Faktur pajak fiktif telah menjadi salah satu permasalahan utama dalam sistem perpajakan di Indonesia. Modus ini tidak hanya merugikan negara dalam hal penerimaan pajak tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi wajib pajak yang taat aturan. Faktur pajak fiktif digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengurangi pajak yang harus dibayar atau bahkan mendapatkan restitusi pajak secara tidak sah. Artikel ini akan membahas pengertian faktur pajak fiktif, dampaknya, serta dasar hukum yang mengaturnya dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pengertian Faktur Pajak Fiktif
Faktur pajak fiktif adalah faktur pajak yang diterbitkan tanpa adanya transaksi yang sebenarnya atau dibuat dengan tujuan menyalahgunakan ketentuan perpajakan. Dalam praktiknya, faktur ini sering digunakan oleh wajib pajak untuk mengurangi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus disetorkan ke negara atau bahkan untuk mengajukan restitusi pajak secara tidak sah.
Dampak Faktur Pajak Fiktif
Dampak yang ditimbulkan oleh faktur pajak fiktif sangat besar, baik terhadap negara maupun pelaku usaha yang taat pajak. Negara kehilangan potensi penerimaan pajak, sementara perusahaan yang menggunakan faktur pajak fiktif mendapatkan keuntungan tidak adil. Selain itu, Wajib Pajak yang terlibat dalam penerbitan atau penggunaan faktur pajak fiktif dapat dikenakan sanksi hukum berat.
Faktur pajak fiktif merupakan bentuk tax evasion atau penghindaran pajak ilegal, yang dilakukan dengan mencatat transaksi fiktif atau memalsukan data untuk mengurangi kewajiban pajak. Perusahaan atau individu yang terlibat dalam tax evasion dapat menghadapi sanksi berat karena tindakan ini merugikan perekonomian negara.Â
Belakangan ini, beberapa kasus faktur pajak fiktif mencuat ke publik, melibatkan oknum pengusaha dan bahkan pihak yang memiliki akses ke sistem perpajakan. Skandal ini menunjukkan bahwa celah dalam regulasi masih dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, transparansi dan kerja sama antara pemerintah serta masyarakat menjadi kunci utama dalam memberantas praktik ini. Dengan meningkatnya pengawasan dan digitalisasi sistem perpajakan seperti e-Faktur, praktik ini diharapkan dapat diminimalisir.
Dasar Hukum dan Sanksi
Pemerintah telah menetapkan sanksi tegas dalam UU KUP, terakhir diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2021. Pasal 39A menyebutkan bahwa penerbit atau pengguna faktur pajak tanpa transaksi nyata dapat dipidana 2 hingga 6 tahun penjara serta denda hingga 4 kali jumlah pajak. Pasal 13A mengatur kewajiban pembayaran pajak yang tidak bisa dihapus meskipun terkena sanksi pidana, sedangkan Pasal 38 dan 39 mengatur sanksi administrasi dan pidana bagi pelanggar yang menyebabkan kerugian negara.
Upaya Pemerintah dalam Pencegahan
Pemerintah terus meningkatkan pengawasan dengan e-Faktur, audit intensif oleh DJP, serta kerja sama dengan aparat penegak hukum. Edukasi wajib pajak juga diperkuat agar memahami pentingnya kepatuhan pajak. Faktur pajak fiktif sangat merugikan negara dan menciptakan ketidakadilan dalam sistem perpajakan. Dengan regulasi yang ketat dan penerapan sistem e-Faktur, diharapkan praktik ini dapat ditekan demi sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan.