Mohon tunggu...
indrawan miga
indrawan miga Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pendidik, petani

Pernah wartawan di beberapa media cetak nasional. Kini penulis dengan peminatan topik pendidikan, pertanian, dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Saya Ingin Ibu Kota Indonesia Baru?

26 Agustus 2019   19:17 Diperbarui: 27 Agustus 2019   05:35 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
repot memang, tapi gak apa untuk kemajuan... (kartun Benny R, Kontan.co.id

 

Terus terang saya memilih Pak Jokowi sebagai presiden pada pemilu presiden 2019 kemarin. 

Tetapi bukan karena itu saya setuju dengan alasan Presiden Jokowi, yang 26/8/2019 siang barusan mengumumkan kepastian memindahkan dan membangun ibukota baru bagi Indonesia ke Kalimantan Timur, di area eks HPH Bukit Soeharto dalam wilayah kabupaten Penajam Paser Utara dan kabupaten Kutai Kartanegara.  

Alasannya, dua. 

Pertama, saya ingin banget ada Indonesia Baru, ada keIndonesiaan yang baru, diwujudkan pada Ibukota Indonesia yang baru.

Saat ini, kita berada pada Indonesia yang belum jadi, masih berproses menjadi Indonesia.  Kesukuan kita belum melebur menjadi ke Indonesiaan. Ego kita masih ego kesukuan, ego keagamaan, dan ego etnis. Melarang mengungkap isu-isu SARA dalam wacana keseharian, malahan membuat keIndonesiaan terkubur di bawah karpet. 

Kecemburuan terhadap Pulau Jawa, orang Jawa, suku Jawa, sering terdengar ketika saya meliput ke daerah-daerah di luar pulau Jawa.  Jawa makin sejahtera, sementara di luar Jawa kekayaan alamnya sudah habis terkeruk meninggalkan lubang galian, minyak gas bumi habis, tanah kritis, dan kerusakan alam.

Pembangunan kita memang selama ini berpusat di Jawa, keuntungan hasil kekayaan alam tertarik ke Jawa, lebih tepat lagi Jakarta. 

Wajar, Jakarta telah terbentuk menjadi pusat segalanya: pemerintahan, diplomatik, perdagangan, jasa, ekspor impor, keuangan, pasar uang, kantor investasi asing, pabrik-pabrik, pelabuhan terbesar, bandara terbesar, termasuk pusat perpolitikan. Jakarta menjadi barometer sosial politik. Bahkan grosir pakaian terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara ada di Tanah Abang -- jelang lebaran saudara saya di Naggroe Aceh Darussalam sering berbelanja grosir baju ke Tanah Abang.  

Di Jakarta pembangunan kayaknya sudah berlebihan, mungkin sudah ribuan trilyun anggaran APBN dan ABPD DKI Jakarta tertuang di sini, sementara di banyak tempat di Indonesia wajah potret kemiskinan masih tampak di depan mata.   

Merantau ke Pulau Jawa, tetap menjadi tujuan akhir sanak keponakan bersekolah, menyantren, kerja, usaha, atau pun menetap setelah berkeluarga. Hidup itu lebih nyaman di Jawa, gampang cari rejeki di Jakarta.  Urbanisasi ke Pulau Jawa, sudah berlangsung berpuluh tahun, tapi tidak juga menjadikan Indonesia lebih baik.

Pemberontakan terhadap pemerintah yang sah di masa lalu (PRRI, DI-TII, Aceh Merdeka, Maluku, Papua) dan juga bisa terulang di masa datang, ada termasuk di dalamnya motif ketidakpuasan daerah terhadap pusat (Jawa, Jakarta). Meski otonomi daerah berjalan, tetap saja ketakpuasan dan kecemburuan itu masih dialamatkan ke Jawa dan Jakarta.    

Budayawan Radhar Panca Dahana dan pemikir kebangsaan Yudi Latif, sering mengungkap keresahan mereka  tentang keIndonesiaan yang belum jadi ini.  KeIndonesiaan yang masih balita, meski sudah 74 tahun merdeka. 

Sementara keIndonesiaan belum-belum juga terbentuk, di mana  kultur, budaya dan tradisi belum menyatu sebagai budaya nasional Indonesia, eh generasi muda kita malahan gandrung budaya modern yang komersial seperti K-Pop, budaya internet; maupun pesona ideologi asing dari belahan dunia lain (a-historis, fundamentalism, a-theis) yang bisa menelan keIndonesiaan kita.  

Terasakan memang saat ini konflik-konflik masyarakat makin berbau perbedaan suku, agama, dan ras. Minoritas-Mayoritas. Islam-non muslim. Islam Nusantara - Islam Arab. Kriminalisasi Ulama. NKRI - NKRI Bersyariah. Politik identitas. Putra daerah lebih berhak. Persekusi seni budaya. Dan banyak lagi penolakan terhadap kenyataan keIndonesiaan kita, dengan alasan pembenarannya masing-masing. Dan kita boleh merasa cemas menghadapi krisis peradaban kebangsaan Indonesia saat ini, yang andai tak terkelola dengan baik akan berakibat fatal.     

Resep berupa daerah otonomi, ternyata belum ampuh menyelesaikan masalah. Sosialisasi empat pilar (UUD 45, NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika), pembentukan BPIP dan upaya kultural kemasyarakatan lain, masih belum membuahkan hasil. Pertarungan ide nya bahkan bergeser menjadi pertarungan hate speach di tingkat horizontal dan organisasi kemasyarakatan (Banser - ormas lain)

Sebagai anggota masyarakat biasa, tentu saya - juga anda dan anak cucu kita - ingin kelak dapat hidup sejahtera bahagia dalam Rahmat Allah SWT, dan terjauh dari perpecahan bangsa. Bersatu dalam perbedaan, dan menjadikan perbedaan sebagai kekayaan khasanah bangsa.  

Pemindahan Ibukota Indonesia ke Kaltim ini, saya lihat lebih sebagai upaya keluar dari stigma perpecahan tersebut.  Terima kasih atas upaya yang merekatkan bangsa Indonesia, menuju keIndonesiaan yang baru.

Kelak, kita akan tidak mendengar lagi kecemburuan antara Barat dan Timur, antara pusat-daerah, antara Jawa-luar Jawa.  Inilah yang diinginkan oleh pendiri bangsa: "Persatuan Indonesia" yang didasarkan atas "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Kritik soal urgensi, biaya, utang, payung hukum, atau prosedur tata cara politik, bagi saya bukanlah menjadi alasan penolakan yang tepat.  Ini soal kecil dibanding harga keIndonesiaan yang kita idam-idamkan. Setuju, kan?

Kedua, saya rindu keputusan-keputusan besar menuju Indonesia adidaya.

Masak kita, yang nota bene negara demokrasi terbesar ke 5 di dunia, kelima lho...  kok begini-begini aja, gak ingin tampil ke tingkat dunia?  

Sudah saatnya kita mengambil keputusan besar, atau langkah-langkah besar.

Memindahkan Ibukota semacam latihan keberanian itu. Dengan perencanaan dan manajem operasional yang baik, tentu resiko kegagalan dapat diminimalkan. 

Kalau barisan rapih, kita bisa ikut berlomba. Kalau barisah masih gaduh berisik atau ruwet, bagaimana bisa menang?

Keputusan Presiden Jokowi membangun berbagai infrastruktur di daerah memang mendapat kritik keras dari berbagai lawan politik, beralasan menjadi beban biaya hutang, dan adakah manfaat atau urgensinya pada peningkatan ekonomi masyarakat.  Dalam pengamatan saya ke Sumatera Utara belum lama ini, semua orang akhirnya mensyukuri jalan tol yang telah dan sedang dibangun, karena nyata membuat perubahan ke arah lebih baik.  

Kita memang perlu  belajar membuat keputusan besar, yang sudah jarang dilakukan oleh para pemimpin. 

Karena para elit politik terseret oleh arus besar motif melanggengkan kekuasaan jadi tak berani melakukan terobosan yang beresiko. Sulit menjelaskan pada masyarakat/rakyat, lebih gampang mengambil jalan aman, serta tidak membuat kebijakan yang pro-kontra, sehingga tidak ditinggalkan massa pendukung.  

Sejatinya seorang politisi negarawan akan berani membuat terobosan di wilayahnya,  meski pun pahit dan berat dilampaui, tapi kelak menyejahterakan. 

Dengan keputusan pindah Ibukota ini, Presiden Jokowi sedang melatih syaraf berfikir kita untuk belajar  bersikap kritis mengenai keIndonesiaan kita, dan ikut mikir masa depan bangsa ini di era 100 tahun mendatang. Belajar untuk deg-deg-an dengan sebuah langkah besar.

Saya ingin, pada 100 tahun Indonesia, kita merebut kembali posisi dominasi politik dan ekonomi di lingkup Asia Tenggara. Masak kita diatur oleh Singapura atau Malaysia?

Dengan dasar kredibilitas itu, kita dapat duduk sama tinggi dengan negara adidaya lainnya seperti Amerika Serikat, Rusia, China, Jepang, Inggris, Saudi Arabia, UEA,  dan negara di Eropa (Prancis, Jerman, Italia). 

Hasil bumi kita begitu kaya, lahan pertanian kita begitu luas, dengan para pemuda dan diaspora yang hebat, kita bisa menjadi kekuatan dunia yang baru. 

Sebagaimana mimpi para pendiri bangsa, Indonesia perkasa yang berperan di level dunia. 

" ...  Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...... "  (Pembukaan UUD '45)

Keren, kan .. kita menjadi negeri adidaya seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China sekarang ini, yang mengatur dunia lewat berbagai cara.   

Dirgahayu ke-74 RI. Selamat datang Ibukota baru. Selamat datang Indonesia baru!

(Indrawan Miga)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun