Sang kelana tertegun. Rajawali hinggap di bahunya. Ia tak siap untuk duduk dan berdiam diri. Langkahnya selalu ditaburi beling dan beliung, hingga ia harus berjalan tergesa untuk menghindari goresan.
"Tuan, masuklah. Ada secangkir teh dan buah kiwi. Tuan pasti letih."
Dalam ruang di balik pintu, ia lihat putri itu. Serasa beribu tahun ia pernah mengenalnya. Ia tak tahu pasti, bagaimana bisa putri itu ada, tiba-tiba, tanpa ia sadari.
Alis mata putri itu menatapnya. Anggun. Tidak ada kesan jumawa. Alis itu berbaris rapi di atas matanya, meruncing kearah pinggir. Alis mata yang siap menikam jantung lelaki yang serakah.
Sang kelana tidak tahu harus berkata apa. Di perjalanan, ia memang mengumpulkan banyak kata. Namun, kali ini, kata-kata itu juga beku. Ia sering bertemu ratu dan raja, tetapi tidak tatapan seorang putri. Pikirannya tumpul. Tenggorokannya mati.
Ia nyalakan rokoknya, tanpa minta izin. Rokok yang terbuat dari daun enau dan tembakau hutan itu menyiramkan bau asri. Membawa setiap orang yang menciumnya berilusinasi.
"Tuan sedang mencari kuda tuan, bukan?"
Putri itu tahu akan segala. Sang kelana hanya diam. Ia merasa tercekik. Ia seperti diawasi.
Tapi, ia juga tak bisa berdusta, sejak pertama. Suara yang keluar dari bibir ranum itu membuatnya percaya.
Lelaki itu bersuara setengah berbisik. Dikeluarkannya segala sedak di kerongkongan. Dihamparkannya semua kisah tentang dirinya, serta perjalanannya. Diletakkannya semua kisah itu di atas meja. Ia ingin, putri itu akan membaca kembali kisah-kisah itu, tanpa ia harus menjelaskan berkali-kali. Sebuah kisah, sebagaimana selembar kitab, tidak perlu harus dikawal kedalam pikiran dan hati orang-orang.
"Rajawali itu dulu hanya telur yang menetas tanpa induk. Ia ditemukan oleh kudaku pada liang seekor ular. Kudaku meringkik kencang, hingga ular itu tak berani mendesis. Racunnya tertelan sendiri. Aku membawanya, sampai kini," ujar sang kelana.