Menjelang tahun baru, ada kenangan yang mencuat di dalam benak Sonya, isteri Duras, mantan tokoh aktivis yang pada era Orde Baru gigih menentang penguasa.
Di rongga ingatan Sonya, terserak sisa-sisa pesta tahun baru. Beberapa botol bir, anggur, potongan-potongan kambing guling, cemilan dan buah-buahan.
 "Semoga tak ada lagi pesta tahun baru di rumah kita. Kita hanya kebagian sampah. Sedang mereka hidup serba melimpah." ujar Sonya.
Duras diam. Ia masih mengenang pesta tahun baru bersama teman-teman yang jumlahnya 15 orang, setahun lalu. Kenangan-kenangan pun timbul tenggelam. Kuliah. Pacaran. Demonstrasi. KKN. Wisuda. Atau aksi sosial.Â
Kini semua sudah bekerja. Jadi dosen, pengusaha, tokoh partai, anggota DPR, LSM, wartawan dan seniman. Semuanya boleh dikatakan sukses.Â
Rata-rata sudah punya rumah dan mobil. Bisa menyekolahkan anaknya di luar negeri. Hanya Duras lah yang paling miskin: ia buka toko kelontong di rumah.
Banyak kawan yang menawari Duras pekerjaan. Mereka tidak tega melihat seniornya itu hidup pontang-panting. Namun, semua tawaran ditolak.Â
Duras bilang, "Biarkan saya hidup begini. Saya sangat bahagia." Semasa kuliah, Duras lah yang mendidik kawan-kawannya itu jadi mahasiswa yang cerdas sekaligus peduli pada masyarakat, khususnya wong cilik. Duras lah yang membawa mereka demonstrasi, menentang pemerintah yang korup dan menindas kebebasan. Beberapa dari mereka, akhirnya jadi tokoh mahasiswa yang vokal. Mereka itu kini aktif di partai dan beberapa duduk di parlemen.
Untuk mengenang masa-masa indah itu, Duras dan kawan-kawan selalu bikin pertemuan setiap tahun baru. Acara rutin itu sudah digelar belasan kali.Â
Semua kawannya selalu datang, jika tidak berhalangan. Namun dalam setiap pesta, Duras selalu sedih karena satu persatu kawannya 'hilang'. Noradin, Hermas, Lukson, Margabur ditangkap karena terlibat korupsi. Begitu juga Gladyiz, Buras, Nerna, Eva, Korsad dan Argaz. Semua meringkuk di penjara. Jumlah temannya terus menyusut.