Kedua, kementerian yang secara nomenklatur tertulis di dalam UUD 1945. Kementerian-kementerian itu adalah agama, hukum dan hak asasi manusia, keuangan, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, perindustrian, perdagangan, pertambangan dan energi, pekerjaan umum, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, perikanan, transmigrasi dan kehutanan.Â
Desa, misalnya, tidak berada di dalam UUD, tetapi dalam UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Â Apabila setiap UU dibuatkan kementeriannya, sudah pasti celakanya lebih dari tiga-belas.
Ketiga, kementerian yang dibentuk guna melakukan penajaman dan sinkronisasi program. Sebetulnya, di sinilah terletak ruang gerak kelembagaan bagi perwujudan visi, misi dan program dari presiden terpilih. Misalkan, Pak Jokowi meminta masukan terkait kelembagaan yang berhubungan dengan investasi.Â
Dalam Rapat Tim Quality Assurance Reformasi Birokrasi RI yang saya ikuti, sejumlah opsi dimunculkan. Saya sendiri setuju dengan pembentukan Kementerian Investasi, asalkan digabungkan dengan Kementerian Koperasi dan/atau Usaha Kecil dan Menengah. Bisa saja namanya nanti Kementerian Investasi dan Koperasi.
Dalam kategori ketiga ini, selama ini sudah ada Kementerian Bappenas, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Sekretaris Kabinet, Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Menteri Pariwisata, Menteri Agraria, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Perempuan dan Anak, dan lain-lain.Â
Kementerian yang bisa saja dibentuk untuk satu-dua tahun, lalu setelah itu ditiadakan. Bisa saja begitu. Guna penguatan sumberdaya manusia, bisa saja dibentuk Kementerian SDM dan Vokasi.
Keempat, kementerian koordinator. Terus terang, saya agak kesulitan "membaca" teks yang menjadi dasar bagi keberadaan kementerian koordinator ini.Â
Saya lebih cenderung menggabungkan dengan kelompok ketiga, yakni kementerian yang bertugas melakukan sinkronisasi program antar kementerian. Dua orang "abang" saya berkelahi di media, terkait dengan impor bawang putih.Â
Yang satu merasa sudah dibahas dalam rapat kementerian koordinator, sehingga bisa langsung dieksekusi. Masalahnya, terdapat sejumlah regulasi yang potensial dilanggar, misalnya terkait persaingan usaha tidak sehat atau kewajiban penanaman sebesar minimal 5% dari kuota impor yang diberikan.Â
Kalau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kesulitan menjembatani program kementerian/lembaga/badan yang menjadi tanggungjawabnya: buat apa kementerian itu ada? Contoh yang lain, bagaimana Menteri Pertahanan seakan menjadi independent variable dalam nomenklatur Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terkait persoalan kerusuhan 21-22 Mei 2019 lalu? Â
Uraian singkat ini hanya sebagai pengingat, agar Presiden Jokowi lebih teliti lagi dalam menyusun kabinetnya. Soal nama-nama, Presiden Jokowi. Tapi dalam masalah nomenklatur ini, agar tak menjadi persoalan di kemudian hari di zaman yang penuh curiga ini, supaya betul-betul dipikirkan.Â