Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menguji Peran Perda AIDS Kota Samarinda dalam Menanggulangi AIDS

30 Agustus 2010   13:00 Diperbarui: 19 Mei 2018   05:23 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: shutterstock.com)

Tes Wajib

Di pasal 6 ayat 1 dan 2 disebutkan: ”Kegiatan promosi dilakukan secara komprehensif, integratif, partisipatif dan berkesinambungan melalui: a. peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi; dan b. upaya perubahan sikap dan perilaku.” Yang menjadi persoalan besar dan mendasar di negeri ini terkait dengan kegiatan penyuluhan adalah materi HIV/AIDS dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga faktanya hilang. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Maka, masyarakat pun melakukan perilaku yang salah sehingga berisiko tertular dan menularkan HIV.

Sedangkan pada ayat 4 disebutkan: ”Kegiatan promosi melalui peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir a, harus memiliki prinsip: butir f. KIE HIV dan AIDS diarahkan untuk mencegah perlakuan diskriminasi kepada pengidap HIV dan AIDS.” Materi KIE yang perlu ditingkatkan terkait dengan penanggulangan epidemi HIV adalah mendorong masyarakat agar menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu agar penduduk, laki-laki dan perempuan, tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks dan pelaku kawin-cerai.

Pasal 8 menyebutkan: “Kelompok resiko tinggi wajib melakukan test HIV dan AIDS secara periodik.” Dalam standar prosedur operasi tes HIV yang baku tidak dikenal tes wajib (mandatory test) karena hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Semua tes untuk mendeteksi penyakit harus ada persetujuan dari ybs. Terkait dengan tes HIV juga harus ada konseling sebelum dan sesudah tes. Persetujuan (informed consent) diberikan setelah ybs. memahami HIV/AIDS serta risiko yang akan dihadapi jika melalukan tes HIV setelah menerima konseling sebelum tes.

Lagi pula, bagaimana caranya ’memaksa’ mereka untuk tes HIV? Mereka itu tidak di satu tempat, seperti lokalisasi pelacuran atau rumah bordir, tapi berada di banyak tempat. Di hotel melati dan hotel berbintang, rumah, kontrakan, kos-kosan, dll. yang tidak bisa dijangkau secara hukum. Berbeda dengan di Thailand. Pekerja seks menjadi bagian dari prostitusi secara ’resmi’ (catatan: tidak ada satu negara pun yang melegalkan prostitusi secara de jure) karena usaha itu mempunyai izin usaha. Germo dan pengelola bisa ’dipegang’ pemerintah karena mereka mengantongi izin usaha dengan berbagai persyaratan.

Di pasal 9 disebutkan: ”Pemerintah Daerah dan Instansi terkait dalam melakukan pencegahan wajib melaksanakan: a. pembinaan mental dan religi di masyarakat sesuai dengan norma sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa; b. penyuluhan pengetahuan dasar HIV dan AIDS kepada masyarakat umum terutama kepada kelompok resiko tinggi, dan c. kampanye hidup sehat.”

Ini menunjukkan moral dikedepankan untuk menerapkan fakta medis. Tentu saja ini tidak akan jalan karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral dan agama dengan penularan HIV karena penularan HIV bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Pasal ini pun mendorong masyarakat untuk memberikan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dianggap tidak bermoral dan tidak hidup sehat.

Terkait dengan penanggulangan sasaran penyuluhan bukan ’kelompok berisiko tinggi’ tapi masyarakat luas karena di dalamnya ada laki-laki ’hidung belang’. Materi KIE untuk penyuluhan pun harus faktual sehingga masyarakat mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Pasal 10 ayat 1 berbunyi: ”Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan dengan prinsip: a. Tidak melakukan hubungan seks; b. Bersikap saling setia dengan pasangan; c. Cegah penularan dengan memakai Kondom; d. Jangan menggunakan narkoba suntik.”

Butir a jelas tidak akurat karena tidak semua hubungan seks berisiko menularkan HIV. Yang dihindari adalah hubungan seks yang berisiko. Butir b pun tidak realistis karena pelaku kawin-cerai selalu setia dengan pasangannya ketika terikat pernikahan. Setelah cerai mereka setia lagi dengan pasangan lain. Ini merupakan perilaku berganti-ganti pasangan. Sedangkan butir c tidak jelas kapan hubungan seks harus memakai kondom. Kondom dianjurkan dipakai jika hubungan seks berisiko. Seorang suami, misalnya, boleh saja tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti, tapi ketika sanggama dengan istrinya wajib memakai kondom. Atau sebaliknya suami wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks yang beriiko agar tidak perlu memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya terkait dengan risiko penularan penyakit.

Ancaman Pidana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun