Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wabah: Musnah atau Kerjasama Global

23 Maret 2020   17:56 Diperbarui: 23 Maret 2020   19:50 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Domba-domba disembelih, darahya mengalir dari leher diwadahi semacam tembikar kemudian atas perintah Gusti yang disembah manusia ampuh Musa itu, dikuaskanlah kepada setiap pintu umat Israel yang percaya kepadanya. Darah domba itu menghiasi setiap pintu, senja datang, semua pintu dan jendela ditutup rapat.

Lalu pembalasan Tuhan menjelang, semua anak sulung dari pintu yang tak ber-cat darah domba, terbunuh begitu saja. ratap tangis menghiasi Mesir pagi itu. #agustaisme

Semakin hari semakin naik term media soal ini wabah, keruntuhan ekonomi terjadi, politik isolasi, stop impor-ekspor, travel-warning, tindakan tegas aparat membubarkan kumpulan, politik yang semakin bajingan mendeklarasikan dirinya 'yang paling bisa', paling mampu mengatasi, semua demi panggung. Sementara di pelosok desa wabah ini menjadi hantu yang tak kalah menakutkan. Mau dibawa kemana, apa yang terjadi, dalam kacamata lebih luas bagaimana ini bisa menjadi sebuah fenomena yang bisa mengalahkan peringatan besar Israj Miraj di negeri yang mayoritas muslim, bahkan dengan penduduk beragama Islam nomor 1 didunia?

Data WHO sejak 22 Januari 2020 sampai ketika tulisan ini dimuat 23 Maret 2020, 15:00,  187 Negara terjangkit, 294.110 kasus direkam, 12.944 meninggal. Dan terus menerus naik presentase kasusnya, meskipun angka kesembuhan juga menghiasi data. Korea Selatan, Iran dan Italia yang menjadi trigger kehancuran karena wabah. Rekam kejadian ini semacam jadi kaca benggala bagi semua umat manusia didunia.

Semua negara berlomba menyiapkan diri mengantisipasi, pemimpin negara, politisi, spiritualis, semua punya cara masing-masing menenangkan massa yang mereka pegang. Tetiba ketidaksiapan global ini justru mewabah menjadi sikap-sikap yang gila, memuakkan, bahkan menunjukkan betapa kualitas kepemimpinan negara-negara akan keliatan dari kebijakan yang mereka perbuat dalam menemukan solusi atas virus. Wabah ini kemudian juga bisa menjadi tolak ukur keberhasilan idealitas sebuah otoritas untuk menjawab kebutuhan jaman.

Semua lini akhirnya terkena dari politik kenegaraan, militer, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, kesehatan tentunya juga momentum untuk belajar dari perubahan sebuah peradaban. Betapa tidak, lagi-lagi kita gagal merespon, wabah Pes di jawa adalah sejarah yang menjelaskan betapa wabah akhirnya justru menjalar ketika kaum agamawan menolak saran dokter Belanda, mereka memilih berkumpul, beribadah dan berdoa bersama lantas kematian demi kematian terjadi hanya karena menolak informasi dari oknum yang berada diseberang posisi kita.

Dalam beberapa amatan masih banyak mereka yang dogmatis, memaksa untuk terus berkumpul, menyombongkan diri bahwa kematian milik Tuhan, dan mereka konyol abai terhadap data sains yang juga berasal dari otak yang diciptakan Tuhan pula. Naif. Konservatisme menutupi akal dan pikiran yang diciptakan kepada mereka untuk memperhitungkan segalanya lebih matang lagi.

Harrari memperingatkan bahwa isolasi tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan dalam waktu lama akan menimbulkan chaos dan kehancuran ekonomi. Dan memang benar silahkan diamati sendiri berapa yang akhirnya runtuh, jalanan lengang, ekonomi lesu, pariwisata sepi dan toko kelontong sekitar kampus tutup karena banyak ditinggal mahasiswa setelah campus lockdown. Ojek online kehilangan pelanggannya, dan bubur ayam dekat alun-alun jadi sepi karena orang takut keluar rumah. Segala sesuatunya berubah.

KEBIJAKAN BENTENG

Ditutupnya akses internasional secara menyeluruh inilah sebenarnya yang menjadi dasar perhitungan Harrari. Kita yang sudah terbiasa dengan lintas distribusi baik antar negara maupun antar wilayah kemudian mengunci rapat dan seperti pengepungan benteng Yerusalem, mereka yang bertahan didalam benteng adalah mereka yang siap terhadap basic life support. Hidup berbulan-bulan tanpa kekurangan kebutuhan pokok sampai musuh juga kehabisan makanan dan menarik diri. Jadi strategi isolasi ini memang yang terbaik, untuk memotong mata rantai persebaran wabah, asalkan negara dan masyarakat yang tinggal didalamnya siap untuk diam dirumah.

Namun ternyata tidak dengan Indonesia, penetapan status darurat kebencanaan (bencana biologis, UU 24 th. 2007) tidak dibarengi dengan kesiapan negara. Negara seperti mengekor saja tren internasional menggunakan metode isolasi, tapi lupa terhadap hak-hak warga negara yang harus diberikan tuntas sebagai bukti bahwa negara hadir sebagai pengayom massa. Sesudah isolasi, keputusan berikutnya justru lebih represif. Tidak ada pemenuhan basic life support untuk warga negara, himbauan demi himbauan meluncur begitu saja dari kepala negara. Dan ketika massa melawan karena memang tidak dicukupi pemenuhan kebutuhannya, negara menjadi lebih represif oleh Maklumat Kapolri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun