Mulanya aku sangat terkejut. Teman ngobrol paling asyik di kedai ini sudah tiada. Sebulan lalu, Mas Pay berpulang. Bukan hanya aku, lebih banyak orang di kedai ini yang merasa kehilangan. Ci Ai Ling sampai menangis tersedu-sedu.Â
Perempuan paruh baya itu adalah istrinya. Delapan belas tahun, mereka hidup bersama tanpa keturunan. Namun semuanya baik-baik saja. Meskipun, keluarga besarnya selalu bertanya, "Kapan, kalian mau punya momongan?"Â
"Saya dan mendiang Mas Pay sepakat, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan seputar keturunan," ucapnya.Â
Bagi mereka berdua, anak adalah titipan Tuhan. Meskipun belum diberi momongan, mereka dapat memberikan kasih sayang pada anak-anak kurang beruntung tanpa harus mengasuh dan melahirkan.Â
Ia tahu, mendiang suaminya sering ke kedai ini. Menikmati kopi hitam dan mie instan di waktu senggang. Berusaha agar sang istri tidak melihat kegelisahannya. Dan untuk alasan kesehatan, ia tak mau istrinya ikut minum kopi hitam.
Pukul satu siang, kami pun berpisah. Ia beranjak lebih dahulu dan membayar pesananku. Mendiang suaminya berpesan, jangan sampai memiliki utang pada seseorang. Memang benar, Mas Pay selalu menolak minumannya kubayar.Â
Kini, setiap singgah di kedai kopi Ci Ai Ling, pandanganku selalu tertuju pada meja kosong nomor lima. Aku merasa, Mas Pay tengah duduk sembari menikmati kopi hitam di sana.Â
Ia selalu ada bersama kami. Memberi warna pada dunia yang serba rumit. Dalam satu putaran kehidupan yang kian pelik.Â
Selalu ada cerita dalam secangkir kopi. Persahabatan, kehangatan dan cinta.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian