Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Deschooling, Sakola Motekar

3 Agustus 2020   22:57 Diperbarui: 4 Agustus 2020   08:59 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di mana ada lagi sekolah yang men-srawung-kan antara realitas dengan bangku-bangku pembelajaran? ketika output dari pendidikan sudah bukan lagi angka-angka dan selembar ijazah, tetapi riset pengembangan serta manfaat yang mampu dirasakan oleh banyak orang. 

Di mana lagi sekolah kalau perlu tak usah perlu biaya, gratis, dan semua orang boleh mengambil bagian didalamnya, dan menarik lebih banyak orang lagi untuk mencecap kenikmatan ilmu, serta indahnya berbagi? Salah satu yang pernah saya temui adalah Sakola Motekar.

Taman untuk Siswa

Di sebuah tempat berhawa dingin di Kabupaten Ciamis, di kecamatan Sadananya sebuah saung milik Mang Deni Weje, saya menemukan ruang itu. Dimana anak-anak, pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul jadi satu untuk memaksimalkan potensi yang mereka miliki dalam ruang kebersamaan yang menarik, harmonis dan tidak menjauhkan pendidikan dari realitas tentunya. 

"Bapak pendidikan kita tu bukan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita itu Daendels!"

Kalimat itu yang terucap dari Mang Deni, atas kritiknya terhadap pendidikan modern. Tentu ini masuk akal, setelah saya telisik lagi pendapat mang Deni ini senada dengan Kyai Toto Raharjo, inisiator dari Sekolah SALAM Yogyakarta.  

Dalam bukunya Sekolah Biasa Saja Kyai Toto Raharjo sempat menuliskan bahwa kapan pertama kali kita dijauhkan dari realitas sekeliling, ya ketika ada pembentukan Sekolah Desa oleh Van Heutz dengan inisiasi dari Gubernur Hindia Belanda, Daendels. 

1907, Van Heutz melalukan perubahan signifikan di dunia pendidikan dengan programnya "pemberantasan buta huruf", tentu ini juga terjadi dalam kerangkanya menstabilkan geopolitik wilayah jajahan. 

Semangat ini tidak pernah dikritisi kemudian hari, apakah kita benar-benar buta huruf? wong di seluruh nusantara sudah punya aksara jauh sebelum pihak kolonial datang, atau huruf yang mana? 

Tentu bisa kita jawab adalah buta aksara Latin, sebagai proyeksi masa depan kolonial yang ingin menyeragamkan aksara untuk memangkas mis-informasi dan pengoptimalan penguasaan lahan. 

Akhirnya sekolah-sekolah dibuat untuk kepentingan kolonial, untuk menciptakan buruh-buruh yang bekerja di pabrik mereka, dan memenuhi segala upaya ekstraksi Kolonial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun