Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Pudarnya] Makna Janji dan Malu dalam Utang Piutang dan Munculnya Budaya "Ngeles"

4 Juli 2020   10:37 Diperbarui: 4 Juli 2020   13:48 7317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Susahnya Menagih Piutang. Sumber IDN Times

Saya pernah mengalami beberapa kasus yang kurang mengenakkan terkait hutang-piutang. Kasus pertama, ada junior di tempat kerja yang meminjam uang kepada saya nominal jutaan rupiah. Saat itu saya masih meniti karir dan baru mencoba menabung sehingga uang yang dipinjam tergolong cukup besar. Seingat saya dulu dia meminjam untuk biaya berobat orang tua. Saya pasti langsung tidak tega apabila orang menceritakan kesusahan terkait kesulitan membayar kesehatan dan pendidikan karena saya dulu pernah berada di posisi tersebut.

Janji yang terlontar akan dikembalikan awal bulan (saat gajian) bahkan ditawarkan Iphone-nya sebagai jaminan. Saya masih berpikir positif untuk meminjamkan tanpa perlu ada jaminan hanya memegang rasa kepercayaan karena dia adalah junior di kantor (meski saat itu saya sudah pindah lokasi kerja) dan dia pasti butuh Iphone-nya untuk berkomunikasi.

3 bulan saya tunggu tapi ternyata belum ada pembayaran. Hingga akhirnya saya beranikan chat dan akhirnya dibayarlah setengah dan dijanjikan pelunasan awal bulan. Saat awal bulan ke-4, tiba-tiba Whatsapp saya diblokir dan dihubungi tidak diangkat. Rasa jengkel muncul karena saya berasa seperti pengemis yang meminta belas kasihan agar uang saya dikembalikan. Ternyata saya baru tahu jika junior saya juga meminjam uang ke beberapa orang dan juga belum dikembalikan. Sejak saat itu saya mengganggap dia bukan lagi teman saya karena kepercayaan saya sudah hilang karena dia.

Kasus saya ini mungkin juga banyak dialami oleh orang lain. Bahkan saya pernah membaca kasus kakak-adik harus berurusan dengan hukum karena masalah hutang-piutang, penyiksaan karena tidak bisa membayar hutang atau seseorang tega membunuh temannya karena kesal ditagih hutangnya (contoh kasus klik disini). 

Saya menilai bahwa pentingnya menjaga istilah "Janji" dan "Malu" bagi mereka si penghutang. Mayoritas penghutang saat ingin meminjam uang/barang pasti menunjukan ekspresi sedih atau kebingungan dan mengatakan sebuah janji. Janji sederhana tentang kapan akan dikembalikan uang/barang yang dipinjam tersebut.

Berbagai Alasan untuk Lari dari Kewajiban Bayar Hutang. Sumber Antero.co
Berbagai Alasan untuk Lari dari Kewajiban Bayar Hutang. Sumber Antero.co

Janji memang terkesan mudah terlontar khususnya saat berhutang. "Saya bayar besok ya, bulan depan saya lunasin, saat gajian saya langsung bayar" janji seperti ini lah yang menjadi pegangan bagi pemberi hutang kapan uang/barangnya akan kembali. Kini mungkin sudah banyak orang yang mensiasati hal ini dengan membuat kesepakatan hitam diatas putih atau meminta jaminan untuk menghindari resiko dikemudian hari. Tapi seperti kasus saya yang ingin memberikan pinjaman tanpa ada embel-embel seperti hal tersebut dan berpegang pada rasa kepercayaan hanya dapat berpatokan pada janji yang terucap dari si peminjam.

Jangan salahkan apabila pemberi hutang menagih haknya sesuai dengan janji waktu yang disepakati. Ini tidak jauh berbeda layaknya anak kecil yang menagih janji ayahnya untuk dibelikan sepeda jika berhasil menjadi juara kelas. Atau menagih hadiah kepada panitia lomba karena dirimu memenangkan sesuatu. Ini karena kamu sadar sedang meminta apa yang menjadi hakmu.

Ketika janji hanyalah janji maka sudah pasti akan memunculkan budaya baru yang dikenal istilah "ngeles' atau menghindar. Seperti pada tulisan awal saya akan ada banyak ungkapan untuk menghindari dari tanggung jawab. Alih-alih bahwa hutangnya tidak seberapa dibandingkan harta yang dimiliki si pemberi hutang, mengatasnamakan persaudaraan dan pertemanan hingga penyampaian janji lainnya untuk menunda pembayaran yang telah disepakati di awal piutang.

Kondisi seperti ini seakan memudarkan  rasa malu khususnya bagi si penghutang. Ketika awal berhutang, saya yakin si penghutang sudah menguatkan mental dan menahan rasa malu untuk meminta pinjaman atau bantuan kepada orang lain. Ini karena naluri manusia untuk menjaga harga dirinya di hadapan orang lain. Namun mengingat kondisi mendesak, dirinya berusaha menahan rasa malu untuk meminta bantuan orang lain.

Ironisnya ketika ditagih kemudian muncul reaksi tidak terduga seperti pura-pura lupa, marah, atau menyudutkan pihak pemberi hutang maka saya pun mempertanyakan dikemanakan rasa malunya tersebut. Logikanya harusnya si penghutang merasa malu karena sudah merepotkan atau mengambil rejeki orang lain demi membantu dirinya. Namun justru ketika ada reaksi yang tidak terduga seperti ini menandakan bahwa rasa malu telah pudar pada diri si penghutang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun