena melanggar hukum yaitu melakukan perbuatan sesuai pasal 6 ayat 1. Dalam perda ini tidak ada ancaman hukuman untuk laki-laki yang mempekosa. Sebaliknya, perempuan korban perkosaan menderita sepanjang hidupnya.***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun