Mohon tunggu...
Drs. Tiardja Indrapradja
Drs. Tiardja Indrapradja Mohon Tunggu... Wiraswasta - pensiunan

Seorang ayah dengan lima orang anak yang sudah dewasa [Puteri sulung saya telah meninggal pada tahun 2016 karena penyakit kanker]. Lulusan FEUI, dan pernah mengajar di FISIP UI 1977-akhir abad ke-20 sebagai dosen luarbiasa di jurusan administrasi [niaga]. Sekarang menangani empat situs/blog dalam hal evangelisasi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemimpin Yang Efektif Adalah Seorang Pendengar Yang Baik

26 Mei 2014   23:50 Diperbarui: 4 Desember 2015   16:08 3718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 

S.R. Levine & M.A. Crom menulis bahwa keterampilan “mendengarkan” adalah satu-satunya keterampilan yang paling penting dari semua keterampilan berkomunikasi yang ada. Lebih penting dari keterampilan untuk berorasi dengan berapi-api. Lebih penting daripada suara yang penuh kuasa. Lebih penting daripada kemampuan untuk berbicara dalam beberapa bahasa. Malah lebih penting dari kemampuan menulis dengan kata-kata yang menawan (THE LEADER IN YOU: HOW TO WIN FRIENDS, INFLUENCE PEOPLE, AND SUCCEED IN A CHANGING WORLD, New York, N.Y.: Simon & Schuster, 1993, hal. 985).

Keterampilan untuk berkomunikasi secara interpersonal yang baik tidak sekedar menyangkut penyampaian pesan-pesan tetapi juga penerimaan pesan-pesan. “Mendengarkan” merupakan metode utama dalam menerima pesan-pesan. Sayangnya, banyak orang bukan merupakan pendengar yang baik. Riset-riset telah menunjukkan bahwa rata-rata orang hanya menyimpan 25 % dari apa yang didengarnya (lihat misalnya Keith Davis & John W. Newstrom, HUMAN BEHAVIOR AT WORK – ORGANIZATIONAL BEHAVIOR, 8th Edition: New York, N.Y., McGraw-Hill Book Company, 1989, hal. 87).

Kita juga menyadari kenyataan bahwa apabila kita adalah manajer dan/atau pemimpin yang tidak mendengarkan, maka kita memiliki informasi lebih sedikit untuk membuat keputusan-keputusan yang sehat.

Menjadi seorang pendengar yang baik.

“Nature gave people two ears, but only one tongue, which is a gentle hint that they should listen more than they talk” (Keith Davis & John W. Newstrom, hal. 88).

Terjemahan bebas dari petikan di atas adalah: Alam memberikan kepada orang-orang dua buah telinga, namun hanya satu lidah, hal mana adalah sebuah petunjuk halus bahwa mereka harus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.

Kebanyakan kita akan tertawa kalau ada orang yang mengatakan kepada kita bahwa kita adalah pendengar yang buruk. Dalam kenyataannya mungkin kita “mendengar” (hear) dengan baik tetapi tidak “mendengarkan” (listen) dengan baik. “Mendengarkan” berarti memberi arti pada apa yang kita dengar. Ada yang mengatakan: “Listening requires two ears, one for meaning and one for feeling” (Keith Davis & John W. Newstrom, hal. 88). Mendengarkan tidak terjadi sampai saat kita mendengar, mengerti dan mengingat apa yang dikomunikasikan oleh seseorang kepada kita.

Dari tingkatan manajemen paling rendah yang dinamakan penyelia atau supervisor yang memimpin unit kerja yang relatif tidak besar sampai tingkat manajemen tertinggi dalam organisasi, keterampilan orang bersangkutan untuk berkomunikasi, baik secara tertulis maupun lisan adalah sebuah keharusan. Seorang direktur utama perusahaan, misalnya, harus mampu mengartikulasikan secara tertulis visi dan misi organisasi yang dipimpinnya. Dia harus membuat berbagai kebijakan organisasi (organizational policies) dengan bahasa yang dapat dipahami oleh para anggota organisasi yang dipimpinnya. Di samping itu dari waktu ke waktu dia biasanya juga menyelenggarakan rapat kerja dan juga  melakukan “management by walking/wandering around” atau MBWA di dalam unit-unit kerja yang berserakan di berbagai lokasi. Dengan demikian keterampilan berkomunikasi secara lisan maupun non-verbal juga sangatlah diperlukan, kalau tidak boleh dikatakan lebih diperlukan.

Hal yang sama intensnya juga dituntut dari seorang pemimpin di berbagai bidang lainnya, misalnya seorang bupati, gubernur, malah presiden sebagai pemimpin negara ketika mempunyai kesempatan mengunjungi rakyat dan berbincang-bincang secara bermakna dengan mereka (nama populernya “blusukan”). Komunikasi yang dilakukan dalam kesempatan-kesempatan itu termasuk dalam kategori “komunikasi dua arah” (two-way communication). Nah, dalam proses komunikasi dua arah ini, titik lemahnya justru adalah dalam proses “mendengarkan”. Mengapa? Karena para manajer atau pemimpin biasanya tidak bekerja secara aktif dalam hal mendengarkan secara baik, padahal sesungguhnya inilah yang merupakan prasyarat untuk keberhasilan proses komunikasi tersebut.

Mendengarkan secara efektif bukan merupakan keterampilan alamiah bagi kebanyakan orang. Salah satu faktor yang mempengaruhi sampai berapa baik seseorang mendengarkan adalah sikapnya terhadap orang yang menyampaikan pesan kepadanya (sender). Misalnya kebanyakan orang berkecenderungan untuk lebih mendengarkan baik-baik atasan (orang-orang yang di atas) mereka daripada para bawahan (orang-orang yang di bawah) mereka.

Para manajer dan/atau pemimpin yang sangat status-conscious tentunya lebih berkepentingan untuk berbicara tentang ide-ide mereka sendiri daripada mendengarkan yang dikatakan oleh orang lain, walaupun pihak lawan bicara menunjukkan sikap mau belajar sesuatu. Memang menjadi pihak yang “mendengarkan” mengancam self-image dari manajer atau pemimpin seperti itu. Tidak demikian halnya dengan para manager atau pemimpin yang berorientasi pada pengabdian atau pelayanan dalam memainkan peranan mereka sebagai pemimpin.

Dalam servant leadership yang dipopulerkan oleh Robert K. Greenleaf [1904-1990], “mendengarkan” ditempatkan sebagai urutan pertama dari 10 (sepuluh) karakteristik seorang “pemimpin yang melayani” atau servant leader (lihat tulisan saya yang berjudul “Pemimpin yang Melayani [Servant Leader]” dalam KOMPASIANA, tanggal 23 Maret 2014).

Mendengarkan dengan efektif/aktif.

Mendengarkan secara efektif/aktif itu jauh dari mudah. Tidak hanya diperlukan konsentrasi serius atas apa yang dikatakan oleh lawan bicara kita, melainkan juga menaruh perhatian pada berbagai isyarat yang ditunjukkan lewat wajah dan “bahasa tubuh” lainnya. Isyarat-isyarat non-verbal dari pihak manajer/pemimpin menyampaikan pesan bahwa dia mendengarkan dan berkonsentrasi atas apa yang dikatakan oleh pihak lawan bicara. Mendengarkan dengan aktif seperti itu dapat sangat bermanfaat. Orang di mana-mana biasanya sangat senang kalau pesannya didengarkan oleh orang lain, juga untuk berhubungan dengan audiensi yang bersikap reseptif terhadap pemikiran-pemikiran dan keprihatinan-keprihatinannya. Mendengarkan secara aktif sangat berguna untuk memupuk relasi dan rasa bahwa kita menghargai pribadi yang menjadi lawan bicara kita.

Dean Rusk [1909-1994], adalah menteri luar negeri Amerika Serikat dalam pemerintahan presiden Lyndon Johnson. Dean Rusk dikenal sebagai orang yang piawai dalam berkomunikasi secara lisan dan dia dinilai memahami kuat-kuasa dari “mendengarkan”. Pengalamannya dalam bernegosiasi dengan para pemimpin politik di seluruh dunia meyakinkan dirinya bahwa “mendengarkan adalah meyakinkan orang-orang dengan telinga-telingamu” (lihat A. Schriberg et al., PRACTICING LEADERSHIP – PRINCIPLES AND APPLICATIONS, New York, N.Y.: John Wiley & Sons, Inc., 1997, hal. 79).

Beberapa pedoman

Walaupun sulit untuk menjadi seorang pendengar yang baik, hal tersebut bersifat hakiki untuk memperoleh pemahaman atas pesan-pesan yang dikomunikasikan kepada kita oleh pihak lawan bicara kita.

Untunglah “effective listening” atau “active listening” merupakan keterampilan yang dapat dipelajari. Berikut ini adalah “panduan-panduan” atau katakanlah “pedoman-pedoman” yang dapat anda gunakan :

1. Berhentilah berbicara! Anda tidak dapat mendengarkan apabila anda sedang berbicara. Apakah anda sedang mendengarkan atau berpikir tentang apa yang anda akan katakan nanti?

Polonius (Hamlet): “Give every man thine ear, but few thy voice.”

2. Dengarkanlah ide-ide utama yang disampaikan oleh lawan bicara anda.

3. Berikanlah kepada sang pembicara perhatian anda yang tidak terbagi-bagi, dan buatlah catatan yang diperlukan. Anda harus kelihatan dan bertindak sebagai seorang yang menaruh minat. Jangan membaca surat dll. selagi orang lain berbicara kepada anda. Dengarkanlah untuk mengerti, bukan untuk menentang. Hindarilah segala macam pelanturan (distractions) dan/atau lawanlah godaan untuk terwujudnya pelanturan.

4. Ciptakanlah suatu suasana untuk mendengarkan secara positif. Tunjukkanlah kepada lawan bicara anda bahwa anda mau mendengarkan. Buatlah dia agar tidak tegang (Put the talker at ease). Bantulah dia juga agar merasa bebas  untuk berbicara. Seringkali hal ini disebut “being open” atau “permissive environment”. Anda harus bersifat rileks dan membuat lawan bicara anda juga bersikap demikian.

5. Dengarkanlah segala hal yang dikomunikasikan; fakta, perasaan-perasaan,  emosi-emosi dan kesan-kesan. Jika mau bereaksi, maka anda harus bereaksi terhadap pesan yang disampaikan oleh pihak lawan bicara, bukan terhadap pribadinya. Mintalah umpan balik (feed back) untuk mengecek pemahaman anda.

6. Singkirkanlah kebingungan atau pelanturan. Jangan mencoret-coret kertas, mengetuk- ngetuk dengan pensil atau mencampur adukkan kertas selagi orang berbicara kepada  anda. Apakah anda akan lebih mempunyai keheningan yang diperlukan apabila anda menutup pintu ruangan?

7. Perhatikanlah pandangan lawan bicara anda. Cobalah untuk menempatkan diri anda pada  posisi  orang lain itu (empati) sehingga  anda dapat melihat hal-hal dari sudut pandangannya.

8. Janganlah tindakan-tindakan fisik anda membuat sang pembicara menjadi jera. Memandang jauh lewat jendela, memalingkan muka, atau memperlihatkan “tampang nggak setuju” anda tentunya akan menyebabkan dia merubah pembicaraannya atau mengakhirinya dengan tiba-tiba.

9. Sabarlah. Sediakanlah waktu yang cukup. Jangan interupsi. Jangan mendekati pintu atau  pergi, seandainya pertemuan dilakukan dalam ruang kantor.

10. Jagalah perangai anda. Seorang yang sedang marah akan salah dalam menangkap arti  kata-kata. Jagalah diri anda agar anda tidak cepat-cepat memberi penilaian.

11. Lemah lembutlah terhadap argumen dan kritik. Jangan membuat orang lain menjadi defensif dan menjadi marah. Jangan berargumentasi karena sekalipun anda menang, anda tetap kalah.

12. Bertanyalah kepada lawan bicara anda. Hal ini mendorong dia dan menunjukkan kepadanya bahwa anda sedang mendengarkan. Dengan demikian sang pembicara akan mampu mengembangkan posisinya lebih lanjut.

13. Seandainya terdapat kesalahpahaman, paksalah diri anda untuk menempati posisinya (berbela rasa dan berempati). Dengarkanlah dia secara obyektif. Nyatakanlah kembali dan pertahankanlah posisi yang anda tidak setujui tadi. Ini tidaklah berarti bahwa anda mengubah pikiran anda, tetapi dengan cara begini anda akan menjelaskan kesalahpahaman. Juga anda akan mempertimbangkan informasi yang barangkali sebelumnya anda telah hindari dalam mempertahankan posisi anda sendiri.

14. Berhentilah berbicara! Inilah yang pertama dan terakhir karena pedoman-pedoman lainnya tergantung pada pedoman utama yang satu ini. Anda tidak dapat “mendengarkan secara efektif’ kalau anda masih berbicara”.

Untuk perbandingan penyajian pedoman-pedoman ini, lihatlah A. Schriberg et al., 1997, hal. 80) dan Keith Davis & John W. Newstrom, 1989, hal. 88).

Karena keterbatasan dalam ruang, saya akan membahas tentang beberapa faktor dalam organisasi yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan komunikasi (communication breakdown), dalam kesempatan lain.

Catatan Penutup

Dari tulisan di atas kita semua dapat melihat bahwa keterampilan komunikasi antar-pribadi (inter-personal communication) – terutama keterampilan untuk mendengarkan dengan efektif/aktif – sangatlah penting untuk dikuasai oleh para manajer, teristimewa oleh para pemimpin, baik di bidang bisnis maupun di bidang-bidang lainnya, seperti bidang pemerintahan, kepartaian dlsb.

Di dalam bidang politik, dalam beberapa pekan mendatang ini banyak contoh yang dapat kita lihat serta evaluasi dari dua pasang “capres-cawapres” yang sedang bersaing satu sama lain untuk merebut puncak kekuasaan dalam pemerintahan negara R.I. tercinta ini. Mereka masih melakukan “blusukan” dan visi-misi masing-masing pun sudah disampaikan kepada KPU.

Melihat visi-misi masing-masing dan proses “blusukan” dan/atau pertemuan-pertemuan mereka masing-masing dengan orang banyak – baik para pendukung mereka atau pun bukan – apakah penilaian anda atas diri masing-masing calon itu sebagai “seorang pendengar yang baik”? Angka terbaik 10 dan angka terburuk adalah 0. Ini sekadar exercise untuk mempertajam daya analisis anda dalam hal kepemimpinan.

Seperti biasa, saya mengingatkan bahwa tulisan ini dimaksudkan bagi orang-orang muda Indonesia yang beraspirasi menjadi pemimpin di masa depan.

Jakarta, 26 Mei 2014 

 

F.X. Indrapradja

http://developingsuperleaders.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun