Yusuf Ronodipuro. Peletak dasar dari Radio Republik Indonesia. Di ruang tamu rumahnya, Jalan Sungai Gerong, terdapat sebuah foto menarik. Presiden Soeharto sedang membungkuk, tanda tangan. Di belakang Soeharto, Direktur Eksekutif International Monetary Fund Michael Camdessus berpangku tangan. 15 Januari 1998. Naskah Letter of Intent sedang ditanda-tangani Soeharto. Indonesia bertekuk lutut.
Dalam rangka penyusunan proyek Pustaka Tokoh Bangsa Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi pimpinan Garin Nugroho, saya hadir mewawancarai sosok gaek nan perkasa itu. Waktu itu, saya dipercaya sebagai Program Manager Yayasan SET. Tentu, kru Yayasan SET membawa seperangkat kamera.
Saya bertanya, kenapa foto itu berada di ruangan tamu. Padahal, Pak Yusuf memiliki ribuan koleksi foto bernilai sejarah tinggi. Dari sejak zaman penjajahan, Konferensi Asia Afrika, hingga pelbagai peristiwa internasional lain. Termasuk, foto-foto ibu negara, Ibu Fatmawati, dalam wajah anggun.
"Tiap pagi, saya bangun dan marah-marah terhadap foto ini. Bangsa Indonesia sudah tidak lagi menjadi negara proklamasi," begitu kira-kira penjelasan Pak Yusuf dalam wajah garang. Beragam makna kemerdekaan keluar dari mulutnya, bak mitraliur yang meluncur dari meriam-meriam bangsa-bangsa moderen yang menjajah Indonesia yang menggempur basis-basis gerilyawan.
Sayang, proyek Pustaka Tokoh Bangsa tak berlanjut. Hanya sempat membuat film semi dokumenter tentang Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir. Padahal, dalam daftar saya, banyak nama yang bisa masuk. JA Dimara, salah satu tokoh asal Papua yang patungnya berada di Lapangan Banteng, termasuk dalam daftar. Pun Daud Beureu-eh, sosok Wali Nanggroe Aceh yang turun gunung atas ketekunan dan kesalehan Kolonel Infanteri Mohammad Jassin.
***
Lalu, apa hubungan foto boss IMF dan Presiden Soeharto itu dengan pemberantasan korupsi?
Dokumen-dokumen yang mudah diakses antara pemerintah Indonesia dengan IMF bercerita banyak. Saya langsung melompat saja. 10 Desember 2003. Sepucuk surat melayang kepada Mr Horst Kohler, Managing Director IMF yang berkedudukan di Washinton DC 20431.
Butir kesepuluh berbunyi:
"We are also making progress to improve public sector governance, an important element of our structural reform agenda. The selection of commissioners of the Anti-Corruption Commission (ACC) is underway, and resources have been allocated in the budget for its operations. The appointment of the commissioners is expected to be completed by the end of December. These steps will enable the ACC to commence operations in early 2004. We remain committed to working with Parliament to ensure the expedited passage of amendments to the Bankruptcy and Foundations Laws, and the Judicial Commission Bill."
Surat itu ditanda-tangani oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Dorodjatun Kuntjorojakti, Menteri Keuangan Boediono, dan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Ketika di kampus, saya termasuk segerombolan mahasiswa yang berdiskusi dengan Pak Djatun, ketika balik dari luar negeri. Ketika kami memberi-kabar bahwa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sama sekali tidak belajar teori-teori Marxisme, Pak Djatun kaget.
"Bagaimana bisa? Tanpa teori-teori Marxisme, tidak mungkin bisa belajar ideologi-ideologi besar di balik postulat-postulat ekonomi!" Kata Pak Djatun. Ketika menjadi Dekan FEUI, mata pelajaran berisi teori-teori Marxisme itu sudah muncul dalam silabus.
Pun, ketika Burhanuddin Abdullah terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia, saya berada satu meja dalam "ruang isolasi" fit and proper test yang dilakukan Komisi IX DPR RI. Kebetulan, saya dekat dengan pimpinan komisi lintas partai politik. Saya masih ingat, sahabat saya Hardy Hermawan marah besar. Soalnya, ketika majalah Trust yang dia kelola terbit dengan wajah Burhanuddin Abdullah pada hari Senin, sama sekali tanpa ada wawancara dengan beliau.
"Hardi, gue bersama Pak Burhanuddin di X sejak hari Sabtu!" kata saya via telepon.
"Indraaaaa! Gila lu! Kenapa lu tidak kasih tahu gue!" begitu kata Hardy, kawan sejak menjadi penyiar radio Jakarta News FM di Pondok Indah. Plus, menjadi bodyguard Sang Ratu Satu Merah Panggung Ratna Sarumpaet bersama almrthum Ahmad Taufik, Ali Sutra, Adnan Belfast, Wiratmadinata dan sejumlah aktivis Jakarta lain. Sebanyak 13 orang mengundurkan diri alias dipecat oleh owner Jakarta News FM, ketika kami siang malam mengkritisi Gubernur Sutiyoso. Termasuk soal banjir besar Jakarta, pemagaran Monumen Nasional, sampai pembelian gorilla seharga Rp. 3 Milyar.
Yang saya tidak kenal secara pribadi hanya Pak Boediono. Kedekatan dengan tokoh-tokoh itu tentu memudahkan saya mendapatkan data atau dokumen-dokumen paling mutakhir. Salah satu yang paling rajin mengirimkan updated adalah Mahendra Siregar yang bekerja di kementerian Keuangan. Posisi saya sebagai analis politik dan perubahan sosial tentu tak bersentuhan dengan bidang ekonomi makro dan mikro. Namun, mata, telinga, dan pikiran saya tentu sangat terbuka terhadap isu-isu ekonomi.
Dalam masa kepresidenan KH Abdurrahman Wahid, saya menjadi Tim Asisten dari Tim Asisten Eknomi Presiden Abdurrahman Wahid bersama Rahmat Yananda, Dendi Ramdani, dan Adam Wirahadi. Sosok-sosok yang kami asistensi adalah Faisal H Basri, Arif Arryman (almarhum), M Nawir Messi dan lain-lain. Mochammad Ichsan, Iman Sugema, dan Muhammad Chatib Basri termasuk "junior" dari mereka.
Apalagi, Centre for Strategic and International Studies tempat saya bekerja memiliki tiga departemen waktu itu. Selain politik dan perubahan sosial, terdapat juga departemen hubungan internasional dan departemen ekonomi. Pande Radja Silalahi, Tubagus Ferrydanu Setyawan, hingga Hadi Soesatro adalah sosok-sosok yang hampir tiap pagi saya temui di ruangan baca koran yang kebetulan dekat kamar kerja saya. Tentu, sesekali saya bertemu dengan Daoed Joesoef, Djisman Simanjuntak, dan Mari'e Pangestu. Korektor paling gigih atas kolom-kolom saya adalah Pak Daoed Joesoef, sementara untuk laporan bulanan saya adalah Pak Hadi Soesatro.
Lalu, apa yang mau saya ceritakan sebetulnya?
Namun, kesadaran arsiparis saya tak bakal mudah hilang. Di balik persoalan korupsi, terdapat persoalan ekonomi makro. Begitulah...
Jakarta, 22 Â Mei 2021
Indra J Piliang, Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara