Kelana tersihir. Ia buka semua pintu, sampai seribu. Ia tak temukan kudanya. Ia hanya melihat putri itu ada pada setiap pintu. Satu putri, seribu jumlahnya. Putri yang menanti. Putri yang menunggu. Bukan, ia bukan Putri yang memburu.
"Putri, tak kulihat kudaku."
Kelana tafakur. Untuk pertama kalinya ia merasa putus asa. Ia ingin membalikkan dunia, juga rumah itu. Tanpa sengaja, ia raba gagang pedang di pinggang dengan gigi gemeretuk.
"Sabarlah. Kau menatap terlalu jauh. Kau mencari di tempat yang salah. Tataplah aku. Percayalah. Hanya dengan nurani kamu bisa melihat kudamu.."
Kelana terkesima. Ia pejamkan matanya. Ia tuntun segala gerak dengan nafas jiwa. Pelan, dengan mata tanpa mata, ia dengar nyanyian rajawali. Ia dengarkan ringkik kuda. Juga, gelak tawa anak-anak. Ia berjalan, dengan mata terpejam, menuju suara-suara itu.
"Kesinilah, masuklah. Kami menunggumu. Sudah lama. Bertahun-tahun yang lalu.."
Ia buka matanya, ketika suara Putri terdengar lagi. Seekor kuda putih datang mengibaskan ekornya. Rajawali bertengger pada tangan seorang gadis kecil. Seorang putra duduk di atas kuda tanpa pelana itu.
"Ayah, kesini. Kami rindu. Mengapa ayah sering pergi?"
Sang gadis kecil, menyapa. Bersama anak kura-kura.
Di belakang rumah seribu pintu itu, terhampar padang rumput sabana, beserta bunga-bunga mawar merah. Putri duduk disana, pada sebuah ayunan, ditemani kitab-kitab perjalanan.
"Mereka anak-anakmu, Kelana. Kudamu yang menemukan, sebagaimana dulu ia menemukan rajawali. Sejak itu, ia tidak pernah mau beranjak, berhenti berpergian lagi denganmu. Putri itu, istrimu.."
"Bundaaaaaaa...!"
Kelana terpekik. Bundanya ada disana, bersama tongkat pemberiannya.
"Selamat datang, Kelana.."
"Putri, siapa namamu?"
"Ariadne. Kamu?"
"Thesus.."
Mendung tak lagi ada. Halimun sudah lama pergi.
***