Mohon tunggu...
Indri Ngesti
Indri Ngesti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aktivis Muslimah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pembelajar Perindu Surga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pilkada di Musim Pandemi: Exit Point Mengekalkan Kekuasaan?

2 Juli 2020   16:45 Diperbarui: 2 Juli 2020   16:55 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada serentak 2020 sudah ketuk palu akan dilaksakanan pada 9 Desember mendatang. Diperkirakan, situasi belum banyak berubah, pandemi Covid-19 masih membayangi. Kondisi di tengah pandemi tidak hanya mengubah tata cara pemilihan dan tahapan Pilkada, melainkan juga membentuk potensi kerawanan baru.

Komisioner Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar, mengatakan, setidaknya ada empat kerawanan pada Pilkada serentak yang juga akan digelar di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) itu. Fritz menyebut kerawanan pertama adalah terkait penularan Covid-19. 

"Kerawanan yang kedua adalah kemungkinan tingginya politik uang, kenapa muncul, Karena status ekonomi sekarang ekonomi melambat banyak yang di-PHK sehingga peluang untuk politik uang itu semakin besar, karena ekonomi kita sedang mengakibatkan banyaknya di antara kita yang kehilangan pekerjaan," ujarnya.

Bantuan sosial (bansos) juga bisa menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk membonceng kampanye terselubung.Terakhir, kerawanan Pilkada di tengah pandemi adalah menurunnya partisipasi pemilih, terutama karena alasan takut tertular virus.(Jakarta.tribunnews.com,30/06)

Memaksakan terlaksananya Pilkada di sistem demokrasi dengan berbagai kerawanan yang ada memicu tanda tanya besar. Apakah motif dibalik kebijakan ini ? Benarkah hanya untuk mengantisipasi kosongnya kursi pemimpin ?

Demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal karena terlalu mengikuti sistem politik di Amerika Serikat (AS). Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin banyak, bukan justru berkurang.

Demikian disampaikan mantan tokoh mahasiswa Rizal Ramli dalam Diskusi Publik Topic of the Week bertajuk "Refleksi Malari: Ganti Nakhoda Negeri?" di Posko Sekretariat Nasional (Seknas) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi), Jakarta, Selasa (15/1).

"KKN makin banyak. Bukannya makin kurang. Kenapa? Karena demokrasi kita hari ini adalah demokrasi kriminal. Karena kita sok-sok ikut sistem politik di Amerika Serikat (AS)," ungkap Rizal yang juga mantan Menteri Koordinator Perekonomian. (beritasatu.com,15/01/2019)

Saat demokrasi yang ada layaknya seperti kriminal, maka Pilkada di musim pandemi dengan biaya fantastis ini tidak salah jika dicurigai sebagai sarana untuk mengekalkan kursi kekuasaan para elite politik. Rakyat yang dalam kondisi serba sulit akan dikorbankan kembali menjadi boneka bagi pemenangan pasangan. 

Kondisi pandemi seperti saat ini akan bisa dimanfaatkan untuk mendulang simpati dengan kampanye dipoles dengan bantuan sosial atau sembako semata, namun minim akan visi dan misi pemimpin revolusioner. 

Jangan sampai kondisi masyarakat saat ini dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk memperoleh kekuasaan, kemudian setelah berkuasa lupa akan kepentingan rakyat yang harus diurusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun