Mohon tunggu...
Indra ChandraS
Indra ChandraS Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

"No Silver Bullet Policy" untuk Energi Sektor Tranportasi

21 Mei 2018   01:36 Diperbarui: 21 Mei 2018   02:18 3150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bulan Mei 2018, harga minyak mentah dunia mulai beranjak naik dan sempat mencapai 80 USD per barel. Sebagian analis juga memprediksi bahwa harga bisa saja mencapai lebih dari 100 USD di 2019, mengingat Sanksi Iran oleh Pemerintahan Donald Trump dan juga ditambah kesepakatan negara negara OPEC untuk tidak menaikkan produksi minyak mentahnya. 

Disaat yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dollar pun mengalami depresiasi yang cukup besar dan saat ini sudah mencapai lebih dari 14100 per dollar amerika serikat. Kedua hal ini tentunya merupakan "Duet Maut" yang sangat membebani Pertamina, yang diberikan amanat untuk menyalurkan BBM ke seluruh Indonesia, namun disaat yang sama tidak diberikan ruang untuk menyesuaikan harga jual Premium maupun solar dengan dalih menjaga stabilitas. Apabila kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu 6 bulan kedepan, maka bukan tidak mungkin Pertamina akan mengalami kesulitan Likuiditas dan dapat menghambat program-program RDMP maupun Kilang GRR baru yang telah direncanakan selama ini.

Pertanyaan selanjutnya, apakah ada langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, untuk dapat mengurangi beban Pertamina dan sekaligus memberikan pilihan yang terbaik pada masyarakat pengguna BBM?

Sektor tranportasi saat ini mengkonsumsi kurang lebih 46% dari total BBM di tanah air, dan sebagai negara net importir minyak, hal ini menjadikan trade balance Indonesia selalu negatif dalam sektor Oil & Gas. Sepanjang tahun 2017 saja, defisit Oil & Gas telah mencapai 8,5 Milyar Dollar dan tahun 2018 ini dengan nilai tukar yang semakin tinggi, bisa diramalkan defisit ini akan semakin membengkak. 

BPS
BPS
Salah satu upaya yang coba dilakukan oleh Kementerian ESDM adalah dengan mendorong alternatif energi, dalam hal ini BBN (Bahan Bakar Nabati), dan mandatori Biosolar sebesar 20% dinilai cukup berhasil, khususnya di sektor transportasi darat. Hal ini bisa berjalan dengan adanya subsidi silang dari dana sawit, dimana pajak dari ekspor CPO beserta turunannya, digunakan sebagian untuk menutupi selisih harga jual Solar dan FAME. Tapi apakah hal ini akan bisa berlangsung secara berkelanjutan? Mudah mudahan Pemerintah sudah memikirkan hal ini.

Lain halnya dengan nasib Bio-Ethanol. Sampai dengan bulan Mei 2018, Kewajiban mencampurkan Bio-Ethanol kedalam BBM Bensin yang tertuang Pada PERMEN No 12/2015, hanya sekedar peraturan di atas kertas saja. Produksi Bio-Ethanol grade Bahan Bakar di Indonesia, semuanya tidak terserap dikarenakan tidak ada mekanisme cross-subsidi seperti halnya yang berlaku pada Biosolar (FAME). Padahal dari segi Energi Density, Pemanfaatan BBN pada sektor transportasi adalah hal yang paling optimal. Banyak hal positif yang bisa didorong lewat penggunaan BBN, diantaranya :

  • BBN adalah renewable energy dan bisa dihasilkan di dalam negeri
  • BBN memiliki Energy Density (Volumetric) yang relatif tinggi, baik Biodiesel maupun Ethanol.
  • Untuk menghasilkan BBN, rantai pasoknya melibatkan banyak sekali tenaga kerja, mulai dari Penanaman sampai dengan Bio-Refinery
  • Tidak memerlukan infrastruktur tambahan yang cukup besar dalam hal distribusi
  • Bisa dikonsumsi oleh kendaraan yang sudah ada dipasar (sampai dengan persentase blended tertentu) maupun kendaraan baru yang didesain khusus untuk penggunaan BBN (Flexy Engine). Saat ini Sepeda Motor bisa menggunakan Ethanol sampai dengan E-10, sedangkan mobil sudah bisa menggunakan E-20.

dokpri
dokpri
Dengan memperhatikan sisi positif dari Pemanfaatan BBN pada sektor transportasi seperti diatkas, maka sudah sewajarnya ESDM lebih mendorong Pemanfaatan BBN dan melakukan "Break-Through Policy" untuk mengatasi permasalahan Disparitas harga antara BBM v/s BBN. Pemerintah dan DPR harus mampu merumuskan Policy insentif bagi para produsen BBN di tanah air, agar dapat menghasilkan BBN dengan harga kompetitif dan sesuai daya beli masyarakat. Usulan terkait dana ketahanan Energi sudah selayaknya dihidupkan kembali, sebagai salah satu solusi cerdas dan telah diterapkan oleh banyak negara. 

Terkait Ethanol, Pemerintah juga bisa mendorong, Pemanfaatan 2nd generation Technology, dimana raw material yang digunakan adalah bersumber dari selulosa dan tidak lagi menggunakan feedstok generasi pertama, seperti Tebu dan Jagung. Lewat teknologi ini, Indonesia bisa mengembangkan sumber feedstock selulosa yang tidak merupakan bahan pangan dan ditanam pada area Non-Arable land. Salah satu yang cukup prospek adalah pemanfaatan Napier Grass sebagai feedstock untuk Bio-Ethanol. Sudah selayaknya para Investor dibidang ini, bisa mendapatkan Tax Holiday yang baru baru ini dikeluarkan oleh Pemerintah. Dari data Kementerian Pertanian, Sumatera dan Kalimantan memiliki peluang untuk mengembangkan lahan Feedstock untuk Napier Grass.

www.slideshare.net
www.slideshare.net
Sampai saat ini, hampir 60% fleet (roda 4) dan 100% (roda 2) mengkonsumsi bensin sebagai bahan bakar dan hal ini pula yang menyebabkan impor Bensin telah mencapai lebih kurang 60% dikarenakan konfigurasi kilang dalam negeri yang lebih banyak menghasilkan solar. Oleh karenanya, alternatif pengganti bensin, baik ethanol maupun bio-gasoline, mutlak diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor Bensin maupun crude oil. ESDM dan Pertamina harus memulai membuat crash program untuk melakukan riset pemanfaatan CPO yang melimpah didalam negeri untuk dikonversi menjadi Bio-Gasoline yang dapat langsung digunakan pada kendaraan (Dropped-In Fuel). 

www.etipbioenergy.eu
www.etipbioenergy.eu
Diversifikasi lain yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan Gas, dalam hal ini Gas Alam berupa Methane yang terkompresi, yang biasa dikenal sebagai BBG. Namun berdasarkan perkembangan di 30 tahun belakang ini, kendala infrastruktur dan juga harga gas yang lebih kompetitif untuk dijual ke sektor Industri menjadikan pilihan ini seolah-olah tidak bisa dilakukan. Banyak upaya yang sudah coba dilakukan, namun akhirnya juga tidak membuahkan hasil. BBG sendiri sering kali di plesetkan menjadi "Bolak Balik Gagal" 

Di pertengahan tahun 2017, ESDM juga berupaya untuk mengakselerasi Pemanfaatan Kendaraan Listrik, dimana tujuan utamanya adalah untuk mengurangi penggunaan BBM. Namun dikarenakan teknologi kendaraan listrik yang masih belum mature, maka akan menjadi sangat sulit untuk bisa memulai penggunaan kendaraan listrik, terutama pada ranah kendaraan pribadi. Faktor teknologi baterai, masih merupakan kendala utama saat ini, dimana harga yang cukup mahal dan juga waktu charging yang cukup lama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun