Seketika, aku tak dapat mendengar apa-apa. Pikiranku kosong, begitu menatap genangan darah. Aku hanya terpaku. Harimau menyeret tubuh pemburu ke balik semak belukar.Â
Aku berlutut menggenggam belati. Detak jantungku seakan terhenti. Berharap kejadian tadi adalah mimpi. Tidak, itu adalah darah yang nyata. Dan aku harus pergi. Sebelum harimau itu kembali.Â
Sebelum senja merambat gelap, aku harus pergi dari tempat ini. Kukemas pakaian dan perlengkapan. Meninggalkan Wak Abu kembali dengan kesendiriannya. Ia tak terlihat dimana-mana. Namun, kuyakin ia masih ada di sekitar hutan.Â
"Jaga dirimu, Wak," desahku.Â
Aku menyusuri jalan setapak yang dibuat penjelajah hutan. Membelakangi bukit dan meninggalkan hutan. Ke mana kaki melangkah, ke sana aku terus berjalan sampai lelah.Â
Tentu aku tidak akan kembali ke kota. Tempat di mana aku sudah kehilangan semuanya. Properti, investasi dan perusahaan. Keluarga dan orang-orang lenyap seketika.Â
Termasuk lahan yang kuambil paksa dari masyarakat adat. Dua tahun lalu, telah direbut dengan culas oleh orang-orang kepercayaanku sendiri. Mungkin saat ini, mereka masih saling menerkam.Â
Aku tidak menyimpan dendam. Karena perilaku mereka adalah hasil didikan tuannya. Itulah aku di masa lalu.Â
Harimau itu mencariku. Bukan pemburu. Akulah penyebab kerusakan habitatnya. Dia sendirian tanpa kawanan. Dan itu semua terjadi akibat ulahku.Â
Keserakahan yang kutuangkan dalam tindakan dan perintah. Dan kebijakan tanpa kebajikan.Â
Kadangkala manusia lebih buas dari binatang. Pemangsa, sekaligus mangsa bagi sesamanya.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian