Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pendakian Baru dan Kesan Manis di Zona Nyaman

9 Juni 2018   10:56 Diperbarui: 11 Juni 2018   09:03 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbang Menuju Awan |Foto: Indria Salim

Kenangan indah di zone nyaman, melengkapi perjalanan hidup |Foto: Indria Salim
Kenangan indah di zone nyaman, melengkapi perjalanan hidup |Foto: Indria Salim
Saya menceritakan perjalanan "karir" saya, dan tampaknya tingkat stresor dan cakupan pekerjaan saya jauh lebih berat dan kompleks. Dalam hal ini Lely punya persepsi yang sama dengan saya. Walau begitu, saya memberikannya gambaran bahwa sejauh empat (4) kantor utama di mana saya bekerja dulu, saya selalu "resign" dalam keadaan "disesali" oleh kantor dan bos lama. 

Artinya, saya meninggalkan kantor lama ke kantor baru dalam keadaan baik, reputasi baik, posisi baik, dan satu alasan kepindahan ke kantor baru yang sama -- yaitu "Saya menemukan kolam lebih besar untuk pengembangan diri optimal dan karier saya."

Di kantor saya yang pertama kali punya posisi resmi dan cukup memberikan kebanggaan pribadi, saya bekerja selama 18 tahun lamanya. Begitu saya menyerahkan surat pengunduran diri langsung ke orang nomor satu di organisasi saya bekerja, Big Bos itu menyambangi saya di ruang kerja. Dia bilang, "I have not approved your resignation as yet," begitu katanya sambil senyum-senyum usil.

Lalu atasan langsung saya meminta saya menemuinya setelah jam kerja resmi usai. Atasan saya mengatakan, banyak yang menyayangkan pengunduran diri itu. Selama itu saya tampak "ok dan happy" dengan pekerjaan dan teman-teman. Memang begitu, sih. Pertemanan dan suasana suka duka ditanggung bareng itu yang membuat saya betah di kantor itu sampai 18 tahun lamanya. Atasan saya meminta saya "menerima tawaran" posisi yang diajukan oleh dua Direktur dari departemen lain, bila pengunduran diri saya karena alasan "bosan kerja di posisi sekarang."

Tentu saya sangat tersanjung dan bersyukur bahwa para bos dari departemen lain pun "mengenali kualitas kerja saya", sehingga mereka ingin mengajak saya "cukup pindah lantai di departemen mereka" alih-alih pindah kantor. Pun begitu terjadi pada kantor baru ke organisasi selanjutnya di mana kaki melangkah lebih jauh dan mendaki lebih tinggi, membawa saya kepada posisi impian di organisasi yang juga jauh lebih "besar". 

Saya sempat mencicipi rasanya jadi eksekutif yang bekerja langsung di bawah CEO sebuah korporat multinasional, dengan gaji yang selama ini hanya ada dalam impian. Juga, bekerja di organisasi internasional yang diinginkan oleh teman-teman saya di kantor-kantor saya bekerja sebelumnya.

Singkat cerita, pesan yang saya sampaikan melalui berbagi pengalaman dengan Lely itu adalah -- "Kita mengundurkan diri karena ada pendakian baru, karena kelamaan di zone nyaman. Kelamaan di zona zaman akan membuatku tertidur pulas, dan ketinggalan kereta!" 

Saya wanti-wanti kepada Lely, "Jangan sampai kita pindah kerja atau ingin mendapatkan pekerjaan baru karena kita kegerahan di kantor yang sekarang."

Saya sampaikan bahwa alasan kepindahan di benak, akan memengaruhi performa kita saat diinterviu oleh calon pemberi kerja. Secara mental, itu juga akan menjadi pijakan awal yang kurang bagus. Paradigma dan perspektif yang kita pegang adalah, "Saya meninggalkan pekerjaan sekarang karena saya sudah terlalu lama memanjakan diri ada di zone nyaman. Saya melihat peluang untuk berkembang lebih besar, dengan meninggalkan comfort zone ini. Saya mengukur diri mampu berkembang lebih optimal lagi bila mau menginggalkan kenyamanan sekarang. 

Dengan begitu, kita tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang sifatnya negatif dari lingkungan di mana kita berada. Realistis saja, tidak semua upaya kita akan langsung dalam posisi "uenak" lagi. Itulah dinamika kehidupan. Namun begitu, pengalaman saya tentu tidak selalu bisa diterapkan kepada orang lain karena banyak faktor unik dari setiap individu berbeda. Dalam hal masalah Lely, saya melihat ada hal yang bisa dipetik dari pengalaman saya.

Alasan pindah kerja, menurut saya idealnya bersifat internal, sesuatu yang menjadi kebutuhan pribadi yang mendasar. Sebaliknya agak disayangkan bila pindah kerja karena tekanan yang tidak bisa kita kendalikan, ataupun faktor eksternal, misalnya "Saya nggak tahan dengan Si Bakung yang potensial menyakiti saya." Pun bila fakta dominan pemicunya Si Bakung, atau hal lain lagi yang tidak lagi bisa ditolerir, paradigma kita akan lebih mendukung pada pendakian baru jika itu berfokus pada pemantapan tujuan besar. Kehidupan itu sehat bila ada pertumbuhan dan buah manis baik buat diri sendiri dan sekitar kita. Just my two cents!

Salam Kompasiana Beyond Blogging! :: Indria Salim ::

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun