Bayangkan saja harga tiket Bali Zoo sebelum Pandemi sekitar Rp. 140 ribu/dewasa dan 100ribu/anak-anak saat weekend saat itu di diskon menjadi Rp. 95ribu/dewasa dan 75ribu/anak-anak.
Adanya diskon ini tentu sangat menarik bagi pengunjung yang datang dalam jumlah besar. Bisa menghemat hingga 32 persen. Umumnya pada situasi normal dan saat weekend, pengunjung ramai berdatangan. Jangan kaget jika akan kesulitan untuk mendapat area parkir serta mengantri cukup lama karena ramai dikunjungi wisatawan.Â
Saat itu situasi masih senggang, saya hanya butuh mengantri 3 menit saja mulai dari antri cuci tangan, cek suhu hingga pembelian tiket.
Saya sempat mengobrol dengan petugas tentang jumlah kunjungan ternyata masih tergolong sepi tidak sampai seribu pengunjung padahal biasanya jumlah yang datang berkali lipat pada hari libur.
Tidak hanya itu selepas mengunjungi Bali Zoo, saya mencoba berkeliling Ubud hingga petang. Situasi masih sepi bahkan mayoritas galeri dan toko tutup. Bule asing pun hanya hitungan jari yang saya temui. Itu pun saya yakin mereka memang sudah menetap lama di Bali, bukan wisatawan asing yang sedang liburan.
Sekitar akhir 2019, saya sempat mengunjungi Ubud. Saya masih ingat susahnya mencari area parkir meski hanya sekedar ingin berhenti di samping jalan karena Ubud terkenal macet saat weekend.Â
Bule berlalu lalang di jalan hingga mereka makan dan minum bir di beberapa tempat hiburan di Ubud. Kini jam 8 malam nyaris semua tempat hiburan dan minimarket tutup.
Saya yang sejak kecil tinggal di Bali seakan flashback akan situasi Bom Bali yang sempat membuat pariwisata goncang. Entah kenapa saya menilai Pandemi ini justru berdampak lebih hebat dibanding Bom Bali 1 dan 2.Â
Saat Bom Bali, masih ada wisatawan lokal dan asing yang berkeliaran meskipun jumlahnya menurun tajam. Setidaknya usaha retail masih bisa beroperasional.Â
Saat itu jam 8 malam Ubud layaknya sebuah desa di daerah pinggiran karena nyaris tidak ada aktivitas layaknya destinasi wisata.