Denting lonceng angin berbunyi. Derap langkah kaki memasuki kedai yang sepi, seorang lelaki terburu-buru menarik kursi. Merapikan duduknya. Terengah-engah. Terdiam. Menarik nafas. Dan perlahan memandang sekeliling ruangan dengan wajah kaku.Â
Pemilik kedai bernama Meta, tergesa memasang senyum. Pelanggan setia telah kembali. Di waktu yang tepat. Di hari terakhir pelayanan. Di malam penghabisan, sebelum kedai tutup. Dan takkan dibuka lagi.Â
"Kamu beruntung, Niko. Tunggu, akan kusajikan kopi hitam perpisahan."Â
"Perpisahan?" Niko terkesiap menyadari Meta sudah berdiri di sebelahnya.Â
Meta tak menjawab. Ia mengambil minuman ke belakang. Dan kembali setelah beberapa saat. Niko menatap kosong pada secangkir kopi di atas meja. Dan perlahan-lahan, tatapannya naik pada wajah cantik Meta.
"Maksudmu, kedai ini akan tutup?" Niko mengubah pertanyaannya.Â
"Kami tak punya pelanggan lagi. Dan kau, kukira takkan pernah kembali."Â
Niko tersenyum. Ia menyentuh bibir cangkir di depannya. Namun urung mengangkat dan meminum kopinya. Panas. Tak sehangat biasa. Kehangatan dari perayaan sukacita para pelanggan yang terjerat nostalgia.
Namun kini semua berbeda. Meta memutuskan untuk menutup Kedai, dan menghapus ruang bagi para penjelajah kenangan.Â
Tak ada obrolan dari meja sebelah, tidak ada musik lawas yang menenangkan hati, dan tak terdengar derai tawa. Hening. Niko tak merasakan lagi kenyataan dalam ruang imajinasi. Kaku. Ia hanya ingin berjumpa Meta untuk meminta sesuatu.Â