"Banyak kelompok orang yang ingin membuat islam tidak berdaya. Kita tidak boleh diam. Kita harus lawan mereka," kata Fikar mengepalkan tangan.
"Siapa orang-orang itu?" tanya saya.
"Mereka yang tidak seiman dengan kita atau ada lagi seorang muslim yang mendukung mereka," jawab Fikar.
Dongkol mendengar jawaban seperti itu seketika saya memotong penjelasan Fikar.
"Memberi label kafir kepada orang lain seperti mencoba mengepalkan air di sumur yang kotor. Toh kamu tidak bisa menggapai wujudnya. Cara berfikir kamu amat sangat dangkal."
Rohim mengambil bagian pembicaraan dengan cara mengingatkan bahwa kita baru saja bertemu selama lima tahun berpisah. "Kesempatan ini jangan di isi dengan pertikaian," kata Rohim.
Kami sepakat untuk memberhentikan percakapan soal kafir. Saya ingin hubungan kami baik-baik saja dan tidak ingin saling memusuhi hanya karena saya mendorong Fikar untuk menjelaskan ceramahnya.
Uki menghampiri kami bertiga. Ia tidak tahu apa yang telah kami bicarakan dan tiba-tiba Uki mencoba mengingat-ingat tingkah laku kami semasa kecil. Dalam hati saya, Alhamdulillah. Berkat Uki suasana kembali cair.
"Pada saat Fikar baru saja mempunyai kekasih untuk pertama kalinya," kata Uki "mereka saling berciuman di hadapan aku, gila kan, seketika wanita itu meninggalkan Fikar begitu saja. Wanita itu sadar bahwa sebelum berciuman aku dan Fikar beres menenggak jeruk liar."
Wajah Fikar merah seperti pantat bayi. Selebihnya? Kami tertawa tergelak-gelak.
Kenangan masa kecil itu terus membisiki telinga saya. Lalu mengajak ke suatu tempat yang mungkin sudah tidak ada keberadaannya. Saya tidak bisa memastikan apakah mereka masih memelihara gagasan yang serupa. Meskipun begitu, mereka tidak membuat bosan, diceritakan atau menceritakan.