Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Sekelebat Yunas "Buyun" Setiawan

10 April 2019   11:12 Diperbarui: 10 April 2019   11:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dibandingkan dengan menulis tentang Yunas Setiawan, saya lebih senang bercerita tentang emak atau almarhum ayah. Hanya saja, tentu kurang adil rasanya, jika saya mengabaikan sosok ini. Bagaimanapun, selain kedua orangtua saya, sosok ini memberikan dukungan hampir tanpa batas kepada saya, terutama dalam keadaan sulit di bangku kuliah.

Sekalipun di dalam eKTP yang dipegang Yunas lahir di Dusun Lansano, Kenagarian Sikucur, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman, sebetulnya ia lahir di Sikakap, Kepulauan Mentawai. Tanggal kelahirannya 14 Juni 1975.

Saat itu, almarhum ayahanda kami, Boestami Datuak Nan Sati, menjadi Kepala Syahbandar di Mentawai. Selain Syahbandar, ayah juga menjadi Kepala Kantor Kecamatan Kepulauan Mentawai. Panggilan ayah adalah Pak KK (Pak Kepala Kantor). Mentawai waktu itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, sebelum berpisah menjadi Kabupaten Kepulauan Mentawai berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 tahun 1999.

Yunas lahir sebagai anak emak yang paling gagah. Matanya sipit. Rambutnya pirang kecoklatan. Dokter yang menyambut kelahirannya berkebangsaan Philipina. Banyak warga asing waktu itu yang bekerja di PT Minas, perusahaan pengolah kayu milik keluarga Cendana. Rata-rata pekerjanya berasal dari luar negeri atau dari luar Sumatera Barat. Ayahlah yang pertama kali memasukkan pekerja-pekerja asal Sumatera Barat, termasuk dari Mentawai, ke perusahaan itu. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan "Malapeh Anak Arik" (Melepas Anak Arit). Guna menekan PT Minas, ayah bahkan menutup pelabuhan sampai tiga hari. Kebutuhan minyak, makanan dan segala macamnya masih dipasok dari luar Mentawai waktu itu.

Ketika Yunas lahir, saya sudah berusia tiga tahun. Mulut saya cadel (teloh, dalam bahasa Minang). Selain cadel, saya gagap. Cadel saya baru mulai hilang setelah Sekolah Menengah Pertama, sementara gagap saya masih bertahan hingga tamat kuliah di Universitas Indonesia. Walau teloh dan gagap, saya paling berani, dibandingkan dengan kakak-kakak saya yang lain. Uweng-uweng (atau pusar) di kepala saya ada dua. Konon, dua uweng-uweng itu adalah tanda lahir anak nakal atau pemberontak.

Setiap pulang dari kerja, paman-paman atau apak-apak saya biasanya singgah ke warung milik emak.

"Sia namo adiak Yaya?" tanya mereka.

"Buyun! Buyun!" begitu jawaban saya. Buyun yang saya maksud adalah Buyuang, sebutan buat anak laki-laki. Ayah kemudian melekatkan nama Yun itu menjadi Yunas Setiawan. Yun menunjuk kepada bulan kelahiran: Juni. Juni adalah bulan kelahiran para pemimpin, sebut saja Sukarno (6 Juni) dan Soeharto (8 Juni). Ayah juga lahir di bulan Juni, yakni tanggal 7 Juni 1935. Setiawan? Setia kawan. Singkatnya, Yunas Setiawan berarti seorang pemimpin yang setia kawan.

Nama Buyun lebih melekat dibandingkan dengan nama Yunas. Seingat saya, Yunas memang sangat setia kawan. Yunas dikenal sebagai pelindung bagi seluruh adik perempuan dan sepupu perempuan keluarga besar kami. Jika ada orang-orang iseng yang mengganggu adik-adik perempuan kami itu, Yunas bakal mendatangi, sendirian. Yunas jarang bicara. Ia bisa bicara keras dan panjang, apabila sudah marah.

Saya adalah anak ketiga. Di atas saya, ada Achmad Busra (22 Juli 1968) dan Zainul Bahri (22 September 1970). Jarak kami hanya dua tahun. Busra, Bahri dan saya adalah tiga serangkai yang sering berkelahi. Codet di kepala bagian kanan saya adalah hasil dari lemparan batu Busra, ketika bermain di Sungai Batang Naras. Beberapa luka di bibir dan muka saya, juga dari pukulan Bahri. Kami bertiga pernah menempuh Sekolah Dasar di Air Angat, Tanah Datar, nagari asal ayah.

Pernah ayah menyuruh kedua kakak saya membawa parang ke sekolah, karena mendengar saya disetrap oleh kepala sekolah akibat berkelahi melawan tiga orang. Teman sekelas itu saya buat pingsan. Sekitar pukul enam sore, saya dilepas. Saya lihat kedua kakak saya sedang membersihkan belukar di tebing sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun