Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Jalan Gerilya Joko Widodo

23 Maret 2019   16:18 Diperbarui: 23 Maret 2019   16:44 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Periode kedua masa jabatan seorang presiden yang dipilih secara langsung, baik menggunakan popular vote seperti Republic of Indonesia (RI) atau electoral college seperti United States of America (USA), dikenal sebagai fase puncak unjuk kekuatan subjektivitas personal Sang Presiden Terpilih. Personifikasi sebagai Kepala Negara lebih menonjol, ketimbang sebagai Kepala Pemerintahan. Pengaruh kelembagaan (partai) politik pendukung atau pengusung perlahan memudar.

Seorang presiden yang terpilih kedua-kalinya memiliki kemandirian yang lebih, ketimbang yang baru menjabat untuk pertama kalinya. Ia bukan lagi boneka atau robot atau petugas yang dikendalikan oleh komunitas ekonomi dan politik di sekitarnya, tetapi sudah memiliki pengetahuan, pengalaman dan jejak rekam dalam lintasan waktu.

Ia seperti bulan di malam purnama penuh yang mampu menjadikan nyala matahari hanya laksana bintang kecil yang malas. Tak heran jika sejumlah keputusan penting diambil pada periode kedua ini, termasuk pernyataan perang atau pilihan perdamaian. Hakikat dua masa jabatan adalah pemberian kesempatan kepada sosok yang sama untuk menjalankan program-program yang berbeda antara periode pertama dan periode kedua.

Periode pertama dan periode kedua adalah kalkulasi matematika dalam kalander politik. Dalam patokan sejarah, lintasan waktu dua periode ini berhasil dilewati oleh Presiden Sukarno selama dua kali (1945-1955 dan 1955-1965), Presiden Soeharto -- secara definitif dengan patokan pemilu -- dua kali (1972-1982 dan 1982-1992) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono satu kali (2004-2014). Kita tentu bisa mencatat apa saja legacy masing-masing presiden tersebut, ketimbang yang dilewati oleh Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Sukarnoputri.

Dari sisi waktu, Presiden Joko Widodo baru hendak melewati tahun keempat. Artinya, dalam satu periode saja, minimal ada waktu minimal delapan bulan untuk berkampanye, ditambah sekitar empat bulan masa hiruk-pikuk. Praktis, sekalipun terdapat lima tahun masa jabatan satu periode, tapi yang benar-benar fokus sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan hanya empat tahun.

Pihak oposisi bisa saja mencatat segudang data tentang kegagalan Presiden Joko Widodo, beserta semeter daftar janji yang belum bisa dipenuhi atau diraih. Sebaliknya, pihak pendukung Presiden Joko Widodo juga bisa mencatat dua gudang data keberhasilan Presiden Joko Widodo, beserta dua meter daftar pekerjaan yang tak pernah dijanjikan tapi bisa dipenuhi dan diraih.

Kelebihan seorang petahana adalah menunjukkan daftar apa saja yang sudah dikerjakan, dalam bentuk yang nyata, dibandingkan dengan seorang penantang yang baru di tingkat "ingin ke sana, ingin ke sini." Nilai dari daftar pekerjaan dibanding daftar keinginan ini bakal menjadi area tarung perdebatan politik yang syahdu dan merdu.

Sebagai petahana, Presiden Joko Widodo tinggal menggeser sejumlah prioritas pembangunan. Kemerdekaan dalam menjalankan prioritas-prioritas itulah yang makin besar, pada saat periode kedua dimulai. Bahkan, apabila Ir Joko Widodo dan Prof Dr KH Maruf Amin bisa menang dalam satu putaran, yakni per 17 April 2019, keesokan harinya bisa langsung mengubah prioritas pembangunannya tanpa perlu menunggu seremoni pelantikan pada tanggal 20 Oktober 2019. Reshuffle kabinet bisa saja terjadi di bulan April itu, dengan memanfaatkan arus hangat yang mengalir dari arah buritan kapal.

Tak heran, Ir Joko Widodo memenangkan sejumlah babak pertarungan pendahuluan. Kemenangan terbesar adalah ketika memunculkan nama Prof Dr KH Maruf Amin sebagai Calon Wakil Presiden RI. Intelijen politik paling jeniuspun tak ada yang menyangka bahwa nama Maruf Amin yang bakal disebutkan. Ir Joko Widodo berhasil menyimpan rapat-rapat nama yang ada di sakunya itu. Saya bahkan menduga, bahkan istrinya sendiri juga tidak tahu nama yang ia hadirkan itu.

Dari sisi ini saja sudah terlihat, betapa soliter, independen dan merdekanya Ir Joko Widodo dalam mengambil keputusan. Logika permakluman yang ia pakai tidak mampu menutupi betapa seluruh bangsa terkejut, termasuk intelijen-intelijen luar negeri yang selama ini "menyadap" seluruh informasi yang berada di dalam lingkaran dalam Istana Negara. Biasanya, ada saja satu atau dua berita di portal-portal luar negeri yang "membocorkan" nama penting itu, beberapa jam atau menit sebelum diumumkan. Hanya kali ini berita berbahasa asing itu tak punya bahan akurat sebagai menu politik bergizi tinggi.

Dalam seluruh gerak yang dilakukan Ir Joko Widodo, terlihat betapa ia tak lagi sekadar blusukan guna membangun komunikasi politik, menyelesaikan konflik antar tokoh dan partai, juga membangun kesepakatan bersama sembilan partai politik. Ir Joko Widodo lebih terlihat seperti seorang gerilyawan yang piawai dalam mengendalikan keadaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun