Mohon tunggu...
Indra Setyowati
Indra Setyowati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Malang

#ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ekonomi Dunia 2023 Gelap! Perekonomian Indonesia dalam Bayang-Bayang Resesi

26 September 2022   16:29 Diperbarui: 26 September 2022   16:36 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Presiden Jokowi dapat bocoran Perserikatan Bangsa-bangsa (PPB) bahwa dunia akan gelap. Menurut Presiden Jokowi, tahun ini dunia akan hadapi situasi yang cukup sulit. 

Bahkan sebagian besar negara akan hadapi situasi yang amat sulit di tahun 2023 akibat terjadinya krisis pangan, ekonomi, dan energi. Dia mengungkapkan bahwa ia memperoleh bisikan tersebut saat berbincang bersama sekretaris Jendral PBB. 

Tentunya hal ini akan menimbulkan kegelisahan bagi seluruh negara, salah satunya negara Indonesia. Negara Indonesia sudah sepatutya waspada dan mempersiapkan diri guna hadapi situasi ini.

Kemungkinan besar situsi sulit yang dialami sejumlah negara tidak lain dikarenakan oleh pandemi covid-19, belum lagi perang antara Ukraina dan Rusia hingga saat ini belum selesai. 

Kini, sejumlah negara harus hadapi lonjakan harga pangan dan energi sehingga menyebabkan inflasi terus merekot. Tanda-tanda ini nampak terlihat ketika perekonomian negera-negara adidaya mulai alami pertumbuhan ekonomi negatif.

Menurut prediksi International Monetart Internasional (IMF), PBB dan Bank dunia, sebanyak 66 negara yang perekonomiannya akan ambruk. Tak hanya itu saja, dia juga menyebutkan sebesar 320 juta penduduk dunia sudah alami fase kelaparan akut. 

Bahkan, saat ini sudah mulai satu persatu negara ambruk, mulai dari angka 9 sampai angka 25. Jumlah negara ambruk diprediksi akan terus naik hingga mencapai angka 45. Meskipun belum terjadi, bukan tidak memungkinkan fenomena ekonomi tersebut akan benar-benar terjadi.

Berdasarkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti  Eropa, Singapura, Amerika, hingga Australia telah anjlok. Akhirnya, kondisi ini memicu terjadinya menyebabkan inflasi dan menyebabkan harga barang anjlok. 

Namun, pihak Amerika tak mengakui bahwa mereka mengalami kondisi resesi. Jannet Yellen, Menteri Keuangan Amerika mengatakan bahwa ekonomi di negara mereka hanya mengalami transisi bukan resesi. 

Padahal pada kuartal I-2022 pertumbuhan ekonomi di Amerika  tercatat minus 1,6 persen. Kemudian di kuartal II-2022, perekonomian di negara tersebut juga alami penurunan hingga tercacat minus 1,6 persen. Dengan demikian, tercatat bahwa inflasi di Amerika mencapai angka 9,1% hingga bensin naik dua kali lipat.

Tak hanya di Amerika, bahkan gejala inflasi juga merambah ke Indonesia. Sama seperti negara-negara lain dimana Indonesia juga menunjukan gejala-gejala inflasi. 

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS,  Indonesia sudah mencapai inflasi 4,94% per Juli 2022. Ini merupakan angka tertinggi sejak tahun 2015. Namun, rilis terbaru menunjukkan bahwa pada bulan Agustus 2022 Indonesia alami deflasi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,21%. Akan tetapi, kategori inflasi secara tahunan masih terjadi dengan IHK Agustus 2022 mencapai 4,69%.

Menurut Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi BI, bahwa tekanan inflasi akan terus berlanjut. Bahkan hal ini akan lebihi batasan 3% sasaran dengan kurang lebih 1% mendorong inflasi 2022 dan 2023. 

Diduga inflasi yang berlanjut dipicu oleh inflasi kelompok yang bergejolak (volatile food), naiknya harga BBM nonsubsidi serta sisi permintaan yang semakin menguat hingga berisiko melonjakkan ekspektasi dan inflasi inti.

Perkiraan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), inflasi disepanjang 2022 akan mencapai 6,8% akibat dari kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) yang melonjak. Proyeksi inflasi ini lebih tinggi dari target 2022 yang ditetapkan yaitu dalam rentang 4,5% hingga 4,8%. 

Padahal guna mengantisipasi kenaikan tajam harga bensin, Jokowi sudah mengatakan bahwa pemerintah juga berusaha dalam pengendalian harga bensin melalui pengeluaran anggaran subsidi sebesar Rp 502 triliun. Inflasi yang berkelanjutan akan memungkinkan Indonesia alami resesi.

Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) terus berlanjut hingga pemerintah menaikkan harga Pertalite dari sebelumnya hanya sebesar Rp 7.650 per liter menjadi sebesar Rp 10.000 per liter. Bahkan hal ini diikuti dengan penurunan harga solar subsidi dari dari Rp 5.150 per liter hingga menjadi Rp 6.800 per liter, serta turunnya harga pertamax dari Rp 12.500 per liter menjadi menjadi Rp 14.500 per liter. 

Di sisi lain, kebijakan tersebut dirasa kurang tepat sasaran, mengingat bahwa konsumsi BBM bersubsidi seperti solar  nyatanya sebesar 70% hanya dinikmati oleh masyarakat mampu.

Berbagai upaya telah dilakukan guna menekan laju inflasi, salah satunya yakni peran Bank Indonesia (BI) dalam menguatkan  sinergi diantara pusat dan daerah dalam tingkatkan ketahanna pangan dan menjaga stabilitas harga. Hal ini dilakukan melalui akselerasi pelaksanaan gerakan nasional pengendalian inflasi pangan (GNPIP) dan Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi (TPIP dan TPID).

Berdasarkan kaca pengalaman dari situasi yang dialami sejumlah negara, potensi resesi terjadi pasca harga BBM melonjak, diikuti naiknya suku bunga acuan oleh bank sentral. Menurut Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI naiknya harga BBM akan mendorong inflasi melebihi sasaran awal sehingga perlu adanya tindakan mitigasi.

"Dalam hal ini BI telah bertindak secara respons preemptive dengan melakukan normalisasi kebijakan moneter berupa menaikkan suku bunga kebijakan pada RDG terakhir," ujar Dody kepada CNBC Indonesia. Dari sisi pasokan, Dody menyarankan agar  BI terus bersinergi dengan pemerintah guna memastikan dan menjaga ketersediaan harga pangan tetap stabil melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan atau GNPIP.

Asumsinya, apabila resesi tidak segera diatasi maka pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada kuartal II dan III alami pertumbuhan negatif. Resesi ini tentunya akan berimbas pada sosial masyarakat. Bahkan akan terjadi PHK besar-besaran hingga bermuara pada naiknya pengangguran dan kemiskinan.  Untuk itu masyarakat perlu mempersiapkan dana darurat guna pemenuhan kebutuhan penting.

Persiapan dana darurat tidak bisa hanya mengandalkan tabungan untuk bertahan di masa depan. Jika bunga di deposito hanya 2-4% per tahun, sedangkan inflasi hampir 5% per tahun, lama-lama uang akan kehilangan nilainya. 

Oleh karena itu, diperlukan  investasi yang jauh lebih besar returnnya misal investasi di saham. Dimana saham menghasilkan return 12-14% per tahun tergantung IHSG.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun