Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dua Putaran, Golput, dan Zona Afotik

23 Maret 2019   06:22 Diperbarui: 23 Maret 2019   11:18 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu| Sumber: Kompas TV

Survei Kompas tanggal 22 Februari sampai 5 Maret 2019, telah memicu polemik yang luas. Kompas dinilai mandiri ketimbang lembaga-lembaga survei lain. Dua indikator utama adalah dana survei dari kantong sendiri dan bukan konsultan pemenangan kontestan. Selain itu, tentu reputasi Kompas yang sudah terbangun lama, nilai-nilai puritan, njawani dan political less dibanding ketebalan sajian koran dengan beraneka informasi.

Jarak keterpilihan kedua pasangan makin menipis pada rentang waktu survei, yakni tinggal 11,8%. Jarak itulah yang menjadi sumber polemik. Hasil ekstrapolasi hari pemilihan menunjukkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin unggul dan menang dengan perolehan 56,8% suara. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih 43,2% suara. Jarak penumpang kapal 01 dibanding 02 berada di angka 13,6%, lebih lebar dibanding waktu survei.

Hampir seluruh lembaga survei yang sudah mengumumkan hasil menyebut jarak itu pada kisaran 20%. Baik angka 20% (lembaga-lembaga survei lain), atau 13,6% (ekstrapolasi Kompas), bahkan 11,8% (survei Kompas), sudah lebih banyak dibandingkan dengan jarak keterpilihan Jokowi-Jusuf Kalla dengan Prabowo-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014. 

Jokowi-JK mendapatkan 70.997.851 atau 53,15% suara sah, berbanding 62.576.444 atau 46,85% suara sah yang diraih Prabowo-Hatta. Selisihnya hanya 6,3% atau senilai 8.421.389 suara sah.    

Konstitusi hasil perubahan sama sekali tak menyebut jarak yang lebar dalam Pilpres. Angka yang disebut sebagai pemenang dalam satu putaran adalah 50% plus satu dari jumlah total suara sah. Sekalipun selisih masing-masing pasangan hanya satu suara, bukan 1% atau 0,1 % atau 0,01%, konstitusi sudah mengunci vox populi vox Dei.  

Selain itu, masih terdapat sekitar 13,4% pemilih yang menyatakan rahasia. Jumlah pemilih rahasia ini lebih besar daripada selisih suara keterpilihan kedua pasangan. Pelbagai teori, analisis dan pendapat disampaikan oleh para ahli, analis, surveyor, hingga pengamat menyangkut jarak yang tipis dan pemilih rahasia ini.

Betapapun liarnya, proyeksi apapun menjadi absah mengingat pertarungan yang kian ketat ini. Salah satunya adalah Pilpres potensial berlangsung dua putaran, yakni ketika pasangan calon yang sudah mencapai angka 50% plus satu dari jumlah suara sah nasional, ternyata gagal mendapatkan 20% suara sah di lebih dari separuh provinsi. Minimal, sang pemenang unggul melebihi angka 20% suara sah di 18 provinsi.  

Data tahun 2014, Prabowo-Hatta unggul dengan selisih suara sah di atas 20% atas Jokowi-JK di tiga provinsi: Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Gorontalo. Sementara, kemenangan Jokowi-JK atas Prabowo - Hatta dengan selisih suara sah di atas angka 20% terjadi di 10 provinsi: Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat. Pada provinsi lain, selisih suara antar pemenang berada di bawah angka 20%.

Sekalipun Kompas tidak menyebut khusus, terdapat juga analisis surveyor lain betapa jumlah golput yang tinggi bisa merugikan atau bahkan mengalahkan salah satu pasangan dalam Pilpres 2019. Golput seakan menjadi ancaman, atau calon kambing hitam, bagi terpilih atau tidaknya salah satu pasangan. 

Cara golput itu tentu bermacam, antara lain tidak hadir pada hari pemilihan, tidak menyoblos salah satu pasangan, menyoblos kedua pasangan dalam satu surat suara, atau merusak surat suara dengan tujuan tidak masuk perhitungan sebagai suara sah.

Masalahnya, pemilu 17 April 2019 bukan hanya menyediakan kertas suara pemilihan presiden dan wakil presiden, tetapi juga kertas suara legislatif pusat dan daerah, termasuk DPD RI. Apabila tindakan yang sama dilakukan, antara lain dengan menyoblos lebih dari satu calon pada kertas suara, dan dilakukan kepada seluruh kertas suara, tentulah perhitungan dimasukkan ke dalam kategori suara tidak sah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun