Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Reevaluasi Reformasi: Artikel Indra J Piliang di Harian Kompas 2002

13 Desember 2020   05:25 Diperbarui: 13 Desember 2020   06:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Faldo Maldini, striker politik masa depan andalan Universitas Indonesia dan Minangkabau. #Dokpri

Kompas, 26 Februari 2002

Kontraversi Revisi UU No. 22/1999

Revisi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah diwarnai penolakan sebagian besar kepala daerah tingkat II, Partai Golkar, juga team Ryaas Rasyid yang dulu membuatnya. Sementara, pemerintah lewat Departemen Dalam Negeri terus melakukan sosialisasi. Sayangnya, kontraversi merebak sebagian besar seputar kewenangan presiden membubarkan DPRD. Substansi kontraversi ini sendiri sangatlah sumir, karena semua tahu negara demokrasi baru ala Indonesia akan dihadapkan lagi dengan otoritarianisme. Depdagri tentu tak pernah belajar dari pembubaran Dewan Konstituante oleh Soekarno lewat Dekrit 5 Juli 1959, juga pengebirian partai-partai politik oleh Soeharto. Kontrol politik, bahkan pembubaran partai-partai politik, hanya menguntungkan rezim militer, seperti terlihat di Pakistan pasca kudeta Perfez Musharaf atau perlakuan terhadap Partai Refah di Turki.

Hanya saja, fokus kontraversi ini melulu pada masalah politik. Politik seakan menenggelamkan bangsa ini kearah perdebatan tanpa akhir, unlogic, bahkan kontra produktif. Padahal, dari berbagai evaluasi awal UU No. 22/1999 memang mengandung sejumlah masalah, sejak diberlakukan secara politik seiring dengan penandatanganannya oleh Habibie tanggal 7 Mei 1999, dan secara ekonomi tanggal 1 Januari 2001. Konflik pasca otonomi sudah banyak disinggung, termasuk konflik antara BUMN versus Pemda, potensi konflik etnis, juga semakin buruknya social responsiveness oleh Pemda atas sarana dan prasarana perekonomian yang dulunya dikendalikan oleh pusat. Jalan nasional dan jalan propinsi, misalnya, kini semakin banyak lubangnya, karena dulu ditangani oleh Departemen Pekerjaan Umum.

Padahal revisi penting dilakukan. Syaratnya: (1) team revisi yang dibentuk Depdagri wajib melakukan sosialisasi ke berbagai kalangan, terutama di daerah, dan bukan semata-mata kepada Pemerintahan Daerah; (2) jangan sampai kontraversi hanya menjadi monopoli tokoh-tokoh nasional yang bermarkas di Jakarta, karena bagaimanapun sulit untuk tak melihat adanya beragam kepentingan ekonomi-politik dibaliknya; (3) hendaknya partai-partai politik tidak menjadikan persoalan otonomi daerah sebagai peluang baru untuk mendapatkan dukungan massa di daerah, melainkan otonomi daerah dijadikan sebagai usaha membayar banyak kesalahan pemerintahan sebelumnya yang, tentu saja, didukung oleh Partai Golkar sejak Pemilu 1971 (27 Tahun); (4) memfokuskan diri kepada persoalan ekonomi, sosial dan budaya demi kepentingan masyarakat lokal, dan bukan semata-mata demi kepentingan politik elite lokal, apalagi elite nasional, baik sipil atau militer.

Penolakan Partai Golkar untuk merevisi UU ini tentu merupakan bentuk baru dari konservatisisme Golkar untuk mempertahankan UU yang dilahirkan oleh DPR hasil Pemilu 1997 yang 74%-nya dikuasai Golkar. Sebagian besar kepala daerah memang berasal dari Partai Golkar, bahkan daerah yang dimenangkan oleh PDI Perjuangan,  mengingat lemahnya sumber daya manusia partai-partai politik baru. UU ini memang UU paling progresif yang dibuat oleh DPR era Orde Baru, tetapi patut juga diingat bahwa tekanan berbagai komponen diluar DPR, seperti gerakan mahasiswa dan pressure groups lainnya, menempatkan persoalan otonomi daerah ini sebagai starting point untuk menuju negara kesejahteraan dan berkeadilan sosial.

Dari berbagai kasus "pembangkangan" daerah kepada pusat selama era Otonomi Daerah, dapat dilihat betapa kadar persoalan nasional dan politik kebangsaan menjadi sedikit terabaikan. Di sisi lain, demokrasi lokal juga belum terbangun, karena keuntungan politik pelaksanaan otonomi daerah lebih banyak diraih elite lokal. Sudah banyak dituliskan tentang keberadaan raja-raja kecil di daerah, bahkan kekurang-pedulian terhadap nasib rakyat di daerah. Walikota Payakumbuh, Sumbar, misalnya lebih memilih membeli Cherokee, ketimbang mengalokasikan anggaran untuk warganya yang miskin.

Secara umum, terdapat tiga langkah yang perlu dilakukan:

Pertama, revisi UU No. 22/1999 lebih kepada penguatannya, ketimbang memperlemah wacana dan praksis otonomi daerah yang sudah berjalan. Upaya memperkuat ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi lebih kepada perumusan dasar pemikiran yang bersifat komprehensif tentang otonomi daerah. Landasan filosofis otonomi daerah mesti lebih dikedepankan, bukan hanya naskah akademik semata. Perumusan itu harus dengan eksplisit menyebutkan tentang keberadaan suku-suku bangsa, alam-lingkungan, juga manusia yang berkewarganegaraan lain, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses berbangsa.

Menggunakan sebutan sebagai putra daerah, etnis asli, adalah bertentangan dengan logika, juga ilmu pengetahuan. Migrasi sosial, percampuran kebudayaan, juga saling-silang suku, sudah merupakan sunatullah, sejak anak-anak Adam-Hawa dilahirkan, lalu menyebar ke berbagai belahan benua. Hukum dasar kemanusiaan ini harus menjadi bagian integral dari konsep otonomi daerah. Seperti diakui sendiri oleh Andi Alfian Mallarangeng, dalam sebuah konferensi di Singapura -- seperti diceritakan seorang jurnalis kepada penulis -- UU No. 22 kurang mengantisipasi keragaman budaya bangsa Indonesia,  kesenjangan antar wilayah, benih-benih patronase politik lokal, faktor birokrasi yang lemah dan miskin inisiatif, serta mudahnya otonomi di-hijack oleh kepentingan ekonomi-politik elite.

Kedua, dalam era otonomi daerah perlu terus dirumuskan paham kebangsaan baru yang lebih terdesentralisasi, pluralistik, dan demokratis. Kebangsaan bukanlah paham yang bersifat eksklusif, tertutup, melainkan terbuk dan inklusif. Nasionalisme Indonesia tak akan ada, apabila beragam suku tak saling berinteraksi dalam menghadapi kolonialisme. Nasionalisme lahir dari penderitaan kolektif, bukan personal. Reformasi politik pasca Soeharto juga lahir dari penderitaan kolektif, baik akibat kesalahan manusia atau reaksi alam, dan bukan penindasan etnis oleh etnis. Kalaupun ada yang harus disalahkan, maka partai politik yang berkuasa di masa Orde Baru pantas menerimanya, apalagi yang orang-orangnya seakan merasa tak berdosa.

Ketiga, upaya revisi juga perlu disertai dengan mempercepat proses sedimentasi konsepsi kemanusiaan universal, atau lebih tepatnya lagi konsepsi humanisme-teistik. Unsur kesamaan sebagai mahkluk Tuhan bisa menjadi pegangan awal untuk meredam imaji-imaji negatif yang menegasikan perbedaan ideologi. Paham kemanusiaan universal lebih tinggi tempatnya daripada sentimen tribal yang menggunakan mitos-mitos masa lalu untuk masuk ke goa-goa pikiran yang tak berdasar. Dalam Islam, misalnya, juga dikenal paham Humanisme Islam, seperti dipelopori oleh karya Marcel A. Boisard.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun