Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nyepi di Bali sebagai Masyarakat Minoritas, Pengalaman Luar Biasa

9 Maret 2021   10:44 Diperbarui: 10 Maret 2021   19:52 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Visual Ogoh-Ogoh. Sumber Tirto.id

Minggu, 14 Maret 2021 masyarakat Hindu Bali akan merayakan Nyepi Tahun Caka 1943 (sistem penanggalan Bali). Saya memiliki pengalaman sendiri merayakan Nyepi di Pulau Bali sebagai masyarakat minoritas. 

Sebenarnya Ibu saya memiliki garis keturunan Hindu bahkan berasal dari keluarga salah satu arya di Bali. Mengingat ayah saya berasal dari Jawa dan beragama Katholik serta menerapkan sistem Patrilineal yaitu mengatur silsilah dari pihak ayah maka saya memiliki darah campuran Jawa-Bali dan menganut agama Katholik seperti ayah.

Tinggal di Bali sejak kelas 4 SD hingga lulus SMA tentu memberikan kesan sendiri bagaimana saya merayakan momen Nyepi di Bali. Ada sedikit kisah yang ingin saya bagikan kepada pembaca Kompasiana.

Prosesi perayaan Nyepi sebenarnya dipersiapkan beberapa hari sebelumnya. 2 Hari sebelum Nyepi, umat Hindu di Bali akan melakukan Melasti yaitu pengarakan sarana persembahyangan ke pantai atau danau sebagai bentuk penyucian. Sehari sebelum Nyepi, masyarakat Bali melakukan upacara Bhuta Yadnya. 

Di sini upacara Bhuta Yadnya bertujuan untuk menciptakan ketentraman hidup dengan mengusir atau menetralkan kekuatan/hal negatif. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam Bhuta Yadnya adalah melakukan Mecaru. 

Mecaru bertujuan untuk menciptakan keharmonisan Bhuwana Agung (Alam Semesta) dengan Bhuwana Alit (Manusia dan sekitarnya) dengan menghanturkan berbagai sesajen (caru) sesuai dengan ketentuannya.

Selesai melakukan Mecaru, akan dilanjutkan dengan Pengerupukan. Saya ada pengalaman menarik dengan kegiatan Pengerupukan. Mengingat saat kecil tinggal bersama dengan Nenek dari Ibu yang beragama Hindu. 

Saat sore hari (H-1 Nyepi), saya sudah standby membantu nenek melakukan proses Pengerupukan. Tugas saya sederhana yaitu membawa kentongan dan membunyikannya secara keras dengan mengelilingi pekarangan rumah dan merajan (pura keluarga). 

Saat kecil tugas ini sangat menyenangkan karena mengelilingi rumah dengan membawa kentongan seakan suasana menjadi riuh. Saya sempat bertanya pada nenek mengapa melakukan proses Pengerupukan, nenek mengatakan ini bertujuan untuk mengusir roh jahat (Bhuta Kala) yang ada di sekitar rumah.

Pengerupukan selesai maka segeralah dimulai acara akbar sebelum penyepian yaitu pengarakan Ogoh-Ogoh. Bagi yang belum tahu, ogoh-ogoh merupakan patung yang sengaja dibuat sebagai representasi dari perwujudan Bhuta Kala yang memiliki sifat bengis dan jahat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun