Mohon tunggu...
Indrya Mulyaningsih
Indrya Mulyaningsih Mohon Tunggu... -

Info selengkapnya silakan klik http://sc.syekhnurjati.ac.id/dosen/?ess=v&ID=MTk3NjA5MDIyMDExMDEyMDA5

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dzikir-dzikir Cinta

4 Juni 2010   11:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:45 2334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA PADA “DZIKIR-DZIKIR CINTA”

Karya Anam Khoirul Anam

Indrya Mulyaningsih*

Sinopsis

Cerita berawal ketika Rusli yang dari Jawa Timur menimba ilmu di pondok pesantren. Pondok pesantren ini ada di Jawa Tengah, dipimpin oleh Kiyai Mahfud. Karena perangai dan pribadinya yang baik, Rusli mendapat kepercayaan dari Kiyai Mahfud. Rusli diminta untuk membantu berbagai urusan yang berkaitan dengan pondok, dan ini mengalahkan senior-seniornya.

Rusli mendapat kepercayaan dalam segala hal, salah satunya menjaga Fatimah, putrid sang Kiyai. Rusli menganggap Fatimah seperti adik sendiri. Seperti pemuda pada umumnya, meskipun berada di pondok, Rusli telah jatuh cinta dan menjalinnya dengan Sukma, teman Fatimah.

Namun cinta keduanya harus kandas karena Kiyai meminta Rusli untuk menikahi Fatimah. Hal ini setelah Fatimah harus menjawab lamaran Kiyai Lathif. Kiyai Lathif adalah pimpinan pondok pesantren tempat Fatimah menuntut ilmu. Istri Kiyai Lathif sudah meninggal.

Akhirnya Fatimah menikah dengan Rusli. Namun, hati Rusli tak sepenuhnya milik Fatimah karena Rusli masih tidak bisa melupakan Sukma. Penderitaan yang teramat sangat dirasakan oleh Rusli dan Sukma.

Setahun pernikahan mereka, Rusli memiliki seorang anak laki-laki, tetapi Fatimah meninggal ketika melahirkannya. Setelah Kiyai Mahfud tahu bahwa Rusli masih mencintai Sukma, beliau member izin dan merestui Rusli untuk menikahi Sukma. Hal ini dilakukan sebagai permintaan maaf karena sebelumnya telah memisahkan mereka dan mencarikan pengasuh untuk cucunya yang masih bayi.

Akhirnya Rusli dan Sukma menikah. Pernikahan mereka tidak lama karena kemudian Rusli meninggal dalam sebuah kecelakaan dan enam bulan kemudian Sukma menyusul dengan bayi yang dikandungnya.

Tokoh:

1.Rusli: sabar, taat beribadah

2.Fatimah: solekhah, penuh pengertian

3.Sukma: sabar, bijaksana,

4.Haji Mahfud: bijaksana

5.Haji Lathif: penyuka perempuan

Permasalahan

Seringkali muncul berbagai pertanyaan berkaitan dengan kehidupan di pondok pesantren. Hal ini terutama sekali bagi masyarakat yang belum mengerti sama sekali. Hal ini terkait dengan bagaimana keseharian para santri di pondok, baik beribadah maupun berinteraksi dengan orang lain.

Melalui novel ini diharapkan dapat diketahui bagaimana kehidupan sehari-hari para santri. Tetapi yang paling menarik bagaimana kehidupan cinta mereka pada lawan jenis.

Pembahasan

1.Kajian Sosiologi Sastra

Swingewood dalam Umar Yunus (1986: 2) melihat penyelidikan sosiologi sastra (sociology of literature) sebagai pembicaraan terhadap karya sastra yang dihubungkan dengan faktor dari luar dan lingkungan sosial sastra itu sendiri.

Umar Yunus dalam bukunya (1986: 3) melihat bahwa sebenarnya sebuah karya sastra merupakan dokumentasi sosiobudaya. Hal ini karena sosiobudaya turut mempengaruhi penciptaan karya sastra itu sendiri. Dalam pendekatan ini imej atau citra tentang ‘sesuatu’ –perempuan, lelaki, orang asing, tradisi, dunia modern dan lainnya- dalam karya sastra dapat dilihat dari perspektif perkembangan.

Taine dalam UmarYunus (1986: 19) beranggapan bahwa sastra merupakan perwujudan kesan yang diperoleh dari sebuah masyarakat. Hal ini senada dengan pandangan Marxisme, bahwa sastra adalah refleksi masyarakat.

Suroso (2008: 103) berpendapat bahwa seperti karya seni yang lain, karya sastra adalah refleksi transformasi pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik secara nyata maupun rekaan. Peristiwa batin yang dialami seseorang, yang sering menjadi bahan sastra merupakan pantulan hubungan seseorang dengan Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lainnya, dan diri sendiri.

Hubungan hakiki antara manusia dan berbagai hal inilah yang lalu melahirkan bermacam-macam masalah, seperti maut, tragedy, cinta, loyalitas, harapan, makna dan tujuan hidup, hal-hal yang transcendental, kekuasaan, politik, dan ekonomi.

Lukas dalam Nani Tuloli (2000: 62) beranggapan bahwa novel adalah cerminan realitas, tidak hanya melukiskan wajah yang tampak, tetapi member pembaca sebuah cerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.

Prinsipnya sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial. Sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial,agama, politik, keluarga, dan pendidikan atau sosial budaya. Hal ini karena pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya yang menjadi sumber penciptaannya. Hal ini juga akan mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya.

Menurut Nani Tuloli (2000: 68) yang perlu dikaji dalam pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra adalah pertama, masalah pranata sosial dan budaya yang mempengaruhi penciptaan karya sastra. Misalnya pada waktu Balai Pustaka dan Pujangga Baru, pengaruh adat istiadat, kawin paksa, dan perjuangan menjadi tema yang mempengaruhi kepenyairannya.

Kedua, bagaimana sistem sosial di suatu wilayah tertentu dapat mempengaruhi kepengarangan karya sastra. Pada masyarakat desa, kota, perburuhan, pertanian, dan kalangan profesi tertentu bisa mempengaruhi jenis dan isi karya sastra.

2.Analisis Novel

Banyak orang yang bertanya-tanya tentang kehidupan di pondok pesantren. Melalui novel ini akan terjawab bagaimana kehidupan di pondok. Lengkap dengan pernik-pernik yang berhubungan dengan hati atau rasa. Karena memang tak bisa dipungkiri, bahwa manusia akan selalu merasakan itu.

Novel ini menceritakan bagaimana kehidupan di pondok pesantren dalam hal sopan santun atau kepatuhan. Hal ini tampak pada penggalan novel berikut.

“Waktu itu ia tengah nderes kitab di teras masjid. Tiba-tiba ia dipanggil Kiyai untuk mengambil perhiasan Bu Nyai yang terjatuh di kakus. Maka tanparasa ragu ia menceburkan diri ke dalam kakus dan dengan susah payah mencari perhiasan yang dimaksud oleh Pak Kiyai.” (DDC: 33)

“Menerima kenyataan itu, Rusli hanya pasrah. Ia tak berani melawan perintah apalagi yang menyuruh adalah KIyai yang selama ini ia hormati.”

(DDC: 110)

“Di dunia pondok pesantren, rasa iri, rengki, hasud, dan saudara-saudaranya seakan dinafikan. Konsep keadilan yang berlaku di pondok adalah konsep keadilan yang menempatkan sesuatu pada tempatnya –memperlakukan seseorang dengan porsinya.”

(DDC: 120)

Di dalam tradisi pondok pesantren, rasa hormat memang sudah menjadi perilaku yang lahir secara alamiah. Hal ini terjadi karena tatanan awal di dunia pesantren yang lebih mengedepankan etika moral terhadap orang yang lebih tua atau yang mereka hormati terlebih lagi kepada sang Kiyai yang menjadi guru sekaligus panutan. Semua harus takdzim, taat, patuh dan tunduk pada setiap titah sang Kiyai sebagai rasa hormat santri. Namun ini bukan berarti mendewakan, ini hanya sebagai bentuk pengabdian seorang santri pada guru yang telah memberikan ilmunya tanpa pamrih.

Rasa hormat dan takdzim santri lebih ditunjukkan karena ingin ngalap barokah atau mendapat ridho dari sang Kiyai. Para santri takut kalau ilmu yang mereka perolah tidak bermanfaat nantinya atau takut kualat atas perilaku tak sopan mereka jika melawan perintah.

Kesederhanaan di pondok pesantren tersirat pada bagian cerita berikut.

“Ia duduk lesehan di atas karpet berwarna biru tua. Terkesan lebih akrab dalam kesederhanaan bila tidak ada mediasi alas untuk menyangga tubuh. Tanpa meja-kursi”. (DDC: 37)

Selain kesederhanaan dalam penampilan, di pondok pesantren juga diajarkan kesederhanaan dalam hal makan. Artinya, untuk ketika di pondok pesantren, menu makanan tidak terlalu dipikirkan. Faktor yang dipentingkan adalah asal bisa makan, apa pun menunya. Hal ini terkait dengan banyaknya jumlah santri yang ada serta ketersediaan makanannya.

Pengelola pondok tidak terepoti dengan menu makanan. Artinya, apa pun menu yang disediakan diharapkan dapat mengakomodasi keinginan seluruh penghuni pondok. Tidak ada santri yang mendapat perlakuan istimewa dalam hal makanan. Hal ini dapat dilihat pada bagian cerita berikut.

“Akhirnya bungkusan berisi makanan dan beberapa biji lauk yang diantaranya ada dua potong tempe ummel itu habis juga dimakan.”

(DDC: 44)

“Wajah-wajah santri tampak sumringah karena telah menambah gizi sekaligus makan kenyang dengan komposisi makanan yang serba lezat yang belum tentu bisa dinikmati sehari-hari di pondok. Para santri hanya akan makan serba enak kalau ada kondangan, itu pun sangat jarang sekali. Di pondok pesantren biasanya hanya mkan garam, terkadang juga dengan sayur-mayur seperti daun singkong, kangkung, sawi, dan lainnya.”

(DDC; 76)

Bagian cerita ini menunjukkan betapa siapa pun yang datang ke pondok tersebut, memiliki keduduksan yang sama. Sama-sama duduk di bawah, sejajar, tidak lebih dan tidak kurang. Meski pejabat yang memiliki kedudukan dan harta, tetapi dalam kehidupan pondok, itu tidak menjadi pertimbangan. Justru diharapkan dari kesederhanaan itukita bisa nerasakan kesempurnaan.

Namun demikian kadang muncul penilaian bahwa tinggal di pondok pesantren terkesan kumuh. Artinya, kesederhanaan yang dibiasakan di lingkungan pondok pesantren menjadikan mereka dianggap kumuh, kumel, atau tidak bersihan. Hal ini dapat dilihat pada bagian cerita berikut ini.

“Di setiap penjuru ruangan, baju-baju tampak bergelantungan pada paku-paku yang sengaja dibuat sebagai gantungannya. Akmari di sana sepertinya hanya berfungsi sebagai pajangan saja. Para santri lebih suka menggantungkan baju daripada melipatnya dengan rapi. Wajarsaja kalau tampak kumuh. ‘Lebih praktis!’ alasan mereka. Tinggal gantung dan ambil saja bila perlu untuk dikenakan. Bagitu kebanyakan pkiran mereka, meski terkesan jorok”. (DDC: 40)

Namun demikian, sebenarnya santri di pondok pesantren juga diberikan kebiasaan disilpin untuk melakukan beberapa kegiatan secara mandiri, seperti mencuci baju. Disiplin mandiri itu juga dilengkapi dengan disiplin kekeluargaan, seperti kerja bakti. Berbagai disiplin ini sengaja ditumbuhkan dalam diri santri di pesantren agar mereka mampu melakukan hal terbaik dengan masa depan mereka kelak. Sikap kekeluargaan santri di pesantren bahkan mampu dipertahankan sampai mereka keluar dari pondok. Hal ini tampak dari rasa kebersamaan yang masih terasa lekat pada diri mereka.

Selain beberapa kebiasaan di atas, terdapat hal lain yang cukup menarik tentang kehidupan di pondok pesantren. Hal ini dapat dilihat pada cerita bagian berikut.

“Kenyataan tersebut adalah kebiasaan santri yang lelap tertidur ketika Kiyai menyampaikan pelajaran –seperti yang terjadi pula malam itu. Menarik? Mungkin.” (DDC: 68)

Terdapat kebiasaan unik yang ada di pondok pesantren. Santri yang biasanya tidur ketika sedang belajar, seperti penggalan cerita di atas, setelah lulus akan menjadi orang besar atau sukses. Santri-santri percaya bahwa ilmu yang diperoleh tidak akan membawa berkah bila kualat pada Kiyai. Jadi, meski para santri ini tidur, tetapi tetap takdzim pada Kiyai, maka hal itu dimaklumi.

Kebiasaan lain yang terdapat di pondok pesantren adalah berebut sandal, seperti yang tergambar pada bagian cerita berikut.

“Mereka rebut-ribut bukan karena mau tawur, melainkan karena rebutan sandal.” (DDC: 71)

Salah satu bentuk hiburan yang sering dilakukan para santri adalah becanda atau guyonan. Meski para santri mengetahui bahwa mengambil atau menggunakan barang atau sesuatu yang bukan miliknya, maka harus meminta izin pada pemiliknya terlebih dahulu. Namun, entah mengapa kadang para santri melanggar hal seperti ini, dan biasanya ini dilakukan hanya sebatas menggoda, tidak sebenarnya.

Selain itu, di pondok juga terdapat keanehan yang hampir terjadi juga di pondok-pondok lainnya, seperti sifat usil, jahil, dan aneka sifat-sifat aneh lain. Hal ini bisa ditemukan pada cerita bagian berikut.

“Suatu kali ia memergoki Subhan yang sedang mengintip santriwati di pondok sebelah.” (DDC: 79)

“Ternyata usut demi usut si Subhan memiliki ‘amalan khusus’ yang diketahui sebagai ilmu ngerogoh sukmo; di mana jiwa terlepas dari jasadnya.”(DDC: 81)

“Ada juga beberapa santri yang merapal mahabbah tiap malam.”(DDC: 93)

“Ada juga yang hanya melakukan puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan puasa-puasa lainnya.”(DDC: 94)

Satu lagi yang begitu menarik tentang kehidupan di pondok pesantren adalah hubungan antara laki-laki perempuan. Umumnya di anak-anak muda mengenal adanya pacaran, yaitu hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim.

Kemenarikan cerita dalam novel ini karena meski dalam pondok pesantren yang notabene antara laki-laki dan perempuan terpisah atau tidak tercampur, tetapi tetap dapat menjalin hubungan. Ada yang menyebut hubungan ini dengan pacaran. Padahal dalam pondok pesantren diajarkan bagaimana hukum berpacaran.

“Mereka tidak melakukan pertemuan cinta mereka yang terlarang secara terang-terangan, tapi dengan sembunyi-sembunyi. Terkadang mereka melakukan pertemuan itu di dalam gudang yang letaknya sangatberjauhan dengan lokasi pondok.”(DDC: 48)

Pada bagian cerita di atas menunjukan bahwa terdapat pula santri yang nekat melakukan pelanggaran. Meski mereka telah mengetahui hukum dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, tetapi tetap saja mereka lakukan. Meski sebenarnya memiliki perasaan istimewa kepada lawan jenis tidak pernah dilarang, tetapi perbuatan karena perasaan itulah yang dilarang.

Para santri pada dasarnya juga manusia biasa yang memiliki perasaan. Secara psikologis, manusia juga butuh perasaan untuk mencintai dan dicintai. Bagi beberapa santri yang dapat menahan atau mengendalikan perasaannya, maka hal seperti ini tidaklah menjadi masalah. Namun berbeda halnya bagi santri yang tidak dapat menahan rasa itu, hingga akhirnya melakukan hal-hal yang melanggar ajaran agama.

“Anu…saya…saya di…saya di-sodomi Kang Mamat…” kalimat itu terbata-bata diselingi isak tangis.”(DDC: 129)

Hal ini juga tampak pada kejadian berikut.

“Pada suatu malam, ketika ia tengah tertidur lelap, ia merasa ada yang menggerayangi kakinya. Memang saat itu ia merasa lelah sekali karena seharian tadi membuang energinya mencangkul di kebun, membuat lahan untuk ditanami pohon ketela. Merasa ada yang ganjil dari ujung kakinya, sontak ia terbangun. Ia memang sangat sensitive, meski dalam keadaan tertidur. Ia tahu bahwa ia akan menjadi korban, hanya saja ia tak menampakkan mimic marah.”(DDC: 130)

Bentuk perilaku menyimang yangberkaitan dengan penyaluran hasrat biologis juga tergambarkan pada bagian cerita berikut.

“Ada beberapa hal ganjil lain yang dirasakan oleh Rusli setelah kejadian itu. Entah mengapa setiap malam si Subhan selalu saja mengalami ihtilam atau mimpi basah. Kalaupun mimpi, kenapa mesti setiap hari?”(DDC: 81)

Tidak itu saja, ternyata di pondok pesantren beberapa santri juga kadang melakukan hal aneh yangberkaitan dengan penyaluran hasrat biologisnya.

“Di antara kesdaranku pada lembaran-lembaran buku yang kubaca malam itu, lelaki yang Kata orang: dia saraf (gila!) itu, mendadak menyingkapkan sarungnya yang tanpa sekat celana dalam. Tanpa ragu. Tanpapikir jauh. Mendadak tangannya menjulur menuju sesuatu yang terlalu vital di selangkangannya. Apa yang ia lakukan? Tiba-tiba ia mendesah, meremas dan memegangi segenggam daging, yang legam kecoklatan, lalumenarik-ulur, maju-mundur.”(DDC: 131)

Penyaluran rasa seperti bagian cerita di atas tak jarang sering dilakukan oleh santri. Hal ini biasanya dilakukan oleh yang senior kepada juniornya. Hal seperti ini juga kadang dialami oleh santri perempuan.

“Di garis tepi perasaan cemas, takut dan was-wasnya. Tanpa sadar bola matanya tertumpu pada beberapa potong pakaian dalam yang masih menggelantung di belakang pintu toilet. Pikirannya kemudian berputar pada sosok yang baru saja keluar dari kamar mandi itu. Padahal selama ini yang ia tahu. Tak biasanya santriwati di pondok tersebut meninggalkan bungkus sensitifnya di kamar mandi.”(DDC: 134)

Hal ini juga dapatdilihat pada bagian cerita berikut.

“Kendati kurang jelas, penglihatannya tak bisa berbohong. Dua sosok yang polos… .” (DDC: 136)

Namun tidak kemudian semua santr melakukan hal buruk seperti di atas. Tokoh utama dalam novel ini, Rusli mampu mewakili orang-orang yang memiliki perasaan pada lawan jenis dan tetap sesuai dengan syar’i. Artinya, seperti santri-santri yang lain, Rusli juga memiliki perasaan untuk mencinta dan dicinta. Namun Rusli tetap menjaga perasaan itu tanpa harus melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.

“Jika saja Tuhan berkehendak, saat itu, untuk sejenak waktu ia duduk di samping tubuh Sukma yang menggigil karena uraian air mata. Dengan segala keberaniannya Rusli akan menghapus tiap butir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Bahkan jika diijinkan, Rusli akan memeluk erat tubuhnya. Tapi apalah daya. Ia hanya mampu menatap Sukma dari alam yang berbeda –alam ngerogoh sukmo.”(DDC: 189)

Rusli digambarkan sebagai santri yang baik. Meski dia juga melakukan liwath, tetapi dia tidak melakukan apa-apa selin duduk. Rusli hanya duduk mendengarkan Sukma mengaji. Justru dengan mendengarkan ayat-ayat suci yang dilantunkan Sukma, Rusli merasa semakin banyak melakukan kesalahan dan semakin ingin mendekat pada Tuhan. Walaupun pada dasarnya yang dilakukan Rusli juga tidak benar, tetapi hal ini lebih baik daripada yang dilakukan santri lain.

“Sekarang kamu sudah di hadapanku Sukma. malam ini kau adalah milikku dan untuk selamanya, kau adalah milikku. Aku takkan melepaskanmu karena malam ini adalah milik kita berduadan akan menjadi saksi cinta kita.Katakan! Katakan semua yang tersimpan dalam hatimu padaku, biar hati ini tenang mendengar suaramu itu. Katakan! Biar kutahu semua yang menjadi kegelisahan antara kita, bisiknya dalam hati.”(DDC: 212)

Meskipun sebenarnya Rusli tidak boleh melakukan hal tersebut, tetapi ini lebih baik daripada beberapa bagian cerita sebelumnya. Pada peristiwa ini tidak ada yang dilakukan Rusli selain hanya berbicara dari hati ke hati.

Namun Rusli tetaplah hanya seorang manusia yang terkadang tak kuasa menahan rasa. Setelah berbicara dari hati ke hati dan ternyata mereka memiliki perasaan yang sama, mereka berpelukan. Hanya itu.

“Dengan gerak reflek akhirnya kedua tubuh itu berpelukan erat. Berpeluk hingga rasa rindu itu terlepas seperti kepak merpati yang dilepaskan dari genggaman. Jauh memintal benang-benang biru di langit-langit hingga terbentuklah garis-garis bintang meski sedikit redup biasnya, goresan-goresan yang berbingkai asmara menggulung sepi.”(DDC: 214)

Satu hal yang cukup menarik dari kehidupan pesantren, terutama berkaitan dengan perasaan lawan jenis, yakni kepatuhan. Dalam novel ini diceritakan bagaimana besarnya rasa cinta Rusli pada Sukma.

Selain itu, meskipun begitu besar rasa cinta yang dimiliki Rusli untuk Sukma, Rusli tidak kemudian memaksakan diri. Rusli tidak mampu menolak ketika diminta oleh Kiyainya untuk menikahi Fatimah, putrinya. Sebagai bentuk ketaatan pada perintah Kiyai, Rusli tidak mampu menyampaikan apa pun atas permintaan Kiyai itu. Rusli tidak mampu menolak atau pun menerima. Rusli hanya diam.

“Dua minggu yang lalu, aku dipanggil oleh Kiyai Mahfud. Pada awalnya aku tak menaruh praduga apa pun pada beliau, karena sedari awal sedikit banyak aku telah mengenal beliau dan akan selalu mencoba menepis su’udzon pada beliau, karena kuyakin bahwa apa yang beliau lakukan bukan untuk menyesatkan, jadi itulah husnudzonku pada beliau. Tapi, tak kusangka jika hari itu merupakan kematian bagi merpati yang selalu membawa kabar baik. Seperti ada petir yang menyambar kepalaku, ketika itu. Tanpa mimpi buruk di malam harinya. Tanpa tanda jika akan datang bencana. Namun di pagi buta iu, sebuah ledakan keras meluluhkan jantungku. Sesak nafas ini mendengarnya. Ingin rasanya aku pingsan, namun kucoba untuk tetap bertahan.”(DDC: 336)

Demikian penggalan surat Rusli yang ditujukan pada Sukma, setelah Kiyai Mahfud memintanya untuk menikahi Fatimah, putrinya. Betapa untuk sebuah ketaatan, seorang santri merelakan cintanya demi memenuhi permintaan Kiyainya.

PENUTUP

Demikian kisah novel religious ini. Dalam novel ini tampak jelas sekali bagaimana kehidupan yang terdapat dalam pondok pesantren. Kehidupan yang tidak selamanya berwarna putih dan hitam, tetapi juga terdapat warna abu-abu.

Satu hal yang cukup menarik dari novel ini bahwa begitu sederhananya kehidupan di pondok pesantren. Kesederhanaan ini memang sengaja dibangun dan dibiasakan serta dipolakan pada para santri. Kesederhanaan sebagai wujud penyerahan diri pada Tuhan, sebagai wujud pendekatan diri pada Tuhan.

Selain itu, hal yang cukup menarik yaitu ketaatan santri pada Kiyai. Santri tidak pernah mengatakan tidak pada semua perintah Kiyai, meskipun bertentangan dengan hati. Santri tidak akan berpikir dua kali bila Kiyai meminta sesuatu. Meskipun dalam hal ini, Kiyai tetap meminta pertimbangan pada santrinya atau yang bersangkutan, tetapi jawaban akan selalu ‘ya’.

Namun demikian tak jarang justru pengketatan terhadap sebuah aturan, menyebabkan subjek peraturan tersebut memiliki peluang besar untuk melanggarnya. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pemenuhan hasrat untuk mencintai dan dicintai. Bagi sebagian santri, kenekatan yang dilakukan sudah disertai dengan kesiapan menanggung konsekuensinya. Tetapi bagi sebagian yang lain, santri tidak siap menanggung konsekuensi di dunia sehingga tetap saja melakukan pelanggaran meskipun tahu yang benar.

Di mana pun tempatnya, kesalahan manusia selalu ada, baik di tepat yang notabene memiliki wawasan yang luas akan aturan-aturan Tuhan, maupun di tempat yang sedikit pemahaman akan aturan Tuhan. Hal ini bergantung pada kemampuan manusia itu sendiri dalam menahan diri, menahan hawa nafsunya, atau mengelolanya.

Perasaan menyukai atau disukai merupakan karunia Tuhan, tetapi manusia harus bisa menahan atau mengelolanya menjadi sesuatu yang positif dan bukan memperturutkan pada sesuatu yang negative.

Bagi para pembaca yang ingin mengetahui kehidupan di pondok pesantren, novel ini baik untuk dibaca. Novel ini memuat kelebihan dan kekurangan berbagai hal berupa kehidupan yang terdapat di pondok pesantren.

REFERENSI

Nani Tuloli. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo; BMT “Nurul Jannah”.

Suroso, Puji Santosa, dan Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing

Umar Yunus. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan B

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun