Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ayahku, Surat Kepada Buya Sjafii Maarif (Bagian 1)

6 Juni 2021   11:49 Diperbarui: 6 Juni 2021   12:22 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jum'at, 17 Dhulhijjah, 1441 Hijriah

Kepada Buya Ahmad Sjafii Maarif,

di

Alam Permenungan.

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Pada nafas embun hilang dipeluk pelan cahaya pagi ini, saya do'akan Buya sehat dalam deru waktu yang tak pernah membeku. Sejak melepas cahaya terang terakhir di kening ayahanda saya, Boestami Dt Nan Sati pada 26 Desember 2016,  sungguh tak ada lagi semangat bermain ala kanak-kanak dari 40 pasang manusia (bumi) pertama yang lahir dari sungai sorga dalam rahim Siti Hawa. Saya seakan Qabil yang terus menangis bercucuran air mata. Hingga saya ingin air mata itu kering, lalu menjadi buta, seperti mata Qabil akibat penyesalan panjang atas terbunuhnya adik yang paling ia jaga atas titah ibunya, Habil.

Emaklah yang terus berperilaku ajaib, selalu berteriak dan menangis kala ia menelepon saya. Emak yang kata ayah selalu kehilangan satu gigi dan satu tulang, setiap satu anak lahir dari rahimnya. Emak yang selalu bisa tertawa terbahak, dalam keadaan sakit separah apapun, kalau sudah mendengar saya berbicara lewat telepon, semenit sekalipun. Emak yang lebih dulu memudar cahaya terang di matanya, sehingga sulit membaca  Al Qur'an ketika ayah masih bisa berjalan kaki di pematang sawah di malam paling gulita sekalipun.

Tujuh orang jumlah anak ayah dan emak. Dari delapan kerat tulangnya, tinggal satu yang masih utuh, pada batang leher yang menyangga seluruh medan memori yang tersimpan di bagian kepala. Dan saya sudah pasti datang dengan segala sikap kanak-kanak, sembari meniru sikap ayah. Sisir bagus saya beli di Jakarta, termasuk cermin, lalu usai memandikan saya minta emak menyisir rambutnya sambil menyodorkan cermin. Emak semula diam, tapi segera tergelak karena tahu itu cara ayah usai emak mandi. Rambut emak sangat panjang, hitam, dibaluri minyak dari air kelapa muda berwarna gading yang dibuat sendiri. Saya tentu kebagian tugas pulang sekolah, memarut (mengukur) kelapa dengan cara seperti duduk di atas seekor angsa. Bertahun saya lakukan itu, termasuk lebih dulu ketika tinggal bersama nenek (Uwo) dari kelas 1 sampai kelas 3 Sekolah Dasar, kala ayah dan emak sudah berpindah tempat tinggal sebagai tanda kehadiran dan "penguasaan" teritorial pegawai negeri sipil.  

Terhindar dari emak, sedetik saja, atau pada saat duduk di depan laptop, saya seolah kembali memutuskan bersembunyi di batas gelap. Terisak, sendiri, sampai istri saya tahu, lalu "mengirim" satu dari dua putra kami, entah bertanya sesuatu, atau meminta sesuatu yang ia sudah tahu atau bisa kerjakan sendiri. Lalu semua berubah menjadi doa-doa, seperti Siti Hawa bersenandung "Salsabil" setiap pagi, bekerja riang menyiapkan kebutuhan pagi suami dan anak-anaknya yang beberapa jeda bakal bangkit serentak rebutan tempat mandi, handuk kering ayah yang dipinjam pertama, hingga kerak paling luar kering lebih hitam dari telor mata sapi harum bawang yang disiapkan untuk sarapan ayah. Sekolah dan buru-buru, selalu jadi alasan terbaik untuk tidak membuat ayah marah ketika tahu yang tersisa ceceran kuning telor, seperti mesjid yang saya lihat di pantai Ulheeleu, selebihnya disapu tsunami. Mulut lapar anak-anaknya yang membuat seluruh yang berbau atau bernama makanan, bakal tinggal ampas setiap saat.

"...Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, di dalamnya mereka duduk bertelakan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersengatan.

Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun