Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Permintaan Maaf Teman-teman Ratna Sarumpaet, untuk Apa?

8 Oktober 2018   10:06 Diperbarui: 8 Oktober 2018   16:33 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setelah Minta Maaf, Lalu Mengancam |Dokpri dari google

Kita menyimak apa yang terjadi di jagad media sosial, yang berawal dari informasi yang konon dimaksudkan untuk beredar di kalangan sendiri saja, pertama buat anak-anaknya, lalu komunitas terbatas, dan lingkup media sosial kalangan sendiri, dan pecah saat ada konperensi pers yang berbuah publisitas mantap di media arus utama, baik elektronik maupun cetak dan daring.

Pihak yang berwajib, yang semua diragukan kredibilitasnya, dikatakan oleh kalangan lingkaran elite itu wajib menyelidiki peristiwa penganiayaan. Tanpa berlama-lama dalam hitungan 1X24 jam atau 2X24 jam, berita bernada tudingan jahat kepada pihak lawan terpatahkan oleh kepolisian. Ini awalnya karena seorang dokter bedah yang blak-blakan mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan fenomena yang mengemuka.

Toh peringatan kejanggalan tidak digubris oleh pihak yang mengembangkan berita palsu itu. Beragam bentuk kengototan dan kecurigaan tanpa dasar valid telah dipaksakan oleh mereka yang ingin memercayai pengakuan diri dianiaya itu sebagai kebenaran yang menguatkan stigma kejahatan pihak yang tidak disukai mereka, yakni pemerintah yang justru tidak tahu ada peristiwa itu. Pemerintah sendiri dan kepala pemerintahan, faktanya sedang fokus pada penanganan korban gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami di Sigi, Donggala, dan Palu.

Setelah berita utama terbukti palsu cenderung pembohongan yang disengaja oleh pembuatnya, diakui oleh yang punya kebohongan, maka ramai-ramai lingkaran inti kelompok elit itu menyatakan minta maaf secara maya, dan ada pula yang lagi-lagi -- melalui sebuah kompersnesi pers.

Pucuk pimpinan mengatakan tindakannya yang grusa-grusu, seorang dokter gigi menyatakan dia khilaf, yang lainnya merasa dibohongi oleh teman sendiri, dan sebagainya yang semua pembaca berita dan penikmat sajian dunia maya mungkin sudah mendengar semua kejadiannya yang terkini. 

Pembuat hoaks itu sudah berstatus tersangka, dan ditahan selama duapuluh hari ke depan. Terlanjur geregetan setelah muak mengamati pemaksaan kelompok elit itu tentan hoaks yang mereka katakan sebagai indikasi kebiadaban pemerintah atau "pihak pengecut", maka masyarakat mengekspresikan berbagai kecaman dari yang pedas sampai yang berupa tindakan nyata mengirimkan buku sejarah "Cut Nyak Dhien" kepada pelaku keberisikan itu.

Penanganan kasus hoaks dikembangkan oleh yang berwajib. Beberapa nama yang terlibat dalam penyebaran hoaks dipanggil sebagai saksi. Salah duanya adalah seorang bapak dengan putrinya. Mereka mangkir, seperti kebiasaan si bapak. Apakah itu sikap ksatria? Peduli setan. Toh hoaksnya juga hasil bisikan setan, ini pengakuan ratu hoaks-nya sendiri lho.

Kini mereka yang kemarin meminta maaf kepada kalangan mereka sendiri juga, dan sesiapa yang mereka sebut sebagai "berbagai pihak" terkecuali pemerintah atau kepolisian yang mereka ragukan kredibilitasnya, satu persatu mulai kembali bersuara garang seperti kebiasaan mereka, menuding, mengancam, dan menyombongkan diri.

Satu demi satu menyatakan kurang lebihnya ungkapan yang sama, "Siapa yang melaporkan keterlibatan mereka ke polisi, padahal mereka merasa sebagai korban, akan dilaporkan balik kepada polisi juga." Lho, kan semula dan selama ini mereka sendiri yang bilang tidak perxcaya pada institusi kepolisian, mana yang benar sih? 

Oke deh kalau begitu. Kita lihat apa sih sebenarnya yang harusnya menjadi sikap penyesalan dan permintaan maaf itu?

Minta maaf, sungguh? |Dokpri screensyut detikcom
Minta maaf, sungguh? |Dokpri screensyut detikcom
Ada beberapa ciri utama suatu permintaan maaf yang tulus. Permintaan maaf yang tulus tidak akan memuat hal-hal yang bertolak belakang dari sekadar kata "maaf, saya minta maaf, saya menyesal", dan semacamnya -- suatu sikap yang bisa diungkapkan dengansatu kata, "Tetapi" blah blah blah. Misalnya, "Aku minta maaf telah teledor, TAPI itu kan begini begitu .."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun