Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

#WagubGueBener!

8 Agustus 2019   04:58 Diperbarui: 8 Agustus 2019   13:03 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 27 Agustus 2018 lalu, di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Sandiaga Salahuddin Uno membacakan surat pengunduran diri sebagai Wakil Gubernur (Wagub) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Bukan sekali itu momen pengunduran diri terjadi. Hampir lima tahun lalu, yakni tanggal 2 Oktober 2014, Joko Widodo mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta di tempat yang sama. Tanggal 24 Mei 2017, lebih dari dua tahun yang lalu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengirimkan surat pengunduran diri sebagai Gubernur DKI Jakarta kepada DPRD.

Sebelum tahun 2012, pertarungan antar kandidat Gubernur dan Wagub DKI Jakarta masih bersifat lokal (lokalsentris). Ketika Fauzi Bowo-Prijanto mengalahkan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 16 Agustus 2007, publik nasional belum terlalu terpengaruh. Baru menjelang pilkada 2012 digelar, pilkada DKI Jakarta mulai berwarna Indonesia.

Warna itu bukan berasal dari pasangan calon yang diusung, melainkan pergerakan elite politik nasional dalam masa penjajagan, penetapan, hingga kampanye pasangan calon. Lima pasangan calon berhasil dijaring, baik yang diusung oleh gabungan partai politik atau perseorangan.

Tokoh yang paling disebut sebagai King Maker dalam pilkada 2012 adalah Prabowo Subianto. Prabowo berhasil meyakinkan Taufik Kiemas (almarhum) sebelum dikukuhkan Megawati Soekarnoputri dalam mengawinkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Padahal, Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo dan Ahok masih menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar. 

Yang menarik, bukan hanya Jokowi yang berstatus kepala daerah, melainkan juga Fauzi Bowo sebagai incumbent dan Alex Noerdin yang diusung Partai Golkar atas restu Aburizal Bakrie.

Alex masih menjabat sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Selatan. Ahok adalah mantan Bupati Belitung yang pernah maju dalam Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Bangka Belitung. Tokoh nasional lain yang juga mengkilat dalam pilkada 2012 adalah Faisal Basri yang maju dari jalur perseorangan.

Jika politik adalah garis tangan, tidak ada satupun yang mampu mengguratnya sejak dini. Prabowo yang "menemukan" Jokowi, justru berhadapan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 dan 2019. Dalam dua pertarungan Pilpres itu, Prabowo berada dalam posisi runner up.

Walaupun begitu, Prabowo menunjukkan diri sebagai The Real King Maker dalam peta politik Jakarta. Bukan saja berhasil mengantarkan Jokowi-Ahok dalam pilkada 2012.

Untuk kali kedua, Prabowo membawa kemenangan bagi pasangan debutan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno. Justru yang dikalahkan adalah Ahok yang notabene adalah mantan kader dan pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra.  

***
Jakarta adalah wajah kosmopolit Indonesia. Dalam peta bumi kolonialisme awal, Jakarta menjadi tiang pancang awal yang "terbaratkan", jika mengikuti tipologi dari sejarawan Dennys Lombard.

Sekalipun dari sisi angka tahun, Indonesia mengalami penjajahan selama 3,5 abad, hanya sebagian kecil area yang diduduki secara militer, ekonomi, apalagi ideologi. Benteng-benteng yang dibangun Belanda menjadi simbol paling utama dari pendudukan itu. Begitu juga pemukiman "Warga Kelas Satu" yang terdiri dari bangsa-bangsa Eropa non blasteran, termasuk area pemakaman.

Walau Jakarta menjadi wajah "paling Barat di Timur", bukan berarti segala hal mengalami duplikasi. Hal ini berbeda dengan Jepang, ketika mulai dibuka. Terdapat daerah yang menyerupai Belanda di ibu kota Jepang, termasuk warga Jepang yang berprilaku bagai orang Belanda dengan selalu membawa payung.

Jakarta? Mampu memberi perbedaan. Siapapun yang datang, bakal bisa memberi pengaruh, tetapi sekaligus menerima pengaruh.

Karena kolonialisme secara prinsip adalah perebutan kuasa ekonomi dalam jangka menengah dan panjang, Jakarta menjadi episentrumnya. Dalam ekonomi, oligopoli, dominasi dan hegemoni berbiaya mahal. Hukum ekonomi sama sekali berseberangan dengan ketertutupan.

Pengaruh udara tropis, aliran tiga belas sungai, serta pelabuhan laut sebagai urat nadi ekonomi, membentuk Jakarta sebagai altar bagi pertaruhan kaum borjuasi non feodal. Feodalisme tumbuh subur di area-area pertanian. Tuan tanah menjadi simbol utama.

Jakarta tak memiliki tuan tanah skala luas. Kemajuan ekonomi lebih bertumpu kepada lalu-lintas, ketimbang akar-tunjang. Jejaring sosial menjadi faktor yang menunjang. Sebagai titik-temu buhul-buhul lokal, hingga merangkai simpul-simpul nasional, regional, hingga internasional, Jakarta membentuk hubungan kolegial yang unik.

Tak heran kalau wajah penganut agama di Jakarta juga berbeda dibandingkan dengan daerah lain. Jakarta identik dengan muslim perkotaan yang sudah mengalami persentuhan dengan penganut agama-agama lain. Islam sinkretis, sebagai bagian dari tali-temali ajaran Islam dengan adat dan budaya, bisa terasa di pulau Jawa, namun kurang menonjol di Jakarta. 

Sejak pemilihan umum 1955, partai-partai yang terhubung dengan aliran politik Islam modernis (Partai Masyumi), menjadi pemenang di Jakarta. Orde Baru yang tercatat sebagai salah satu rezim terlama di dunia, kesulitan untuk menancapkan kuku secara kuat di Jakarta, akibat perlawanan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Bukan saja kalangan saudagar yang memberikan perlawanan, tetapi juga kalangan jenderal dari dalam rezim. Pengaruh kelompok ini bukan hadir begitu saja, tetapi sudah tertanam sejak awal abad ke 20. Kelompok saudagar itu dengan jeli memanfaatkan politik etis Belanda, dengan mengirimkan pelajar-pelajar bumi putra sekolah di Belanda.

Partai Masyumi (Orde Lama), PPP (Orde Baru), dan Partai Keadilan Sejahtera (Orde Reformasi), mendapatkan limpahan suara dari kehadiran kaum muslim perkotaan di Jakarta.  Kemenangan PPP beberapa kali dalam pemilu Orde Baru, plus PKS dalam pemilu reformasi, secara jelas memperlihatkan pengaruh dari kaum muslim kosmopolit ini.

Sebagian besar mereka berasal dari kelompok saudagar, kaum inteligensia, hingga kelompok yang masuk ke bangku pendidikan tinggi. Tentu juga berasal dari kalangan birokrasi yang sudah mencapai kedudukan tinggi. Dalam tipologi sosial kontemporer, mereka berada dalam kelompok profesional yang berkiprah dalam area korporasi. Baik yang berada dalam ranah negara, maupun swasta. Mereka membentuk jejaring nasional, regional, hingga universal.

***

Duapuluh hari lagi, tepat satu tahun kursi Wagub DKI Jakarta kosong. Kursi yang ditinggalkan Sandiuno itu tentu penting diisi. Walau dibantu sejumlah Deputi Gubernur yang berasal dari kalangan birokrasi, posisi Anies tetap sulit secara politik.

Kesulitan itu bukan berasal dari pribadi Anies, melainkan iklim tropis yang melingkupi Jakarta dan pilihan demokrasi yang dijalankan Indonesia. Sutiyoso saja diblokade massa, ketika menghadiri pelantikan periode kedua sebagai Gubernur DKI Jakarta. Julukan "Foke" terhadap Fauzi Bowo berasal dari umpatan prokem yang bermakna jorok khas jalanan terhadap kemacetan.

Ujaran #gabener yang semula bernada sinis terhadap Anies, kian bermertamorfosis menjadi identitas umum. Dari sisi Anies, sebutan #gabener ini perlu dicarikan kanal-kanal #pemecahombak. Posisi gubernur di Jakarta bak matahari tropika. Semua yang lain bakal terbakar. Satu-satunya cara untuk memadamkan matahari adalah gerhana bulan total di siang hari. 

Apabila matahari #gubernur rontok secara pedagogis, terkena gerhana bulan total #gabener, apa yang bakal orang ingat lagi tentang Anies? 

Apakah Anies bisa bersahabat dengan #gabener, seperti Fauzi Bowo dengan #foke?

Ibnu Khaldun adalah ilmuwan yang memiliki pandangan betapa iklim berperan dalam gerak ekonomi sebuah bangsa. Perbedaan pilihan ekonomi negara-negara kepulauan (archipelago) dibanding negara-negara benua (kontinental) lebih dipengaruhi iklim, ketimbang keputusan rezim politik.

Dalam bentuk yang lebih ideologis dan teologis, Max Weber menukil peran nilai-nilai agama (Etika Protestan) dalam perilaku ekonomi. Dominasi salah satu dari empat mazhab (Maliki, Hambali, Syafii atau Hanafi) memberi warna dan pilihan ekonomi di negara-negara muslim. Jakarta, sebagai jantung utama ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara, tentu turut manjadi lanskap dari pilihan-pilihan kebijakan lintas negara.

Anwar Ibrahim pernah menulis dalam Journal of Democracy, betapa sinyalemen Islam tidak cocok (compatible) dengan demokrasi terbukti rontok di Indonesia. Tetapi, daya tahan dari kecocokan itu terus menerus bakal diuji.

Ketika praksis politik makin menunjukkan betapa Islam bisa bertemali dalam rajutan bambu politik di Indonesia, dalam konteks Jakarta justru sedang merambah fase yang lebih berdimensi jangka panjang.

Mampukah praksis kompatibilitas antara demokrasi dengan Islam itu menapaki anak-anak tangga piramida ekonomi, tidak hanya politik?

Mari tidak bicara Indonesia dulu. Jakarta saja sebagai parameter terkini. Peristiwa #212, misalnya, adalah local politics landscape yang hadir di Jakarta.

Ketika #212 dipanggung-ulangkan oleh Rocky Gerung dengan istilah #MonumenAkalSehat dalam national politics landscape, hilanglah unsur genuine-nya.  Untuk konteks Jakarta, sekarang saat yang tepat mencari otentisitas dalam warna yang non politik.

Fragmen dan jawaban dari posisi strategis Jakarta itulah yang bakal kita tunggu. Panggung kini sudah kembali dimainkan oleh dalang-dalang utama. Posisi Wagub DKI Jakarta diberikan kepada siapa, bukan lagi masalah utama. Yang paling dinanti adalah apakah karakter pilihan yang dihadirkan nanti mampu memberikan jawaban sebagai #WagubGueBener bagi Warga DKI Jakarta.

Dengan frase #WagubGueBener itu, kesulitan-kesulitan komunikasi politik pasca pilkada Jakarta plus pasca pilpres bisa langsung diatasi. Beban Prabowo sebagai king maker dan PKS sebagai representasi politik kaum Islam modernis otomatis bisa berkurang, apabila figur pilihan itu bisa berdialog bahkan dengan haters paling fanatik Anies.

Sinergi pusat dan daerah kembali bisa disolidkan. Kontestasi politik nasional dalam skala lebih besar yang berlangsung tahun 2024 -- dengan pemilu dan pilkada serentak -- tak bakal mengalami duplikasi, apalagi pengulangan serial. 

Prabowo, di satu sisi, dan Jokowi, di sisi lain, bakal lebih matang dalam membingkai peralihan generasi.  

Tahun 2022 sebagai akhir periode kepemimpinan Gubernur -- dan Wakil Gubernur pilihan DPRD DKI Jakarta nanti -- tidak lama lagi. Partai-partai politik non-pengusung Anies ikut menjadi penentu. Sosok #WagubGueBener bakal menjadi kunci pembuka komunikasi politik lintas partai. Termasuk dalam melancarkan negosiasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Bukankah koalisi antar partai politik dalam rangka pilpres 2019 sudah berakhir? Bukankah agenda koalisi antar partai politik dalam rangka pilkada serentak 2020 sedang dimulai?

Pilihan #WagubGueBener adalah batu karang terbesar yang wajib dilompati oleh Prabowo dan PKS dengan mulus, sebelum melangkah kepada agenda-agenda besar lainnya. Siapa sosok #WagubGueBener yang mampu membawa bola politik bergerak ke tengah lapangan permainan, tidak hanya di kanan atau di kiri,  tinggal diserahkan kepada pekerja-pekerja politik yang sedang bekerja dengan senyap di antara mereka.

Jakarta, 08 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun