"Bener sih, Bang," ucap lelaki itu, pelan.Â
Dengan wajah pucat dan terbata-bata, lelaki itu melanjutkan kata-kata,"Tapi kemuliaannya bakal luntur, kalau perilaku Abang merendahkan orang."Â
Kata-kata halus, membuat Namrud naik pitam. Ia berdiri dan mengepalkan tangan kanan. Tangan kiri meraih botol kecap. Dan suasana kembali mencekam.Â
"Yaelah, Bang Namrud! Itu bocah habis kerja bakti. Dia ngecrek bukan ngemis! Narik udunan warga, buat kebersihan!"Â
Perkataan Bang Komar mengalihkan perhatian Namrud. Kepalan tangan, kini terbuka. Ia meredakan amarah, untuk sesuatu yang lebih besar. Ya, wilayah kekuasaannya dahulu, harus kembali.Â
Orang-orang mengelus dada. Keributan urung terjadi. Dan lelaki dekil yang membawa ember rombeng, sudah tak terlihat lagi.Â
"Kau mau bicara soal ban bocor, atau kepalamu mau kubuat bocor?"Â
Di sudut kedai, Namrud dan Bang Komar duduk satu meja. Tertawa-tawa. Mereka bercengkrama seperti dua sahabat lama.
"Bang, aku serahkan setengah lahan parkir buat Abang," ucap Bang Komar.Â
"Hah?" gelagat Namrud seperti kurang dengar.Â
"Setengah lahan parkir, Bang," ulang Bang Komar.Â