Mohon tunggu...
Indrato Sumantoro
Indrato Sumantoro Mohon Tunggu... Insinyur - Pengamat Aspal Buton

Lulusan Teknik Kimia ITB tahun 1976 Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mari Kita Membuat Sejarah Aspal Buton

7 Desember 2019   05:50 Diperbarui: 8 Desember 2019   09:51 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:abarky.blogspot.com

Dapatkah kita merubah sejarah ? Sudah barang tentu kita tidak dapat merubah sejarah, karena sejarah merupakan bagian dari masa lalu. Tetapi kita masih bisa membuat sejarah yang baru, karena membuat sejarah baru adalah bagian dari masa kini dan masa depan. Namun untuk membuat sejarah baru, kita harus tahu terlebih dahulu peristiwa-peristiwa apa yang telah terjadi di masa lampau. Dengan demikian kita bisa belajar dan mengambil hikmahnya agar kita tidak akan mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang sama. Dan kita harus melakukan perbaikan-perbaikan yang lebih bernilai, bermanfaat, dan tepat sasaran di masa yang akan datang untuk generasi berikutnya.

Sejarah aspal Buton di awali sejak zaman penjajahan Belanda; yaitu dengan ditemukan deposit aspal alam di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, pada tahun 1924 oleh seorang Geolog Belanda yang bernama W.H. Hetzel. Kemudian pada tanggal 21 Oktober 1924 konsesi penambangan aspal Buton selama 30 tahun diberikan kepada seorang pengusaha Belanda bernama A. Volker. Pengusahaan pertambangan aspal Buton selanjutnya dilakukan oleh perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton. Sejak tahun 1926 sudah melakukan penambangan aspal Buton secara terbuka pada daerah Lawele dan Kabungka. Batuan aspal Buton dikirim ke Pelabuhan Banabungi dan Lawele untuk dijual ke dalam dan luar negeri. 

Selama masa pendudukan Jepang tidak tercatat adanya kegiatan penambangan batuan aspal Buton. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1955 pengelolaan aspal Buton berada di bawah Jawatan Jalan-jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga yang merupakan hasil nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda tersebut. Selanjutnya, pada tahun 1961 dibentuk Perusahaan Aspal Negara untuk pengelolaan aspal Buton. Pada tanggal 30 Januari 1984, Perusahaan Aspal Negara berubah menjadi PT Sarana Karya (Persero). Perubahan ini diduga dilatar belakangi oleh menipisnya jumlah deposit dengan kandungan bitumen tinggi, sehingga diperlukan cara-cara baru untuk memproduksinya. Kadar aspal yang rendah menjadikan upaya pemanfaatan deposit aspal Buton tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang standar. Berbagai metode pemanfaatan aspal Buton seperti Latasir, Latasbum, asbuton curah, asbunton micro, Buton Mastic Aspal mulai ditinggalkan. Kontraktor jalan lebih menyukai menggunakan aspal minyak, karena metode produksi hotmixnya lebih efisien dan praktis.

Mulai tahun 2004, seiring dengan kenaikan harga minyak bumi yang harganya mencapai kisaran US$ 100 per barel, menjadikan harga aspal minyak juga ikut naik dengan sangat tajam. Hal ini memicu upaya-upaya untuk memanfaatkan kembali aspal alam dari Pulau Buton. Namun karena belum tersedianya teknologi pengolahan dan pemanfaatan yang handal dan ekonomis, akibatnya aspal Buton masih belum mampu bersaing dengan aspal minyak impor.

Pada tanggal 24 Desember 2013 PT Wijaya Karya (Persero) mengakusisi 100% saham PT Sarana Karya dengan senilai Rp. 50 Milyar. Nama PT Sarana Karya berubah menjadi PT Wijaya Karya Bitumen. Langkah pengambil alihan ini dilakukan untuk menunjang pertumbuhan bisnis PT Wijaya Karya Tbk di bidang pembangunan infrastruktur yang meliputi pembangunan jalan-jalan tol, peningkatan jalan, dan pemeliharaan jalan di dalam negeri. PT Wijaya Karya Bitumen sekarang sedang mengembangkan teknologi ekstraksi aspal Buton, yang diharapkan akan dapat memproduksi aspal Buton "full" ekstraksi untuk menggantikan aspal minyak impor.

Sebagian besar minyak mentah Indonesia merupakan jenis "light crude" yang memiliki kandungan fraksi bahan bakar tinggi, sehingga berharga sangat mahal. Minyak mentah ini oleh Pemerintah diekspor ke luar negeri. Untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri, Pemerintah Indonesia melalui Pertamina mengimpor minyak mentah dari kawasan Timur Tengah yang harganya lebih murah. Minyak mentah dari Timur Tengah ini mengandung kadar aspal yang tinggi. Seluruh kilang yang berada di Indonesia dioperasikan oleh Pertamina. Oleh karena itu Pertamina merupakan satu-satunya produsen aspal minyak di dalam negeri. Kapasitas kilangnya di Cilacap sebesar 600.000 MT/Tahun. Tetapi dengan adanya kemajuan teknologi pengilangan, maka sebagian besar minyak bumi dapat diolah menjadi bahan bakar. Dan sisanya yang tinggal sedikit diolah menjadi aspal minyak. Dengan demikian produksi aspal minyak Pertamina sekarang diperkirakan hanya sekitar 300.000 - 400.000 MT/Tahun saja.

Pada saat ini Pemerintah fokus kepada pembangunan infrastruktur. Dengan berkembangnya pembangunan wilayah maupun sentra-sentra ekonomi mendorong konsumsi aspal untuk pembangunan jalan-jalan terus meningkat, sehingga supplai dari aspal minyak Pertamina tidak lagi mencukupi. Kebutuhan aspal di dalam negeri sekarang diperkirakan sebesar 1,5 - 2 juta ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan aspal nasional yang besar ini, pemerintah masih harus terpaksa mengimpor lebih dari 1 juta ton per tahun aspal minyak dari berbagai kilang di  luar negeri; seperti dari Singapura, China, Korea, Kuwait, Iran, dan Malaysia, baik dalam bentuk curah maupun drum.

Indonesia merupakan Importir aspal minyak terbesar ke 10 di dunia. Berdasarkan data perdagangan luar negeri pada tahun 2017, Indonesia mengimpor senilai US$ 371 juta. Bahkan nilai impor aspal minyak akan cenderung meningkat terus tiap tahunnya. Setidaknya sejak tahun 1989 Indonesia tidak pernah lepas dari impor aspal minyak. Impor aspal minyak tertinggi terjadi pada tahun 2013 dimana kala itu Indonesia membeli aspal minyak senilai US$ 664 juta. Sedangkan pada tahun 2018, impor aspal minyak Indonesia mencapai US$ 460,1 juta. 

Peristiwa yang perlu dicatat dalam sejarah aspal Buton adalah ketika pada awal tahun 2015 Presiden Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ke 7, menginstruksikan kepada seluruh Kementerian terkait untuk menghentikan impor aspal minyak yang selama ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan aspal di dalam negeri. Selanjutnya mulai tahun 2016, pasokan aspal dalam negeri akan digantikan dengan aspal Buton. Ini adalah untuk pertama kalinya seorang Presiden Republik Indonesia, setelah 70 tahun merdeka, menyatakan dukungannya terhadap pemakaian aspal Buton untuk menggantikan aspal minyak impor secara terbuka. Meskipun kenyataannya harapan ini masih belum dapat terlaksana sampai saat ini, tetapi setidak-tidaknya peristiwa ini sudah merupakan suatu cikal bakal dari kebangkitan aspal Buton di era milenial ini yang perlu dicatat dalam sejarah aspal Buton.

Sejarah aspal Buton yang terakhir dicatat adalah pada tanggal 2 Mei 2019, ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Bapak Luhut Binsar Panjaitan menggelar rapat koordinasi "Percepatan Pengembangan dan Penggunaan Aspal Buton". Ini menunjukkan komitmen pemerintah yang serius untuk mendukung aspal Buton guna menggantikan aspal minyak impor yang perlu ditindaklanjuti secara serius pula.

Dalam bahasa Inggris ada kata-kata bijak yang mengatakan "Let's make history. Not stories". Mari kita membuat sejarah. Bukan cerita. Oleh karena itu, mari kita membuat sejarah aspal Buton. Dan bukan membuat cerita mengenai aspal Buton. Karena kalau kita membuat sejarah aspal Buton, nama kita akan dikenang orang sepanjang masa. Sedangkan kalau kita hanya membuat cerita mengenai aspal Buton, maka nama kita akan segera dilupakan orang, begitu ada cerita baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun