Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wabah Kala Pandemi, dari Kesehatan Mental hingga Ketahanan Keluarga

16 Mei 2020   15:20 Diperbarui: 17 Mei 2020   14:11 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: civilwarghosts.com)

Terus menerus berdiam tanpa kepastian, tiada lagi hiburan seks jadi jalan, anak-anak lahir menjelang meski persiapan belum matang, segala jalan hanya dilalui untuk tetap waras dan sadar, memimpikan harapan, memecah segala kebuntuan akan kebosanan, selain bertahan kini ketahanan sebuah keluarga juga diuji oleh krisis

Hari ini kita memasuki hari ke-70 sejak negara ini terjangkiti virus Covid19. Beragam kejadian terjadi, sebagian sudut pandang saya tuliskan di rentetan tulisan disini.  

Setidaknya sudah ada delapan tulisan yang saya tulis sebagai pengamatan pribadi atas beragam persoalan dan kemungkinan yang telah terjadi di sekitar tempat saya tinggal.

Perubahan demi perubahan berputar membawa peristiwa dan reaksi bagi setiap orang. Reaksi ini menjadi beragam bentuk ekspresi sebagai efek dari terlalu lama di rumah.

Ada yang menorehkan harapan, ada yang mengumpat, ada yang sampai kepada ledakan emosional sepi "udah mau gila" dst. Ekspresi-ekspresi di media sosial ini bisa menjadi salah satu variabel untuk melihat kondisi sekeliling kita yang sudah menampakkan kejengahannya terhadap keadaan. 

Berdiam diri dalam suatu ruangan dtidak akan jadi masalah untuk orang-orang introvert, tetapi tidak semua orang demikian. Tidak semua mampu dan kuat untuk berdiam diri disebuah tempat dalam kurun waktu tertentu, membatasi kegiatan keluar rumah, bersosialisasi dengan kawan dan menghilangkan hobi-hobi seperti nonton film, konser musik, nongkrong di mall atau jalan-jalan. 

Semakin lama ditahan, semakin besar pula menyimpan banyak tekanan yang akan berdampak pada kesehatan mental.

Sebagai manusia yang harus bersosial, pembatasan-pembatasan karena wabah ini kemudian dijembatani oleh relasi virtual, berjejaring menggunakan internet dan gawai dengan beragam aplikasi, menceritakan apa saja yang ada dalam benaknya. Namun tentu saja ada yang hilang, bagaimanapun relasi virtual bukan perjumpaan nyata. 

Yang keliatan jelas, sampai sekarang media sosial belum bisa mentransfer pengalaman nuansa dan rasa. Meskipun sudah ada beragam 'stiker' dan 'emoticon' masih saja belum ditemukan simbol efektik untuk mewakili perasaan, saking subjektifnya masing-masing person. 

Bagaimanapun metode yang dicoba manusia selama pembatasan ini masih terus menerus menyisakan ruang kosong yang kering, namun tidak segera terpenuhi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun