Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?

2 Desember 2014   22:42 Diperbarui: 4 April 2017   17:46 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14175095692004562543

Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan suvailans tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.

Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RCTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986. Hasilnya? Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas selular dan 4 terdapat antigen HIV.

Tahun 1987 dilaporkan ada tiga penduduk Indonesia yang ‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang Depkes RI, waktu itu Prof. Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik Terhadap AIDS.”

Disebutkan pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di Indonesia.Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua IDI Cab. Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada “Biar saja bangsa Barat kalang kabut, tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakt menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Harian “Suara Pembaruan”, 21/9-1987).

Pada tahun 1989 dilaporkan ada lima orang yang ’diduga’ mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi ke Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan ada WNI yang meninggal di RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’ laki-laki ini cemas. Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi kasus ini.

Kalau saja sejak ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret tentulah akan lain hasilnya. Tapi, karena yang tejadi hanya sanggahan dan penyangkalah, maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV dan AIDS terdeteksi terus-menerus di semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia, setelah Cina dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV, khususnya di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.

Peringatan terhadap Indonesia sudah juga dikumandangkan oleh Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam pidato pembukaan, Dr Piot secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik berganti-ganti di Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W. Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, Jakarta, 6 Oktober 2001)

Debat Kusir

Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan terntang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan. KepadaKOMPAS Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Baiaya yang mahal akan dikelaurkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibody HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV. Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI mendeteksi antibody HIV dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp 10.000. (Harian “Kompas”, 10/8-1985).

Terkait dengan informasi HIV/AIDS melalui media massa yang tidak komprehensif sudak disuarakan oleh Prof. Dr AA Loeddin, ketika itu Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. Media massa dinilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah. (Tajuk Rencana, Harian “Suara Pembaruan”, 22/6-1987).

Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad, mengatakan:.Ribut-ribut tentang AIDS.Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan. Kalau memang berita pers tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan berita itu. (Harian “Kompas”, 9/4-1986).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun