Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Setelah Gerpolek, Apa?

21 Agustus 2019   06:12 Diperbarui: 21 Agustus 2019   08:00 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Naga asal Pulau Socrota, Yaman, mampu hidup 300 tahun. Sumber: Wikimedia.

Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, menyebut merdeka 100 persen sebagai tujuan revolusi. Tujuan itu menjadi virus yang menyatukan sebagian besar elemen perlawanan terhadap Belanda. 

Wadah Persatuan Perjuangan yang dibentuk bukan hanya beranggotakan laskar-laskar rakyat, dari ideologi kanan, kiri atau tengah, tetapi juga ikut melibatkan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Secara garis besar, merdeka 100% berarti terbebas dari jeratan kolonialisme. Bentuk jeratan itu adalah kapitalisme, feodalisme dan mistisisme. 

Guna memberikan panduan kepada seluruh elemen bangsa yang bergerak, Tan menulis naskah Sang Gerilya: Politik dan Ekonomi. Naskah itu lebih banyak disingkat menjadi Gerpolek dalam buku-buku yang diterbitkan.

"Sang Gerilya haruslah dengan tenaga-tegap menghadapi musuh, mempergunakan keadaan alam, tempat, tempo (waktu), orang dan senjata.

Sang Gerilya sedang melakukan siasat maju-mundur itu, tak mengenal putus asa, melainkan selalu memegang tekad-keberanian dan kepercayaan atas kemenangan, pantang menyerah, walaupun menghadapi ancaman dari semua penjuru.

Sang Gerilya yang berlaku seperti kakak kepada yang lebih muda, seperti adik kepada yang lebih tua oleh karena kelebihannya serta pengetahuan atau kesanggupan. Tiap-tiap prajuritnya Sang Gerilya diterima perintahnya oleh pasukannya buat dijalankan dengan segala ketaatan dan kecepatan."

Taktik perang gerilya Tan Malaka konon juga dipakai oleh kaum nasionalis Philipina, China, hingga Vietnam. Tan memiliki jaringan pergaulan yang luas. 

Ia hadir dalam Kongres Komunis Internasional (Kominteren) dalam pemilihan Josef Stalin sebagai Sekretaris Jenderal Kominteren pada tahun 1925. Tapi hanya dalam waktu satu tahun, Tan melawan Stalin dalam rencana pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Hindia Belanda.

AH Nasution menggunakan naskah Tan guna merumuskan strategi perang gerilya Tentara Nasional Indonesia. Jika Sun Tzu dikenal sebagai ahli militer Tiongkok Kuno pada tahun 771-476 Sebelum Masehi, Tan adalah ahli militer pada awal abad ke-19.

Dengan gerpolek, paling tidak dua hadangan bisa disingkirkan, yakni kapitalisme dan feodalisme. Namun, terdapat perang jangka panjang yang nyaris abadi, yakni menghadapi mistisisme. 

Mistisisme sudah berakar dalam seluruh elemen kebudayaan. Bukan hanya dalam bentuk penghambaan harta dan benda, mistisisme bersarang dalam ajaran-ajaran agama, filsafat, etnografi, linguistik, bahkan berbentuk kisah-kisah setan, siluman, dan mitos yang berserakan.

Ibarat kangker stadium empat, mistisisme ditanamkan lama lewat jalur ilmu pengetahuan. Makam keramat, ilmu kebal, Malin Kundang, Nyi Loro Kidul, keris, hingga lambang-lambang yang dipakai dalam masing-masing organisasi dan kerajaan. 

Mistisisme yang berwajah rasial adalah hegemoni warna kulit. Putih lebih hebat daripada kuning. Kuning unggul dibanding sawo matang. Derajat sawo matang diatas hitam. 

Keunggulan sains yang dipakai oleh bangsa Indonesia ketika membangun Candi Borobudur dan Prambanan, misalnya, diganti dengan kisah sehari semalam berdasarkan kekuatan supra-natural seseorang. Seluruh pencapaian bangsa Indonesia di bidang perkapalan, irigasi, astronomi hingga geologi, diselimuti dengan cerita-cerita yang diluar kerangka berpikir materialisme, dialektika dan logika yang dikembangkan sebagai metodologi berpikir oleh Tan.

Dalam melawan seluruh upaya pembodohan itu, gerakan politik dan ekonomi tidak lagi cukup. Gerakan budaya adalah cara yang paling bisa digunakan dalam mencabut mistisme hingga ke akar-akarnya. 

Gerakan budaya yang tak terbatas pada kulit-kulit luar, tapi menyentuh kepada filsafat pemikiran yang membentuknya. Gerakan budaya adalah jalan panjang dalam lorong kegelapan nalar yang dibangun lama. Bahkan, gerakan budaya menjadi semacam perlawanan abadi yang dilakukan bergenerasi.

Kalau dilihat anak-anak muda yang mengintari Tan dalam era perang kemerdekaan, terlihat betapa orang-orang politik jauh lebih sedikit. Justru yang dominan adalah para seniman. 

Mereka bukan hanya menjadi penyair-penyair tangguh, pelukis-pelukis hebat, tapi juga penyusun kata-kata yang disebarkan dengan cepat berbentuk pamflet-pamflet perlawanan.

"Merdeka atau Mati" misalnya, ataupun sejumlah bahasa Inggris dalam grammar yang tepat, ditulis oleh anak-anak muda pengikut Tan ini. Begitu juga dengan lagu-lagu perjuangan sebagai penyemangat dari orang-orang berbambu runcing.

Bayah adalah tempat Tan menunjukkan diri sebagai seorang seniman. Bahkan Tan adalah seorang pesepakbola. Tan Malaka sejak kecil gemar bermain sepakbola. Ia pun pernah bergabung dengan klub profesional bernama Vlugheid Wint di Harleem, Belanda selama dua tahun (1914-1916). 

Tentu, sebelum berangkat ke Belanda, Tan adalah seorang guru mengaji. Kemampuannya di bidang ilmu membaca dan menafsirkan Al Qur'an, entah mengapa, sengaja disembunyikan. 

Namun, ketika Pan Islamisme diperlakukan mirip dengan kapitalisme oleh Stalin: Tan bereaksi. Bagi Tan, Islamisme kompatibel dengan nasionalisme. Pan Islamisme sama sekali berbeda dengan revivalisme kekhalifahan Turki Utsmani, misalnya.

Gerakan budaya inilah yang penting dewasa ini, ketika bahasa "pembangunan infrastruktur" terus mengalami repetisi. Gejolak yang terjadi di Papua terasa bertolak belakang dengan kemajuan pembangunan jalan dan jembatan yang dilakukan dalam lima tahun terakhir. 

Konsentrasi massa tanggal 21-22 Mei 2019 di depan Kantor Bawaslu menunjukkan pilihan politik dan ekonomi sama sekali berbeda dengan lanskap pemikiran berlatar budaya para demonstran. 

Pergerakan kaum menengah perkotaan yang seakan emoh dengan aksara-aksara berbau ekonomi, makin memperlihatkan bahwa gerakan budaya sedang berbaris menuju garis depan.

Tentu, saya tidak berbicara tentang revolusi kebudayaan sebagaimana pernah terjadi di China. Saya juga tak hendak mewajibkan para sarjana atau kaum terpelajar mengganti laptop mereka dengan sekop dan cangkul. Saya juga tak hendak membandingkan dengan Restorasi Meiji di Jepang. 

Restorasi Meiji secara mendasar memundurkan kaum bangsawan, daimyo (tuan tanah feodal), dan samurai (militer) ke belakang, digantikan kaum pedagang, petani dan nelayan. 

Gerakan budaya yang mau dijalankan di Indonesia, silakan menjadi bagian dari agenda masing-masing komponen kebudayaan.

Ketika bersua dengan sahabat sejak masa kuliah yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kami mendiskusikan pelbagai persoalan terkait kesenian dan kebudayaan.

Anies mengatakan betapa perbenturan atau perbedaan pendapat yang memunculkan pro-kontra terhadap kebijakannya, seringkali terjadi pada tahap imaginasi. Imaginasi kontra imajinasi. Padahal, objek yang dibicarakan sama sekali belum berbentuk.

Bagi saya sebagai aktivis teater kampus, imajinasi adalah kekuatan. Tidak ada yang lebih kuat dari imajinasi. Para penyair mengurai kata dan kalimat, dengan imajinasi. 

Aktor-aktor teater ketika membawakan naskah teater dalam pentas kecil, sedang hingga besar, sudah pasti menggunakan imajinasi atas “maksud” dari penulis naskah. 

Penerjemahan karya bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, sudah pasti menggunakan imajinasi dari begitu banyak pilihan arti yang tersedia.

Dalam era 1990an, pernah muncul apa yang dikenal sebagai teater mini kata. Bahkan, lebih jauh lagi, teater mini makna. Kawan saya, Ramdhansyah, mantan Ketua Bawaslu DKI Jakarta, pernah begitu dikenal dengan puisi dengan judul “Watingpung!” 

Puisi itu sama sekali menggunakan bahasa “alien”, alias tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Namun, kami kawan-kawannya, tetap bisa “memaknai” pembacaan puisi Watingpung karya Ramdhan itu, baik dengan situasi sedih, tertawa, atau berpikir.

Dalam skema pengembangan Taman Ismail Marzuki ke depan, Anies menjelaskan dari sisi manajemen, hingga operasional. Ketika saya singgung soal Malioboro, Anies menyebut sudah memulai dengan melebarkan Jalan Raya Cikini. 

Ia menyebut bahwa Cikini akan menjadi kawasan seni dan budaya yang berskala internasional. Malioboro dalam bentuk yang lebih moderen, kosmopolit dan sekaligus berkelas.

Saya menimpali uraian Anies dengan menyebut Cikini adalah jangkar seni dan budaya. Sebagai jangkar, TIM mesti terhubung dengan pusat-pusat peradaban yang lain, seperti kampus Universitas Indonesia, Kantor Pusat Nadhlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Gereja Kristen Indonesia, dan lain-lain. 

Saya bayangkan, terdapat gondola yang menghubungkan pusat-pusat keagamaan, ilmu pengetahuan, sampai aktivitas ekonomi kreatif.

Sembari membayangkan masa depan itu nanti, tentu masa lalu adalah cermin. Anak-anak muda pengikut Tan Malaka beraktivitas di seputaran jalan itu.

Banyak peristiwa bersejarah terjadi dalam radius TIM, termasuk Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur. 

Pun area pergerakan mahasiswa pelbagai angkatan. Begitu juga dengan wajah kekerasan yang menyertai, seperti aksi perampasan rumah-rumah milik warga negara Belanda, seterusnya milik partai terlarang, peristiwa Malari 1974, hingga 27 Juli 1996. Sesuatu yang berbau kekuasaan, politik hingga perseteruan.

Dengan membuat jangkar seni dan budaya di area itu, ada atap raksasa yang tak terlihat betapa manusia semakin ditinggikan derajatnya, hewan diperlakukan sebagai mahkluk yang punya hak hidup, begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan. 

Bayangan futuristik itu sudah dimulai, paling tidak dengan membentuk Dinas Kebudayaan di lingkungan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Dinas Pariwisata dipisahkan, sehingga kian fokus kepada kinerja ekonomi, manajerial dan jaringan.

Biarlah saya berhenti di sini. Sembari, saya menghimbau kepada siapapun untuk ikut memikirkan wajah kebudayaan di lingkungan masing-masing. 

Gerakan budaya adalah kunci penutup dari potensi-potensi yang meletup akibat kesalahan dalam melakukan gerakan politik dan gerakan ekonomi. 

Kotak pandora perselisihan akibat gerakan politik dan gerakan ekonomi bisa saja terbuka. Mari menghindari kemungkinan itu dengan melakukan gerakan budaya.

Jakarta, 21 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun